Sesungguhnya membela kemurnian agama dan membantah para ahli bid’ah dengan argumen dan hujjah merupakan kewajiban yang amat mulia dan landasan utama dalam agama. Oleh karenanya, para ulama salaf shalih lebih mengutamakannya daripada ibadah sunnah, bahkan mereka menilai bahwa hal tersebut merupakan jihad dan ketaatan yang sangat utama. Imam Ahmad pernah ditanya: Manakah yang lebih engkau sukai, antara seorang yang berpuasa (sunnah), shalat (sunnah) dan I’tikaf dengan seorang yang membantah ahli bid’ah? Beliau menjawab: “Kalau dia shalat dan I’tikaf maka maslahatnya untuk dirinya pribadi, tetapi kalau dia membantah ahli bid’ah maka maslahatnya untuk kaum muslimin, ini lebih utama”. (Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah 28/131)
Diantara para ahli bid’ah yang tidak kalah bahayanya adalah kelompok Sufiyah yang memborong sekian banyak kesesatan dan penyimpangan yang beraneka macam, diantara sekian kesesatan mereka yang paling berbahaya adalah aqidah wahdatul wujud (Kawulo Manunggaling Gusti/bersatunya Tuhan dengan hamba), sebuah aqidah yang bertentangan seratus persen dengan pokok-pokok ajaran Islam, bahkan menghancurkan persendianya baik dalam aqidah, ibadah, akhlak dan lain sebagianya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Bangkit membantah mereka (ahli wahdatul wujud) merupakan kewajiban yang sangat utama, sebab mereka adalah perusak akal dan agama manusia, mereka membuat kerusakan di muka bumi, dan menghalangi dari jalan Allah. Bahaya mereka terhadap agama melebihi bahaya para penjajah dunia seperti perampok dan pasukan Tatar yang hanya merampas harta tanpa merusak agama”. (Majmu Fatawa 2/132)
Mungkin sebagian kita ada yang berguman: Mengapa aqidah wahdatul wujud ini harus dipermasalahakan? Bukankah aqidah itu hanya ada pada beberapa tokoh zaman dulu saja semisal Ibnu Arabi, Ibnu Faridh, Ibnu Sab’in dan sebagainya?! Bukankah aqidah itu sudah hilang dari permukaan di masa kini?! Lantas mengapa perlu dibahas seperti ini?! Bukankah ini hanya sia-sia belaka?! Kami jawab: Tenanglah saudaraku! Jangan anda gegabah menilai seperti itu, bukalah mata anda secara lebar niscaya anda akan mengetahui (walau terkadang terselubung) betapa banyaknya pengibar bendera aqidah rusak ini di negeri kita dari para kiai, habib, penulis, aktivis, bahkan diajarkan di kuliah-kuliah agama seperti IAIN contohnya.
Barangkali untuk lebih menenangkan hati, tidak mengapa kita nukil sebuah contoh -sekalipun hati ini sebenarnya terasa berat untuk menukilnya -. Masih terngiang-ngiang di telinga saya ucapan keji Abdul Muqsith Ghozali MA, kawan Ulil Abshar dalam debat buku “Ada Pemurtadan di IAIN”, katanya: “Anjing akbar, tidak ada yang salah dengan pernyataan itu. Apa yang salah?! Sama sekali tidak ada yangs salah, Akbar Tanjung, Anjing Akbar, Sekolah Akbar. Tidak ada yang salah. Itu kalau diniati bahwa anjing itu adalah Allah”.
Lebih lanjut, dia mengatakan: “Kalau dia menemukan sifat jamal dan kamal (keindahan dan kesempurnaan) dalam anjing itu maka enggak salah, justru dia akan naik maqamnya (kedudukannya), seperti Ibnu Arabi dalam kitabnya Fushus Hikam , dia menemukan takallufnya ketika berhubungan suami isteri. Ini adalah pluralisasi penafsiran yang akan dipuji sejarah!!!”.
Aduhai, alangkah persisnya hari ini dengan kemarin!! Bukankah ucapan di atas adalah warisan nenek moyang para tokoh Sufi yang sesat dan menyesatkan dahulu?!! Coba anda perhatikan ucapan seorang tokoh Sufi berikut:
وَمَا الْكَلْبُ وَالْخِنْزِيْرُ إِلاَّ إِلَهُنَا وَمَا اللهُ إِلاَّ رَاهِبٌ فِيْ كَنِيْسَةْ
Tiada anjing dan babi itu, melainkan Tuhan kita juga
Dan tiadalah Allah itu kecuali rahib di gereja
Salah seorang sufi, Abul Husain an-Nuri tatkala mendengar anjing yang menggonggong, dia mengatakan: “Labbaika wa Sa’daika” (Aku penuhi panggilanmu)”. (al-Luma’ fi Tasawwuf, hal. 461 oleh Abdullah ath-Thusi, tahqiq Abdul Halim Mahmud, sebagaimana dalam Ar-Rudud Ilmiyyah fi Dahdzi Abathil Sufiyyah hal. 266 oleh Dr. Muhammad bin Ahmad al-Juwair). Maha suci Allah dari ucapan mereka!
Kemudian, jangan anda menyangka kalau mereka tidak memiliki argumen/dalil yang mendukung keyakinan sesat tersebut. Sungguh aneh bin ajaib memang, hampir tidak ada ahli bid’ahpun kecuali memiliki dalil untuk memperkuat kesesatan mereka. Demikian pula para penganut faham wahdatul wujud, mereka memiliki dalil -sekalipun lebih tepatnya disebut syubhat- dari Al-Qur’an dan hadits untuk mendukung keyakinan tersebut, salah satunya adalah hadits wali yang akan menjadi tema bahasan kita kali ini. Namun hal ini tak aneh kalau kita ingat ucapan Imam asy-Syathibi: “Betapa sering engkau dapati ahli bid’ah dan penyesat umat mengemukakan dalil dan hadits dengan memaksakannya agar sesuai dengan pemikiran mereka dan menipu orang-orang awam dengan dalil-dalil tersebut. Lucunya mereka menganggap bahwa diri mereka di atas kebenaran!!”. (Al-Muwafaqat 3/52)
Teks Hadits
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : إِنَّ اللهَ قَالَ : مَنْ عَادَى لِيْ وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ, وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِيْ بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِليَّ مِمَّا افْتَرَضْتُهُ عَلَيْهِ. وَمَا زَالَ عَبْدِيْ يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ, فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِيْ يَسْمَعُ بِهِ, وَبَصَرَهُ الَّذِيْ يُبْصِرُ بِهِ, وَيَدَهُ الَّتِيْ يُبْطِشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِيْ يَمْشِيْ بِهَا, وَإِنْ سَأَلَنِيْ لأُعْطِيَنَّهُ, وَلَئِنْ اسْتَعَاذَنِيْ لأُعِيْذَنَّهُ, وَمَا تَرَدَّدْتُ عَنْ شَيْءٍ أَنَا فَاعِلُهُ تَرَدُّدِيْ عَنْ نَفْسِ الْمُؤْمِنِ يَكْرَهُ الْمَوْتَ وَأَنَا أَكْرَهُ مَسَاءَتَهُ
Dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah berfirman: “Barangsiapa yang memusuhi waliKu, maka Aku umumkan perang terhadapnya.
Tidaklah hamba-Ku bertaqarrub (mendekatkan diri) kepadaKu dengan melakukan suatu amalan yang lebih Aku cintai daripada apa yang Aku wajibkan pada mereka, kemudian hambaKu senantiasa mendekatkan diri kepadaKu dengan perkara sunnah sehingga Aku mencintaiNya. Apabila Aku mencintainya maka aku adalah pendengarannya yang dia mendengar dengannya, penglihatannya yang dia melihat dengannya, tangannya yang dia memegang dengannya, dan kakinya yang dia berjalan dengannya. Apabila dia meminta kepadaKu maka Aku akan memberinya, dan apabila dia meminta perlindungan kepadaKu maka Aku akan melindunginya. Dan tidaklah Aku bimbang akan sesuatu seperti kebimbanganKu dari mencabut nyawa seorang mukmin, dia benci kematian padahal saya tidak ingin untuk menyakitinya (tetapi itu adalah kepastian)”.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan: “Hadits ini adalah hadits yang paling shahih tentang para wali”. (Al-Furqan Baina Auliya Rahman wa Auliya Syaithan hal. 50). Beliau juga mengatakan: “Hadits ini sangat mulia sekali dan merupakan hadits yang paling mulia tentang sifat wali”. (Majmu’ Fatawa 18/129)
Demikianlah komentar indah terhadap hadits yang menjadi topik bahasan kita kali ini. Namun hal itu bukan berarti bahwa hadits ini selamat dari serangan dan hujatan, sebab kenyataan di lapangan membuktikan bahwa hadits ini mendapat kritikan dari dua segi; sanad dan matannya secara bersamaan.
Sebagian kalangan ada yang mempermasalahkannya dari segi sanadnya, dan sebagian lagi ada yang salah faham terhadap matannya. Dari situlah, kami merasa terdorong untuk membahas hadits ini dari segi sanad dan matannya serta meluruskan kesalahfahaman tersebut. Semoga Allah menjadikan kita semua termasuk wali-waliNya.
Sanad Hadits
Sebagian kalangan ada yang mengkritik hadits ini dari sanadnya, dimana memang pada sanadnya terdapat rawi yang dibicarakan oleh para ulama ahli hadits, yaitu Khalid bin Makhlad. (Lihat Mizan I’tidal adz-Dzahabi, 1/64 -biografi Khalid bin Makhlad-, Jamiul Ulum wal Hikam Ibnu Rajab 2/330-331, Tafsir Manar Rasyid Ridha surat Yunus: 62-63, As-Sunnah Nabawiyyah Muhammad Ghozali, hal. 77 cet keenam)
Jawaban :
Hadits ini diriwayatkan Bukhari dalam Shahihnya 6502, Abu Nuaim dalam Al-Hilyah 1/4, al-Baghawi dalam Syarh Sunnah 1248, Abul Qasim al-Mahrawani dalam Al-Fawaid Al-Muntakhobah Ash-Shihah 1/3/2, Ibnul Hamami ash-Shufi dalam Muntakhab Min Masmu’atihi 1/171, dan ketiganya menyatakan shahih, Rizqullah al-Hanbali dalam Ahadits Min Masmu’atihi 1/2, Yusuf bin Hasan an-Nabilsi dalam Ahadits As-Sittah Al-Iraqiyyah 1/26, al-Baihaqi dalam Al-Asma’ wa Sifat 491dan Az-Zuhud 2/83 dari jalan Khalid bin Makhlad: Menceritakan kami Sulaiman bin Bilal: Menceritakanku Syarik bin Abdillah bin Abi Nimr dari Atha’ dari Abu Hurairah…
Sanad hadits ini lemah, dia termasuk beberapa hadits sedikit yang dikritik oleh para ulama terhadap Bukhari. Adz-Dzahabi mengatakan pada biografi Khalid bin Makhlad al-Qathawani setelah menyebutkan komentar para ulama ahli hadits tentangnya: “Hadits ini aneh sekali. Seandainya bukan karena kewibawaan Jami’us Shahih (Shahih Bukhari), niscaya saya akan memasukkannya termasuk munkarat Khalid bin Makhlad, sebab lafadznya aneh dan ditambah lagi Syarik sendirian dalam riwayatnya padahal dia bukan seorang yang pakar…”.
Ucapan ini dinukil secara ringkas oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 11/292-293 lalu katanya: “Namun hadits ini memiliki beberapa jalur lain yang dengan terkumpulnya menunjukkan bahwa hadits ini ada asalnya”. Kemudian beliau menyebutkan delapan jalur penguat.
Syaikh Al-Muhaddits al-Albani berkomentar dalam Ash-Shahihah 4/185-186: “Demikianlah ucapan Al-Hafizh. Beliau telah memaparakannya secara panjang lebar. Hal itu sangat wajar, sebab hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahihnya bukanlah suatu hal yang mudah untuk mencela keabsahannya hanya karena kelemahan pada sansdnya, karena mungkin saja hadits tersebut memiliki beberapa penguat yang menguatkan dan mengangkatnya. Nah,apakah hadits ini termasuk diantaranya? Al-Hafizh telah memaparkan delapan penguat dan menetapkan bahwa dengan terkumpulnya jalan-jalan tadi menunjukkan bahwa hadits ini ada asalnya.
Menimbang, karena termasuk syarat diterimanya penguat adalah tidak terlalu lemah sebagaimana ditegaskan oleh para ulama dalam ilmu musthalah hadits, sehingga kalau terlalu lemah maka tidak bisa terangkat, dan juga harus sempurna, sehingga kalau tidak sempurna-pun tidak diterima, maka kita harus meneliti dalam beberapa penguat ini, apakah memenuhi dua persyaratan tersebut ataukah tidak”.
Setelah membahas secara panjang lebar, beliau menyimpulkan di akhir bahasan 4/190: “Kesimpulannya, kebanyakan penguat ini tidak bisa menguatkan hadits ini, ada yang karena sangat lemahnya dan ada pula karena ringkasnya (tidak sempurna), kecuali mungkin hadits Aisyah dan Anas bin Malik, dimana kalau keduanya digabungkan dengan sanad hadits Abu Hurairah ini maka bisa terangkat kepada derajat shahih insyallah. Dan telah dishahihkan oleh para ulama yang telah saya sebutkan di muka”.
Barangsiapa yang ingin memperluas takhrij hadits ini, kami sarankan membaca Silsilah Ahadits Ash-Shahihah 4/183-193 oleh al-Albani, karena beliau telah memaparkan jalur-jalurnya dengan pembahasan yang jarang didapati di kitab lainnya .
Matan Hadits
Sebagian kalangan dari kaum Sufi berdalil dengan hadits ini untuk memperkuat aqidah rusak mereka yaitu “wahdatul wujud”, bahwa Tuhan bersatu dengan hamba, sebab Allah mengkhabarkan bahwa dirinya adalah pendengaran hamba, penglihatannya, tangannya, dan kakinya. (Lihat Fushus Hikam hal. 189 Ibnu Arabi, Thabaqot Kubra 2/24 asy-Sya’rani, Syarh Fushus Hikam 1/19 al-Qaishari, Iqadhul Himam hal. 52 Ibnu Ajibah, Syarh Jawahir Nushus hal. 47 an-Nabilisi).
Jawaban:
Hadits ini tidak mendukung aqidah mereka secuilpun, bahkan sebaliknya malah membantah aqidah mereka ditinjau dari beberapa segi:
1. Allah mengatakan: “Barangsiapa yang memusuhi waliKu, maka Aku umumkan perang terhadapnya”. Dalam hadits ini Allah menetapkan tiga wujud; diriNya, waliNya, musuhNya. Maka bagaimana kalian jadikan mereka satu dzat saja?!
2. Allah mengatakan: “Tidaklah hamba-Ku melakukan suatu amalan yang lebih Aku cintai daripada apa yang Aku wajibkan pada mereka, kemudian hambaKu senantiasa mendekatkan diri kepadaKu dengan perkara sunnah sehingga Aku mencintaiNya”.
Jadi Allah menetapkan adanya hamba yang mendekatkan diri kepada Allah dengan kewajiban dan sunnah dan bahwasanya dia senantiasa mendekatkan diri kepadaNya sehingga Allah mencintainya. Hal itu menunjukkan adanya hamba dan Rabb, Yang mencintai dan yang dicintai, yang beribadah dan Yang diibadahi. Lantas bagaimana kalian jadikan keduanya satu dzat saja?!
3. Allah mengatakan: “Apabila Aku mencintainya maka aku adalah pendengarannya yang dia mendengar dengannya…”. Kecintaan ini diraih oleh hamba setelah dia mendekatkan diri kepada Allah dan setelah Allah mencintainya. Adapun menurut keyakinan wahdatul wujud bahwa Allah adalah hamba itu sendiri, baik setelah mendekatkan diri maupun sebelumnya.
4. Dalam hadits ini Allah mengkhususkan keutamaan tersebut bagi waliNya tetapi dalam pandangan wahdatul wujud hal itu umum mencakup seluruh makhluk baik wali maupun musuh Allah. Kalau demikian masalahnya, lantas apa keistimewaan wali?!
5. Dalam hadits ini Allah hanya menyebut pendengaran, penglihatan, tangan dan kaki, tetapi mereka memperluasnya meliputi perut, paha, hidung dan sebagainya.
6. Di akhir hadits, Allah berfirman: “Kalau dia memintaku maka Aku akan memberinya, dan apabila dia meminta perlindungan kepadaKu maka Aku akan melindunginya”. Hal ini sangat jelas bahwa di sana ada yang meminta dan ada Yang diminta, ada yang meminta perlindungan dan ada Yang dimintai perlindungan. Semua ini bersebrangan dengan aqidah wahdatul wujud.
Adapun makna hadits ini yang benar: Sesungguhnya seorang hamba, apabila dia menunaikan perkara yang diwajibkan Allah padanya kemudian berusaha menambahinya dengan perkara-perkara sunnah dengan segala kemampuannya, niscaya Allah akan mencintainya dan menolongnya dalam segala urusannya, kalau dia mendengar maka dia pendengarannya mendapatkan bimbingan Allah sehingga tidak mendengar kecuali kebaikan, tidak menerima kecuali kebenaran dan menolak kebatilan.
Dan apabila dia memandang dengan penglihatannya, dia memandang dengan cahaya dan hidayah dari Allah, sehingga dia memandang kebenaran dan mengikutinya, dan memandang kebatilan dan menjauhinya. Demikian pula apabila dia berjalan, maka dia berjalan dengan bimbingan Allah sehingga dia berjalan dalam ketaatan kepada Allah seperti mencari ilmu, jihad, dakwah, silaturrahmi dan sebagainya.
Walhasil, seluruh amalannya, kekuatannya, dan anggota badannya dalam hidayah Allah, penjagaanNya dan taufiqNya. (Lihat Majmu Fatawa 2/341 Ibnu Taimiyyah, Ad-Da’ wa Dawa’ hal. 315-319 Ibnu Qayyim, Fathul Bari 11/344 Ibnu Hajar, Qathrul Walyi bi Syarh Hadits Wali hal. 428-429 Asy-Syaukani, Fatawa Lajnah Daimah 3/158, Fatawa Syaikh Ibnu Utsaimin 1/257-258)
Al-Hafizh Ibnu Rajab berkata: “Apabila kecintaan dan pengagungan kepada Allah memenuhi hati seorang hamba maka setiap apapun selainNya akan terhapus dari hatinya, sehingga tidak tersisa pada diri hamba sesuatupun dari hawa dan keinginannya kecuali sesuai dengan apa yang dicintai Allah, ketika itulah dia tidak berucap kecuali dengan mengingatNya, tidak bergerak kecuali dengan perintahnya, bila dia berbicara, berjalan, mendengar, melihat semuanya dengan bimbingan dari Allah. Inilah maksud dari sabda beliau “Aku adalah pendengarannya, pandangannya, tangannya dan kakinya”. Siapapun yang menafsirkan selain ini, maka sesungguhnya dia mengisyaratkan kepada aqidah hulul dan wahdatul wujud yang Allah dan rasulNya berlepas diri darinya”. (Jamiul Ulum wal Hikam 2/347)
Abu Sulaiman al-Khaththabi berkata: “Semua perumpamaan yang digambarkan oleh nabi ini maksudnya adalah -wallahu a’lam- bahwa Allah memberikan taufiq kepadanya untuk melakukan amalan dengan anggota badannya tersebut, yakni Allah memudahkannya dengan anggota badan tersebut untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang dicintai oleh Allah dan menjaganya dari terjerumus kepada perbuatan yang dibenci Allah berupa mendengarkan ucapan batil dan sia-sia dengan pendengarannya, memandang hal yang haram dengan matanya, berjalan menuju keharaman dengan kakinya. Atau bisa jadi maksud hadits ini adalah lekasnya terkabulkannya doa wali sebab usaha manusia itu adalah dengan empat anggota tubuh tersebut”. (Syarh Sunnah 5/20, al-Baghawi)
Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Baz juga berkata: “Seorang yang sedikit saja memiliki bekal ilmu bahasa Arab tidak akan memahami bahwa maksud hadits ini bahwa Allah adalah pendengaran manusia, penglihatanNya, tangan dan kakiNya. Maha suci Allah dari ucapan mereka. Tetapi maksudnya adalah bahwa Allah memberikan taufiq kepada para waliNya dalam setiap gerakan mereka disebabkan ketaatan mereka kepadaNya”. (Majmu Fatawa wa Maqalat 3/66-67)
Demikianlah makna hadits ini secara benar sebagaimana difahami oleh para ulama ahli hadits semenjak dahulu hingga sekarang. Peganglah ucapan mereka dan cukuplah hal itu sebagai pedoman bagi kita.
إِذَا قَالَتْ حَذَامِ فَصَدِّقُوْهَا فَإِنَّ الْقَوْلَ مَا قَالَتْ حَذَامِ
Apabila Hadhami berucap maka benarkanlah
Karena kebenaran pada dirinya.
Fawaid Hadits
Hadits ini memiliki banyak faedah. Al-Hafizh asy-Syaukani menulis kitab khusus tentang penjelasan hadits ini berjudul Qathrul Walyi Bi Syarhi Hadits Wali. Diantara faedah yang dapat dipetik dari hadits ini sebagai berikut:
1. Keutamaan para wali (kekasih) Allah.
Tetapi siapakah yang disebut wali Allah?! Mereka adalah setiap hamba yang beriman dan bertaqwa kepada Allah, sebagaimana firmanNya:
Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih. (Yaitu) orang-orang beriman dan mereka selalu bertaqwa. (QS. Yunus: 62-63)
2. Sifat utama wali Allah
Sifat mereka adalah melaksanakan kewajiban dan menambahinya dengan perkara sunnah. Oleh karenanya, jangan tertipu dengan penampilan para wali gadungan dari para tukang sihir dan penyimpang yang doyan kesyirikan, kebid’ahan dan kemaksiatan, sekalipun mereka menampakkan kedigdayaan dan keluarbiasaan, sebab semua itu adalah tipu daya syetan.
إِذَا رَأَيْتَ شَخْصًا قَدْ يَطِيْرُ وَفَوْقَ مَاءِ الْبَحْرِ يَسِيْرُ
وَلَمْ يَقِفْ عَلَى حُدُوْدِ الشَّرْعِ فَإِنَّهُ مُسْتَدْرَجٌ بِدْعِيْ
Bila engkau lihat seorang dapat terbang
Dan berjalan di atas lautan
Padahal dia tidak mentaati tatanan syari’at
Maka ketahuilah bahwa dia ahli bid’ah yang dimanja.
3. Bahaya Menyakiti para wali.
Menyakiti para wali Allah merupakan dosa besar, sebab Allah menyatakan perang terhadapnya. Maka celakalah orang-orang yang mencela para nabi , para sahabat nabi dan para ulama salaf shalih .
Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin dan mukminah tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata. (QS. Al-Ahzab: 58)
Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata dalam Tafsirnya 4/481: “Barisan yang pertama kali masuk dalam ancaman ayat ini adalah orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasulNya, kemudian kaum rafidhah (Syi’ah) yang biasa mencela para sahabat dan menuduh mereka yang bukan-bukan serta mensifati mereka berlainan tajam dengan sifat yang diberikan Allah kepada mereka, dimana Allah memuji mereka dan mengkhabarkan bahwa Dia telah ridho kepada kaum Muhajirin dan Anshar, tetapi orang-orang jahil dan tolol itu mencela dan menghina mereka, dan menuduh mereka yang bukan-bukan. Sungguh mereka adalah manusia yang terbalik hatinya, mencela manusia terpuji dan memuji manusia tercela”.
4. Menetapkan “perang” bagi Allah.
Allah telah menyebutkan juga tentang riba:
Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan rasulNya akan memerangimu. (QS. Al-Baqarah: 279)
5. Menetapkan sifat “Cinta” bagi Allah.
6. Perintah Allah terbagi menjadi dua, ada yang wajib dan ada yang sunnah.
7. Anjuran memperbanyak amalan sunnah.
8. Banyak mengamalkan perkara sunnah merupakan sebab kecintaan Allah.
9. Sesungguhnya Allah apabila mencintai seorang hamba, maka Allah akan mengabulkan doanya dan memenuhi permintaannya.
10. Seorang hamba akan merasakan dekat kepada Allah ketika dia beramal shalih.
Demikianlah pembahasan kita kali ini, kami mengajak diri kami dan saudara kami untuk mempertebal keimanan dan ketaqwaan kepada Allah, semoga Allah agar menjadikan kita semua termasuk wali-waliNya. Amiin.
0 komentar:
Posting Komentar