Sabtu, 28 November 2009

Hukum Rajam Bagi Pezina

Sejak beberapa abad yang silam Umar bin Khaththab telah menginformasikan dan memperingatkan kita dari pemikiran suatu kaum yang mendustakan hukum-hukum yang harus dibenarkan oleh kaum muslimin:
أَلاَ وَإِنَّهُ سَيَكُوْنُ مِنْ بَعْدِكُمْ قَوْمٌ يُكَذِّبُوْنَ بِالرَّجْمِ وَالدَّجَّالِ وَبِالشَّفَاعَةِ وَبِعَذَابِ الْقَبْرِ وَبِقَوْمٍ يُخْرَجُوْنَ مِنَ النَّارِ بَعْدَمَا امْتَحَشُوْا
Ketahuilah bahwa akan ada suatu kaum setelah kalian yang mendustakan hukum rajam, Dajjal, syafa’at, siksa kubur dan dikeluarkannya suatu kaum dari neraka setelah mereka hitam kelam.
Imam al-Ajurri berkata: "Semua yang dikatakan Umar di atas telah terbukti nyata pada umat ini, maka hendaknya bagi orang yang berakal untuk mewaspadai dari pendustaan hukum-hukum di atas yang harus diimani. Barangsiapa yang tidak membenarkannya maka dia tersesat dari jalan kebenaran. Allah telah menjaga kaum mukminin yang alim dan berakal dari mendustakan hukum-hukum di atas.
Adapun rajam, maka Rasulullah telah menegakkan hukum rajam dengan tiada perselisihan di kalangan ahli ilmu. Beliau merajam Ma'iz bin Malik, wanita Ghamidiyyah, dua orang Yahudi. Abu Bakar juga menegakkan rajam, demikian juga Umar dan Ali bin Abi Thalib. Dan tidak ada perselisihan di kalangan ahli fiqih bahwa pezina yang telah menikah baik zinanya dengan saksi atau mengaku, maka dia dihukum rajam baik lelaki maupun wanita. Adapun bagi yang belum menikah maka hukumnya adalah dicambuk. Hal ini tidak ada perselisihan di kalangan ulama. Maka ketahuilah hal itu".
Sekalipun demikian jelasnya hukum rajam dalam Islam, namun anehnya masih ada sekelompok orang dari para pemikir dan penulis masa kini yang menggugat hukum ini hanya karena mengikuti arus hawa nafsu mereka, dan mengikuti langkah nenek moyang mereka dari kalangan khawarij. Hanya kepada Allah kita mengadu semua ini.
Demi Allah, tiada keamanan dan ketentraman kecuali dengan penerapan hukum-hukum Islam, bukan dengan undang-undang buatan manusia yang terbukti gagal mewujudkan ketentraman negara. Maha benar Allah tatkala berfirman:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?. (QS. Al-Maidah: 50)

TEKS HADITS
Hadits-hadits tentang hukum rajam sangat banyak sekali, hingga mencapai derajat mutawatir. Dalam Syarh Kabir oleh ar-Rafi'i dikatakan: "Rajam merupakan perkara yang populer dari Nabi dalam kisah Ma'iz, Ghomidiyyah, dua Yahudi. Kemudian diamalkan para khalifah setelahnya sehingga mencapai derajat mutawatir". Ucapan ini disetujui oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqolani dalam at-Talkhis al-Habir 4/1364.
Ibnu Humam berkata: "Kebenaran rajam dari Rasulullah derajatnya mutawatir secara makna seperti halnya keberanian Ali, kedermawanan Hatim. Yang berderajat ahad adalah perincian dalam hukumnya, adapun asli hukum rajam maka tidak ada keraguan di dalamnya".
Ibnu Qudamah berkata: "Telah tetap rajam dari Rasululullah berupa ucapan dan perbuataannya dalam hadits-hadits yang menyerupai mutawatir dan disepakati oleh para sahabat Nabi".
Asy-Syaukani juga berkata: "Kebenaran hukum rajam bagi pezina yang muhshon dalam syari'at ini ditetapkan berdasarkan kitabullah dan mutawatir sunnah Rasulullah serta kesepakatan kaum muslimin semenjak dahulu hingga sekarang, tidak ada yang menyelisihinya kecuali khawarij yang tidak perlu dilirik ucapan mereka".
Kalau memang derajat hadits-hadits rajam adalah mutawatir maka kita pilih salah satunya diantaranya agar tidak mempertebal jumlah halaman. Hadits yang menjadi pilihan adalah sebagai berikut:

عَنْ عُبَيْدِ اللهِ بْنِ عَبْدِاللهِ بْنِ عُتْبَةَ بْنِ مَسْعُوْدٍ عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ وَزَيْدِ بْنِ خَالِدٍ الْجُهَنِيِّ أَنَّهُمَا قَالاَ : إِنَّ رَجُلاً مِنَ الأَعْرَابِ أَتَى رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ : يَا رَسُوْلَ اللهِ, أَنْشُدُكَ اللهَ إِلاَّ قَضَيْتَ لِيْ بِكِتَابِ اللهِ, فَقَالَ الْخَصْمُ الآخَرُ وَهُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ : نَعَمْ فَاقْضِ بَيْنَنَا بِكِتَابِ اللهِ وَائْذَنْ لِيْ, فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : قُلْ, قَالَ : إِنَّ ابْنِيْ كَانَ عَسِيْفًا عَلىَ هَذَا فَزَنَى بِامْرَأَتِهِ وَإِنِّيْ أُخْبِرْتُ أَنَّ عَلَى ابْنِيْ الرَّجْمَ فَافْتَدَيْتُ مِنْهُ بِمِائَةِ شَاةٍ وَوَلِيْدَةٍ, فَسَأَلْتُ أَهْلَ الْعِلْمِ فَأَخْبَرُوْنِيْ أَنَّمَا عَلَى ابْنِيْ جَلْدَ مِائَةٍ وَتَغْرِيْبَ عَامٍ, وَأَنَّ عَلَى امْرَأَةِ هَذَا الرَّجْمَ, فَقَالَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم : وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ لأَقْضِيَنَّ بَيْنَكُمَا بِكِتَابِ اللهِ, الْوَلِيْدَةُ وَالْغَنَمُ رَدٌّ عَلَيْكَ وَعَلَى ابْنِكَ جَلْدُ مِائَةٍ وَتَغْرِيْبُ عَامٍ, وَاغْدُ يَا أُنَيْسُ إِلَى امْرَأَةِ هَذَا فَإِنِ اعْتَرَفَت فَارْجُمْهَا. قَالَ : فَغَدَا عَلَيْهَا فَاعْتَرَفَتْ فَأَمَرَ بِهَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَرُجِمَتْ
Dari Ubaidullah bin Abdullah bin Utbah bin Mas'ud dari Abu Hurairah dan Zaid bin Khalid al-Juhani bahwa keduanya berkata: "Ada seorang badui datang kepada Rasulullah seraya mengatakan: "Wahai Rasulullah, aku meminta kepadamu agar engkau tidak menghukumiku kecuali dengan kitabullah", kemudian lawannya yang lebih pandai darinya berkata: "Ya, hukumilah antara kami dengan kitabullah tetapi izinkanlah aku menjelaskan masalahnya". Rasulullah berkata: "Silahkan kamu berbicara". Dia berkata: "Sesungguhnya anakku bekerja pada orang ini lalu anakku berzina dengan istrinya, saya dikabari kalau anakku terkena hukum rajam maka aku menebusnya dengan seratus kambing dan budak, kemudian aku bertanya kepada ahli ilmu dan mereka memberikan jawaban padaku bahwa anakku terkena hukuman cambuk sebanyak seratus kali dan diasingkan selama setahun dan istri orang ini terkena hukum rajam". Mendengar penjelasannya, Rasulullah kemudian bersabda: "Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, saya akan menghukumi antara kalian berdua dengan kitabullah, budak dan kambing dikembalikan padamu, anakmu terkena hukum cambuk seratus kali dan diasingkan selama setahun, dan pergilah wahai Unais kepada istri orang ini, kalau dia mengaku (berzina) maka rajamlah". Akhirnya dia pergi ke wanita tersebut dan dia mengaku, maka Rasulullah memerintahkan agar dia dirajam, kemudian diapun dirajam.
SHOHIH. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari 2695-2696, Muslim 1697-1698, Ahmad 4/115-116, Abu Dawud 4445, Nasa'i 8/240-242, Tirmidzi 1433, Ibnu Majah 2545, Darimi 2/177, Malik 2/822, Syafi'i dalam al-Umm 6/133 dan ar-Risalah hal. 248-250, Ibnu Hibban dalam Shohihnya 4420, Ibnul Jarud 811, al-Humaidi 2/354, ath-Toyyalisi 953, 2514, al-Baihaqi dalam Sunan Kubro 8/369, al-Baghawi dalam Syarh Sunnah 10/274/2579, ath-Thahawi dalam Musykil Atsar 1/21-22, Abdur Razzaq dalam al-Mushannaf 7/310, Ibnu Abi Syaibah 6/554.
Imam Tirmidzi berkata: "Hadits ini hasan shohih".
Imam al-Baghawi berkata: "Hadits ini disepakati keshahihannya".

MEMBELA HADITS DARI HUJATAN

Sebagian orang yang di hatinya ada penyakit menggugat hadits ini seraya mengatakan: "Hadits ini adalah bathil, karena orang tersebut meminta Nabi agar menghukumiya dengan kitabullah, lalu Nabi bersumpah untuk menghukumiya dengan kitabullah, padahal hukum rajam dan pengasingan tidak ada dalam kitabullah Al-Qur'an".
Jawab:
Ada beberapa alternatif untuk menjawab syubhat ini:
1. Maksud Nabi dengan kitabullah di sini bukanlah al-Qur'an tetapi maksudnya adalah hukum dan kewajiban Allah, karena lafadz "kitab" bisa bermakna hukum dan kewajiban, seperti firman Allah:
كِتَابَ اللهِ عَلَيْكُمْ
Sebagai suatu kewajiban Allah kepada kalian. (QS. An-Nisa': 24)
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh. (QS. Al-Baqarah: 178)
Seperti juga dalam hadits:
مَا كَانَ مِنْ شَرْطٍ لَيْسَ فِيْ كِتَابِ اللهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ
Setiap syarat yang tidak ada dalam kitabullah maka bathil sekalipun seratus syarat.
(HR. Bukhari 2168 Muslim 1504).
Sebagaimana dimaklumi bersama bahwa maksud kitabullah dalam hadits ini bukanlah al-Qur'an sebab kebanyakan syarat yang sah tidak ada dalam al-Qur'an. Maka maksud kitabullah di sini adalah hukum Allah . Alternatif ini diperkuat dengan riwayat Amr bin Syu'aib dengan lafadz: "Dengan al-haq/kebenaran".

2. Maksud Nabi dengan kitabullah adalah isyarat kepada firman Allah:
وَالاَّتِي يَأْتِينَ الْفَاحِشَةَ مِن نِّسَآئِكُمْ فَاسْتَشْهِدُوا عَلَيْهِنَّ أَرْبَعَةً مِّنكُمْ فَإِن شَهِدُوا فَأَمْسِكُوهُنَّ فِي الْبُيُوتِ حَتَّى يَتَوَفَّاهُنَّ الْمَوْتُ أَوْ يَجْعَلَ اللهُ لَهُنَّ سَبِيلاً
Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi di antara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan yang lain kepadanya. (QS. An-Nisa': 15)
Hal itu karena Nabi telah menafsirkan "jalan" dalam ayat ini dengan hukum rajam dan cambukan, sebagaimana dalam hadits Ubadah bin Shomith:
عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : خُذُوْا عَنِّي خُذُوْا عَنِّي, قَدْ جَعَلَ اللهُ لَهُنَّ سَبِيْلاً الْبِكْرُ بِالْبِكْرِ جَلْدُ مِائَةٍ وَنَفْيُ سَنَةٍ وَالثَّيِّبُ بِالثَّيِّبِ جَلْدُ مِائَةٍ وَالرَّجْمُ
Dari Ubadah bin Shomith berkata: Rasulullah bersabda:" Ambilah dariku, ambilah dariku, sesungguhnya Allah telah menjadikan bagi mereka jalan keluar, bujang dan perawan yang berzina dicambuk seratus kali dan diasingkan selama satu tahun, dan yang muhshon hukumnya dicambuk seratus kali dan dirajam" . (Muslim: 1690)

3. Maksud Nabi dengan kitabullah adalah ayat rajam yang pernah tercantum dalam al-Qur'an, hanya saja dia terhapus lafadznya namun hukumnya tetap berjalan, sebagaimana dikatakan oleh Khalifah Umar bin Khathtab:
قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وَهُوَ جَالِسٌ عَلَى مِنْبَرِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم إِنَّ اللهَ قَدْ بَعَثَ مُحَمَّدًا صلى الله عليه وسلم بِالْحَقِّ وَأَنْزَلَ عَلَيْهِ الْكِتَابَ, فَكَانَ مِمَّا أَنْزَلَ عَلَيْهَ آيَةَ الرَّجْمِ, قَرَأْنَاهَا وَوَعَيْنَاهَا وَعَقَلْنَاهَا, فَرَجَمَ رَسُوْلًُ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَرَجَمْنَا بَعْدَهُ فَأَخْشَى إِنْ طَالَ بِالنَّاسِ زَمَانٌ أَنْ يَقُوْلَ قَائِلٌ : مَا نَجِدُ الرَّجْمَ فِيْ كِتَابِ اللهِ فَيَضِلُّوْا بِتَرْكِ فَرِيْضَةٍ أَنْزَلَهَا اللهُُ, وَإِنَّ الرَّجْمَ فِيْ كِتَابِ اللهِ حَقٌّ عَلَى مَنْ زَنَى إِذَا أَحْصَنَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ إِذَا قَامَتِ الْبَيِّنَةُ أَوْ كَانَ الْحَبَلُ أَوِ الاِعْتِرَافُ
Umar bin Khaththab pernah duduk di mimbar Rasulullah seraya berkata: "Sesungguhnya Allah telah mengutus Muhammad dengan kebenaran dan menurunkan al-Qur'an kepadanya, dan diantara ayat yang Dia turunkan kepada beliau adalah ayat rajam, kami membacanya dan memahaminya. Rasulullah menegakkan rajam dan kamipun menegakkan rajam setelahnya. Saya khawatir dengan berjalannya masa akan ada seorang yang mengatakan: "Kami tidak menjumpai hukum rajam dalam kitabullah sehingga mereka tersesat karena meninggalkan kewajiban yang diturunkan oleh Allah". . Ketahuilah bahwa rajam itu benar-benar ada dalam kitabullah bagi pezina lelaki yang telah muhshon, demikian juga bagi wanita apabila ada bukti, kehamilan, dan pengakuan. (HR. Bukhari: 6830 dan Muslim: 1691).

4. Ada beberapa ayat yang mengisyaratkan adanya hukum rajam dalam al-Qur'an, diantaranya:
يَاأَهْلَ الْكِتَابِ قَدْ جَآءَكُمْ رَسُولُنَا يُبَيِّنُ لَكُمْ كَثِيرًا مِّمَّا كُنتُمْ تُخْفُونَ مِنَ الْكِتَابِ وَيَعْفُوا عَن كَثِيرٍ قَدْ جَاءَكُم مِّنَ اللهِ نُورُُ وَكِتَابُُ مُّبِينُُ
Hai ahli kitab, sesungguhnya telah atang kepadamu Rasul Kami, menjelaskan kepadamu banyak dari isi Al-Kitab yang kamu sembunyikan, dan banyak (pula yang) dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan. (QS. Al-Maidah: 5)
Sahabat Ibnu Abbas berkata: "Barangsiapa yang mengingkari rajam, maka sesungguhnya dia mengingkari al-Qur'an tanpa dia sadari, lalu beliau membacakan ayat di atas, seraya mengatakan: "Dan rajam termasuk yang mereka sembunyikan". (Al-Hakim dalam al-Mustadrak 4/359 dan beliau mengatakan shohih).
Demikian juga ayat lain yang menunjukkan rajam adalah:
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ أُوتُوا نَصِيبًا مِّنَ الْكِتَابِ يُدْعَوْنَ إِلَى كِتَابِ اللهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ يَتَوَلَّى فَرِيقُُ مِّنْهُمْ وَهُم مُّعْرِضُونَ
Tidakkah kamu memperhatikan orang-orang yang telah diberi bahagian yaitu Al-Kitab (Taurat), mereka diseru kepada kitab Allah supaya kitab itu menetapkan hukum di antara mereka; kemudian sebahagian dari mereka berpaling, dan mereka selalu membelakangi (kebenaran). (QS. Ali Imron: 23)
Kalau kita katakan bahwa ayat ini turun berkaitan dengan dua orang Yahudi yang dirajam Rasulullah sebagaimana dalam riwayat Bukhari: 3635 dan Muslim: 1699. Allah mencela mereka tatkala berpaling dari hukum rajam yang terdapat dalam Taurat, maka celaan tersebut menunjukkan bahwa rajam ditetapkan dalam syari'at kita .
Bagi kami beberapa alternatif di atas saling menguatkan, bahkan kita tambahkan satu lagi: Kalaulah memang hukum rajam tidak ada dalam al-Qur'an, namun yang jelas dia tercantum dalam ayat:
وَمَآءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَانَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا
Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia.Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. (QS. Al-Hasyr: 7)
Hal itu karena rajam telah datang dalam beberapa hadits yang mutawatir dan al-Qur'an mewajibkan kepada kita untuk mengikuti Nabi Muhammad dan membenarkan ucapan beliau. Wallahu A'lam.

(Faedah):
1. Bunyi ayat Rajam yang terhapus dari Al-Qur'an
Sebagaimana dalam ucapan Umar bin Khathtahb di atas, maka sangat jelas bagi kita bahwa hukum rajam pernah tercantum dalam al-Qur'an kemudian dihapus lafadznya dan hukumnya masih tetap berjalan. Namun bagaimanakah bunyi ayat yang terhapus tersebut?! Telah populer di kalangan para ahli fiqih, ahli hadits dan ahli ushul bahwa ayat yang terhapus adalah sebagai berikut:
الشَّيْخُ وَالشَّيْخَةُ إِذَا زَنَيَا فَارْجُمُوْهُمَا أَلْبَتَّةَ نَكَالاً مِنَ اللهِ, وَاللهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ
Orang tua lelaki dan orang tua wanita apabila berzina maka rajamlah keduanya sebagai hukuman dari Allah. Dan Allah Maha perkasa dan bijaksana.
Namun kalau kita mau jeli dan kritis ternyata hal ini tidak benar, baik secara sanad maupun secara matan:
1. Secara sanad, karena tambahan lafadz ini hanyalah diriwayatkan oleh Sufyan bin 'Uyainah saja tanpa sahabat-sahabat beliau lainnya. Imam Nasa'i berkata dalam Sunan Kubra 2/273: "Saya tidak mengetahui seorangpun menyebutkan tambahan ini dalam hadits selain Sufyan, kemungkinan besar dia keliru. Wallahu A'lam". Syaikh Masyhur bin Hasan telah menjelaskan lemahnya riwayat ini secara panjang lebar dalam kitabnya Syarh Waraqat hal. 352-370.
2. Adapun secara matan, maka hal itu ditinjau dari beberapa segi:
a. Dalam lafadz tersebut ada kejanggalan yang dapat dirasakan oleh seorang yang meresapi bahasa al-Qur'an.
b. Hukum dalam lafadz tersebut berbeda dengan hukum yang telah mapan, karena dalam lafadz tersebut hukum rajam dikaitkan denga "tua" sedangkan dalam hukum yang mapan rajam dikaitkan dengan "muhshon". Dan sangat jauh perbedaan antara keduanya, karena tua belum tentu sudah menikah dan orang yang sudah menikah belum tentu sudah tua.
c. Lafadz tersebut menyelisihi gaya bahasa al-Qur'an, karena dalam lafadz tersebut yang didahulukan adalah "kaum lelaki" sedangkan dalam al-Qur'an yang didahulukan adalah "kaum wanita', perhatikanlah bersamaku ayat berikut:
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا مَائَةَ جَلْدَةٍ
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera. (QS. An-Nur: 2)

2. Hikmah Terhapusnya dari Al-Qur'an
Kalau ada yang bertanya: Mengapa lafadz hukum rajam dihapus dari al-Qur'an namun hukumnya tetap berjalan dengan kesepakatan ulama. Adakah hikmah di balik hal itu?! Para ulama mencoba untuk mencari jawabanya, namun yang paling kuat -Wallahu A'lam- adalah untuk menunjukkan keistimewaan umat Islam sebab mereka menegakkan hukum rajam sekalipun tidak tercantum dalam kitab suci mereka, berbeda dengan orang-orang Yahudi yang tidak menegakkan hukum rajam padahal tercantum dalam kitab taurat mereka .

FIQIH HADITS
Berbicara tentang perzinaan dan hukum rajam sangat panjang sekali, telah dibahas dalam kitab-kitab fiqih secara terperinci. Namun pada kesempatan ini akan kita bahas pokok-pokok permasalahan yang penting secara ringkas:

1. Haramnya Zina
Zina adalah perbuatan seorang lelaki menggauli wanita di luar pernikahan yang sah atau perbudakan .
Zina termasuk dosa besar setelah syirik dan pembunuhan , sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur'an, hadits, ijma', dan akal.

a. Dalil Al-Qur'an
وَلاَتَقْرَبُوا الزِّنَى إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَآءَ سَبِيلاً
Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk. (QS. Al-Isra': 32)
Para ulama menegaskan bahwa lafadz di atas lebih mendalam daripada hanya sekedar lafadz "Janganlah kalian berzina" karena kalau mendekati saja tidak boleh, maka apalagi melakukannya. Demikian juga karena lafadz tersebut mencakup juga larangan terhadap semua sarana yang dapat menjurus kepada perzinaan .

b. Dalil Hadits
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ قَالَ : سَأَلْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم: أَيُّ الذَّنْبِ أَعْظَمُ ؟ قَالَ : أَنْ تَجْعَلَ لِلَّهِ نِدًّا وَهُوَ خَلَقَكَ. قُلْتُ : ثُمَّ أَيُّ ؟ قَالَ : أَنْ تَقْتُلَ وَلَدَكَ مَخَافَةَ أَنْ يُطْعِمَ مَعَكَ. قُلْتُ : ثًُمَّ أَيُّ ؟ قَالَ : أَنْ تَزْنِيَ بِحَلِيْلَةِ جَارِكَ
Dari Ibnu Mas'ud berkata:"Saya pernah bertanya kepada Nabi: Dosa apakah yang paling besar? Beliau menjawab: "Engkau menyekutukan Allah padahal Dia yang menciptakanmu". Aku bertanya: "Kemudian apa lagi": Beliau menjawab:" Engkau membunuh anakmu karena takut ikut makan bersamamu". Aku bertanya: "Kemudian apa lagi"? Beliau menjawab: "Engkau berzina dengan istri tetanggamu". (HR. Bukhari 6811 Muslim 86).

b. Dalil Ijma'
Ibnu Mundzir berkata: "Para ulama bersepakat tentang haramnya zina".

c. Dalil Akal
Sesungguhnya Allah telah menghalalkan pernikahan karena menyimpan beberapa faedah dan dampak positif yang banyak bagi pribadi dan masyarakat, sebaliknya Allah mengharamkan perzinaan karena mengandung beberapa dampak negatif yang banyak sekali seperti hancurnya keutuhan keluarga, bercampurnya nasab, merebaknya penyakit-penyakit berbahaya, menimbulkan permusuhan, kehinaan, keruwatan hati dan lain sebagainya.

2. Kapan Seorang Pezina Dirajam?
Apabila ada seorang melakukan perzinaan baik lelaki maupun wanita maka tidak keluar dari dua keadaan:
Pertama: Dia belum menikah dengan pernikahan yang sah, maka hukumnya adalah dengan dicambuk seratus kali kemudian diasingkan selama satu tahun. Dalilnya adalah firman Allah:
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا مَائَةَ جَلْدَةٍ وَلاَتَأْخُذْكُم بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللهِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَآئِفَةٌ مِّنَ الْمُؤْمِنِينَ
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akherat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman. (QS. An-Nur: 2)
Hal ini telah disepakati oleh seluruh para fuqoha'.
Rasulullah juga bersabda:
عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : الْبِكْرُ بِالْبِكْرِ جِلْدُ مِائَةٍ وَنَفْيُ سَنَةٍ
Dari Ubadah bin Shamith berkata: Rasulullah bersabda: "Bujang yang berzina dengan perawan hukumnya adalah cambukan sebanyak seratus kali dan diasingkan selama satu tahun ". (Muslim 1690)
Dan pengasingan selama setahun merupakan pendapat khalifah empat, Malik, Syafi'i, Ahmad, Ishaq dan selain mereka . Berbeda halnya dengan Hanafiyyah, mereka tidak mewajibkannya .

Kedua: Dia sudah muhshon, maka hukumnya adalah dengan dirajam, yaitu dilempari dengan batu hingga meninggal dunia. Adapun muhshon adalah seorang yang terpenuhi pada dirinya beberapa kriteria berikut:
1. Dia telah menikah dengan pernikahan yang sah
2. Dia telah berhubungan dengan istrinya
3. Dia mukallaf (baligh, berakal dan merdeka).
Kalau ada yang berkata: Apa hikmahnya perbedaan hukum ini?! Jawab: Hal ini merupakan keindahan dan keadilan syariat Allah, karena orang yang muhshon dia telah menikah sehingga dia tidak memerlukan perbuatan haram, berbeda dengan seorang yang belum menikah, dia tidak mengetahui dan belum melakukan apa yang dilakukan oleh orang muhshon sehingga dia berhak mendapatkan keringanan hukuman.

3. Hukum Rajam Dalam Islam
Hukum rajam telah ditetapkan dalam Islam berdasarkan dalil-dalil yang sangat kuat tak tergoyahkan:
1. Dalil Al-Qur'an
Umar bin Khaththab pernah duduk di mimbar Rasulullah seraya berkata: Sesungguhnya Allah telah mengutus Muhammad dengan kebenaran dan menurunkan al-Qur'an kepadanya, dan diantara ayat yang Dia turunkan kepada beliau adalah ayat rajam, kami membacanya dan memahaminya. (HR. Bukhari: 6830 dan Muslim: 1691)
Inilah pengakuan Umar bin Khaththob di atas mimbar Rasulullah dan di hadapan para sahabat bahwa ayat rajam pernah tercantum dalam al-Qur'an yang dibaca dan difahami serta diamalkan oleh Nabi dan para khalifah setelahnya. Dan tidak ada seorang sahabatpun yang mengingkarinya. Semua itu menunjukkan kebenaran hukum rajam.

2. Dalil Sunnah
Hukum rajam ditegakkan oleh Rasulullah dalam hadits-haditsnya yang mencapai derajat mutawatir. Beliau menegakkannya kepada wanita Ghomidiyyah, Ma'iz, lelaki dan wanita Yahudi, serta seorang wanita yang berzina dengan pekerja suaminya.

3. Dalil Ijma'
Para sahabat dan para fuqaha' setelah mereka telah bersepakat bahwa pezina yang telah muhshon dihukum rajam hingga meninggal. Ibnu Hubairah berkata: "Para ulama bersepakat bahwa seorang yang telah terpenuhi syarat-syarat muhshon lalu dia berzina dengan wanita semisalnya, maka keduanya dihukum rajam hingga meninggal".
Ibnu Abdil Barr berkata: "Adapun orang yang muhshon maka hukumannya adalah rajam kecuali menurut kelompok khawarij, namun perselisihan mereka tidak dianggap oleh para ulama karena kejahilan mereka dan keluarnya mereka dari jama'ah muslimin".
Beliau juga berkata: "Para fuqoha dan ulama kaum muslimin dari ahli fiqih dan atsar semenjak sahabat hingga hari ini, mereka semua bersepakat bahwa orang yang muhshon hukumnya adalah rajam".

4. Hikmah Di Balik Hukum Rajam
Karena perzinaan merupakan sumber kerusakan dan kekejian yang amat besar serta mengandung dampak-dampak negatif yang amat berbahaya bagi pribadi dan masyarakat maka Allah memberikan hukuman yang keras bagi pelakunya agar mereka tidak meremehkannya dan membendung kerusakan yang ditimbulkan dosa zina.
Kalau ada yang bertanya: Mengapa harus dengan dirajam, mengapa tidak dibunuh saja dengan pedang?! Bukankah Nabi bersabda: "Kalau kalian membunuh, maka bunuhlah dengan cara yang baik"?!
Jawab: Maksudnya Nabi "dengan cara yang baik" adalah sesuai syari'at sebagaimana firman Allah:
وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Dan (hukum) siapakah yang lebih daripada (hukum) Allah bagi oang-orang yang yakin?.
(QS. Al-Maidah: 50)
Jadi, merajam pezina adalah termasuk membunuh dengan cara yang baik, karena sesuai dengan tuntunan syari'at.
Kalau ada yang bertanya: Apa hikmahnya dia dibunuh dengan cara dirajam seperti ini?
Jawab: Karena seorang pezina merasakan kenikmatan syahwat dengan seluruh badannya dan biasanya dia melakukannya dengan kerelaan bukan didasari rasa takut seperti halnya pencuri, maka oleh karena itu dia dihukum juga seluruh badannya.
Kalau ada yang bertanya lagi: Mengapa seorang pezina tidak dipotong saja alat kelaminnya sebagaimana kalau pencuri dipotong tangannya?!
Jawab: Ini merupakan keindahan hukum Islam, karena beberapa sebab:
1. Alat kelamin adalah anggota badan yang tertutup, kalau dipotong maka tidak terwujudlah tujuan penegakan hukum ini yaitu sebagai pelajaran bagi lainnya agar tidak terjerumus dalam pelanggaran yang sama. Jadi tujuannya bukanlah sekedar hanya untuk merusak dan membunuh pelaku pelanggaran semata .
2. Pemotongan alat kelamin akan menyebabkan terputusnya keturunan dan hal ini sangat berseberangan dengan syari'at Islam yang menganjurkan banyaknya keturunan.
3. Hukuman ini malah kurang adil, karena seorang pezina telah merasakan kenikmatan zina dengan semua badannya, bukan hanya dengan alat kelaminnya saja.
4. Hukuman ini malah tidak adil, karena pemotongan tidak bisa tergambarkan pada wanita, padahal sama-sama berbuat dosa sehingga hukumanpun juga harus sama agar adil.
5. Pencuri kalau dipotong tangannya masih ada tangan lain sebagai penggantinya, tapi kalau alat kelamin yang dipotong, apa penggantinya?!
6. Kerusakan hukuman ini akan lebih besar daripada kemaslahatannya.

5. Cara Menetapkan Perzinaan
Ada beberapa cara untuk menetapkan suatu perzinaan:
1. Pengakuan
Hal ini disepakati oleh para ulama karena Nabi menerima pengakuan Ma'iz dan Ghomidiyyah, hanya saja mereka berselisih tentang bilangannya. Mayoritas ulama diantaranya Abu Hanifah dan Ahmad berpendapat harus mengaku sebanyak empat kali mereka berdalil bahwa Nabi tidak menghukum Ma'iz kecuali setelah dia mengaku sebanyak empat kali.
Adapun Imam Malik dan Syafi'i menyatakan cukup pengakuan walau hanya sekali tanpa harus empat kali, berdasarkan hadits: "Pergilah wahai Unais, kepada istri orang ini, kalau dia mengaku maka rajamlah" dan Nabi tidak mensyaratkan harus empat kali.
Pendapat inilah yang lebih kuat, adapun kisah Ma'iz maka hal itu karena Nabi meragukan pengakuannya. Jadi, cukup pengakuan walau hanya sekali bagi orang yang sehat akalnya, adapun bagi yang diragukan pengakuannya maka hendaknya diulang hingga empat kali. Wallahu A'lam .

2. Saksi
Apabila ada empat orang lelaki yang terpercaya bersaksi bahwa si fulan telah berzina maka persaksian mereka diterima, berdasarkan firman Allah:
لَّوْلاَ جَآءُوعَلَيْهِ بِأَرْبَعَةِ شُهَدَآءَ
Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi. (QS. An-Nur: 13)
فَاسْتَشْهِدُوا عَلَيْهِنَّ أَرْبَعَةً مِّنكُمْ
Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi di antara kamu (yang menyaksikannya). (QS. An-Nisa': 15)
Para ulama juga telah bersepakat bahwa persaksian dalam zina harus empat orang, tidak boleh kurang.
Tetapi ada beberapa persyaratan yang ketat untuk menerima persaksian mereka, yaitu:
1. Saksi harus dari kaum lelaki.
2. Saksi harus sudah baligh dan berakal.
3. Saksi orang yang terpercaya.
4. Saksi beragama Islam
5. Saksi benar-benar terus terang menggambarkan zina secara jelas.
6. Saksi bersatu dalam persaksiannya, baik waktu dan tempat kejadian.

3. Hamil
Bila ada seorang wanita hamil padahal dia tidak bersuami atau kalau budak dia tidak memiliki majikan, apakah dia dihukum karena indikasi yang kuat tersebut?! Para ulama berselisih dalam masalah ini. Mayoritas ulama berpendapat dia tidak dihukum karena ada kemungkinan dia dipaksa. Namun pendapat kedua mengatakan: Pada asalnya dia dihukum karena indikasi yang kuat tersebut kecuali apabila dia mengaku dipaksa atau sejenisnya, maka gugurlah hukuman darinya. Pendapat inilah yang kuat, sebagaimana ditegaskan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam as-Siyasah Syar'iyyah hal. 88 dan muridnya Ibnu Qayyim dalam ath-Thuruq Hukmiyyah hal. 8).

4. Alat-Alat Modern?!
Zina tidak bisa ditetapkan dengan alat-alat modern seperti kamera, foto, tes kedokteran dan lain sebagainya karena Islam menggugurkan hukuman dengan perkara yang samar.

6. Sifat Penerapan Hukum
1. Cambukan
Para fuqoha' bersepakat bahwa hendaknya yang mencambuk adalah orang yang kuat dengan cambuk yang sedang dan mencambukkannya ke seluruh badan pezina kecuali wajah dan anggota tubuh yang mematikan (seperti jantung, alat kelamin dll). Karena tujuan hukuman ini adalah mendidik bukan untuk membunuh. Kaum lelaki dicambuk dalam keadaan berdiri, sedangkan kaum wanita dicambuk dalam keadaan duduk agar tidak tersingkap auratnya. Dan hendaknya disaksikan orang banyak dan dihadiri oleh pemerintah atau perwakilannya.

2. Rajam
Sifatnya tidak jauh berbeda dengan yang pertama, hanya saja kalau rajam, yang melempari adalah orang banyak dengan batu, tulang, kayu dan sebagainya yang berukuran sedang dan bisa mematikan. Wanita dikencangkan bajunya agar tidak tersingkap auratnya dan dirajam dengan duduk tanpa perselisihan ulama, adapun lelaki maka dirajam dengan berdiri menurut mayoritas ulama.
Dan diperselisihkan oleh ulama apakah keduanya dipendam setangah badan ataukah tidak. Pendapat yang kuat dalam masalah ini adalah dikembalikan kepada kemaslahatan yang dipandang oleh hakim. Kalau hal itu dianggap perlu maka tidak mengapa, kalau dipandang tidak perlu maka tidak perlu dipendam .

7. Siapakah Yang Menegakkannya?!
Di sini ada masalah penting yang harus diperhatikan. Kalau memang pezina yang telah muhshon hukumannya adalah rajam, apakah hal itu berarti boleh bagi semua orang untuk menegakkan hukum kepadanya dengan alasan karena darahnya halal?! Jawabannya: "Tidak", tidak boleh bagi seorangpun untuk menegakkan hukum kepadanya kecuali Imam (pemerintah) atau perwakilannya berdasarkan sabda Nabi:
وَاغْدُ يَا أُنَيْسُ إِلَى امْرَأَةِ هَذَا, فَإِنِ اعْتَرَفَتْ فَارْجُمْهَا
Pergilah wahai Unais kepada istri orang ini, kalau dia mengaku maka rajamlah. (HR. Bukhari 2724, Muslim 1697)
Seandainya boleh bagi siapa saja untuk menegakkan hukum kepada pezina karena darahnya halal, niscaya akan terjadi kerusakan yang sangat besar. Oleh karena itulah, para ulama menegaskan: "Tidak boleh menegakkan hukum had kecuali bagi imam atau perwakilannya".
Demikian beberapa pembahasan yang dapat kami ketengahkan, kurang lebihnya kami mohon maaf dan tegur sapa anda kami siap menerimanya dengan lapang dada. Wallahu A'lam.

0 komentar: