Minggu, 11 April 2010

Adab Buang Hajat

Oleh: Abu Abdillah Al-Atsary


Suatu ketika Salman Al-Farisi pernah ditanya oleh seorang musyrik: Apakah benar Nabi kalian mengajarkan perkara-perkara dien ini hingga adab buang hajat? Salman menjawab dengan tegas: Benar! Beliau melarang kita istinja dengan tangan kanan, dan melarang kita untuk menghadap kiblat. Sebuah hadits yang agung menggambarkan betapa sempurnanya agama islam ini, tidak hanya menjelaskan perkara-perkara yang besar dan urgen, namun juga perkara yang sering disepelekan oleh kebanyakan orang yaitu adab buang hajat. Berikut ini kelanjutan dari rantaian adab-adab islam yang coba kami kupas, semoga bermanfaat..

ADAB BUANG HAJAT

1. Tidak disembarang tempat
Membung hajat disembarang tempat, tidak hanya mengotori dan mengganggu orang lain namun juga menyebabkan pelakunya mendapat la’nat, Allah berfirman:
وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُّبِينًا
Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mu’min dan mu’minat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan yang nyata. (QS. Al-Ahzab: 58).
Rosulullah bersabda:
اِتَّقُوْا اْللَّعَانَيْنِ, قَالُوْا: وَمَا اْللَّعَانَانِ يَا رَسُوْلَ الله ِ؟ قَالَ: الَّذِيْ يَتَخَلَّى فِيْ طَرِيْقِ اْلنَّاسِ أَوْ فِيْ ظِلِّهِمْ
"Takutlah kalian dari dua perkara yang menyebabkan pelakunya mendapat la’nat, para sahabat bertanya: Apa dua perkara itu wahai rosulullah? Rasulullah menjawab: Yaitu orang yang buang hajat ditempat-tempat yang dilalui manusia dan tempat perteduhan mereka".HR. Muslim(269), Abu Dawud(25), Ahmad(8636).
Berkata Syaroful Haq ‘Adzim Abadi: “Hadits ini menunjukkan haromnya buang hajat di jalan-jalan yang dilalui oleh manusia atau tempat perteduhan mereka, karena orang yang lewat akan merasa jijik dan terganggu dengan najisnya”. (Aunul Ma’bud 1/31).

2.Larangan kencing pada air yang tenang
Berdasarkan hadits:
لاَ يَبُوْلَنَّ أََحَدُكُمْ فِيْ اْلمَاءِ اْلَّدَائِمِ الَّذِيْ لاَ يَجْرِى
Janganlah kalian kencing pada air yang tenang lagi tidak mengalir. (Bukhori 239 dan Muslim 282).
Imam Nawawi berkata: “Jika airnya banyak dan mengalir maka tidaklah diharamkan kencing didalamnya,akan tetapi menjauhinya lebih utama”.(Syarah Shohih Muslim 3/523).

3. Tidak membawa sesuatu yang bertuliskan nama Allah
Yang demikian sebagai bentuk pemuliaan dan penjagaan nama Allah dari penghinaan, karena itu tidaklah layak bagi seorang muslim ketika buang hajat membawa sesuatu yang bertuliskan lafadz Allah, kecuali karena dhorurat. Adapun mushaf Al-qur’an tidak diragukan lagi larangannya untuk dibawa ketika buang hajat, dan inilah pendapat ahlu ‘ilmi.( Lihat Syarah Mumti’ 1/91).
Perhatian: Hadits yang menjelaskan bahwasanya Nabi apabila buang hajat beliau melepas cincinnya yang bertuliskan lafadz Allah, hadits ini adalah dho’if, riwayat Abu Dawud (19), dan dia berkata: “Ini adalah hadits munkar”, Tirmidzi (1746), (47-Syamail), Ibnu Majah (303),Nasa’i (5210), dan dia berkata: “Hadits ini ‘Ghoiru Mahfudz”’ (Syadz-pent),Baihaqi (1/95), Hakim (1/187), Ibnu Hibban (1413), Qurthubi dalam Tafsirnya (10/88), Imam Nawawi berkata: “Hadits ini ditolak keabsahannya!”( At-Talkhis 1/160). Al-Albani berkata: “Apa yang dikatakan Abu Dawud adalah benar, karena jumhur ‘ulama telah mendho’ifkan hadits ini”, lihat Al-Misykah (343), Mukhtasor Syamail Muhammadiyah(75).

4. Masuk dengan mendahulukan kaki kiri dan berdo’a
Berdasarkan hadits:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: كَانَ اْلنَّبِيُّ يُعْجِبُهُ اْلتَّيَمُنُ فِيْ تَنَعُّلِهِ وَ تَرَجُّلِهِ وَ طُهُوْرِهِ وَ فِيْ شَأْنِهِ كُلِّهِ
"Dari ‘Aisyah dia berkata: Adalah rosulullah mencintai untuk mendahulukan yang kanan ketika memakai sandal, bersisir, bersuci dan pada perkara mulia lainnya".HR. Bukhori(168), Ahmad(6/187).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: "Telah tetap dalam kaidah syar’i bahwa perbuatan yang didalamnya mungkin untuk dilakukan antara kanan dan kiri, maka hendaklah mendahulukan yang kanan pada perkara-perkara yang baik dan mulia semisal: memakai sandal, masuk masjid, keluar WC dan lainnya, adapun perkara-perkara yang hina dan kotor seperti: masuk WC, keluar masjid, melepas sandal maka hendaklah kaki kiri didahulukan".(Majmu Fatawa 21/109).
Kemudian berdo’a:
اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُبِكَ مِنَ اْلخُبُثِ وَ اْلخَبَائِثِ
Yaa Allah… Aku berlindung kepada-Mu dari gangguan Syaithon laki-laki dan Syaithon perempuan.HR. Bukhori(142), Muslim(375).
Ibnu Batthol berkata: “Do’a ini tidak hanya dibaca pada tempat-tempat buang hajat( semisal kakus, jamban-pent) namun juga pada tempat-tempat lainnya”. (semisal tanah lapang, kebun -pent) . (lihat Subulussalam 1/154).

5. Larangan menghadap kiblat
Dalam masalah ini ada beberapa hadits yang menjelaskan,
a) Hadits Abu Ayyub Al-Anshori, bahwasanya rosulullah bersabda:
إِذَا أَتَى أَحَدُكُمْ اْلغَائِطَ فَلاَ يَسْتَقْبِلِ اْلقِبْلَةَ وَلاَ يُوَلِّهَا ظَهْرَهُ
Apabila salah seorang diantara kalian buang hajat, maka janganlah ia menghadap kiblat atau membelakanginya! HR. Bukhori(144), Muslim(264).

2. Dari Jabir Bin Abdullah dia berkata:
نَهَى اْلنَّبِيُّ أَنْ نَسْتَقْبِلَ اْلقِبْلَةَ بِبَوْلٍ فَرَأَيْتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْبَضَ بِعَامٍ يَسْتَقْبِلُهَا
Nabi melarang kami menghadap kiblat ketika buang hajat, akan tetapi aku melihatnya menghadap kiblat setahun sebelum wafatnya. HR. Tirmidzi(9), Abu Dawud(13), Ibnu Majah(325), Ibnu Khuzaimah (58), Ahmad(5/515), Ibnu Hibban(1320), Ibnu Jarud(31), dihasankan oleh Al-Albani dalam shohih sunan Abu Dawud.

3. Hadits Abdullah Bin ‘Umar dia berkata:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ: إِنَّ نَاسًا يَقُوْلُوْنَ إِذَا قَعَدْتَ عَلىَ حَاجَتِكَ فَلاَ تَسْتَقْبِلِ اْلقِبْلَةَ وَلاَ بَيْتَ اْلمَقْدِسِ فَقَالَ عَبْدُ اللهِ بْنِ عُمَرَ : لَقَدْ اِرْتَقَيْتُ يَوْمًا عَلىَ بَيْتٍ لَنَا فَرَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ عَلىَ لَبِيْنَتَيْنِ مُسْتَقْبِلاً بَيْتَ اْلمَقْدِسِ
Sesungguhnya manusia berkata; apabila buang hajat janganlah menghadap kiblat atau baitul maqdis, padahal suatu hari aku pernah naik rumah saudara perempuanku(Hafshoh), dan aku melihat rosulullah buang hajat dengan menghadap Baitul Maqdis. HR. Bukhori(145), Muslim(266).
Hadits-hadits diatas nampaknya bertentangan satu sama lain, karena itu para ‘ulama berselisih tajam dalam masalah ini, apakah hukum menghadap kiblat dan membelakanginya ketika buang hajat bersifat mutlak, baik pada bangunan maupun tanah lapang??!. Hadits Abu Ayyub berfaidah larangan menghadap kiblat dan membelakanginya secara mutlak, sedangkan hadits Jabir menjelaskan bahwa akhir perkara rosulullah menunjukkan bolehnya menghadap kiblat, sementara hadits Abdullah Bin ‘umar menunjukkan bolehnya membelakangi kiblat tidak menghadapnya pada bangunan atau yang semisalnya. Yang benar dalam masalah ini, adalah pendapat jumhur ‘ulama yang mengkompromikan dali-dalil yang ada, bahwa menghadap kiblat dan membelakanginya dilarang pada tanah lapang atau tempat yang tidak ada penutup dan pembatasnya, adapun pada bangunan atau tempat yang ada penutup dan pembatasnya maka dibolehkan. Inilah pendapat yang dipilih oleh Al-‘Abbas bin Abdul Mutholib, Abdullah Bin ‘Umar, Sya’bi, Ishaq Bin Rohawaih, Imam Malik dan Syafi’i.(Lihat Syarah Shohih Muslim 2/497). Juga pendapat para ‘Ulama lainnya seperti Imam Nawawi dalam Majmu’ Syarah Muhadzzab (2/93), Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (1/323), Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni (1/221), As-Shon’ani dalam Subulus Salam (1/162), Syaikh Ibnu Baz dalam fatawanya(10/35), dan Lajnah Daimah (5/95, no.4480). Wallahu ‘Alam.

6. Menjaga aurot
Berkata Imam Ibnu qudamah: “Disukai untuk menutup aurot ketika buang hajat, jika ia mendapati kebun, rerimbunan, pohon atau lainnya hendaklah ia menutup diri dengannya, jika tidak maka hendaklah ia menjauh hingga tidak dilihat seorangpun”. (Al-Mughni 1/222).
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ جَعْفَرَ قَالَ: أَرْدَفَنِيْ رَسُوْلُ اللهِ ذَاتَ يَوْمٍ خَلْفَهُ فَأَسَرَّ إِلَيَّ حَدِيْثًا لاَ أُحَدِّثُ بِهِ أَحَدًا مِنَ اْلنَّاسِ وَ كَانَ أَحَبَّ مَا اسْتَتَرَ بِهِ رَسُوْلُ اللهِ لِحَاجَتِهِ هَدَفٌ أَوْ حَائِشُ نَخْلٍ
Dari ‘Abdullah Bin Ja’far dia berkata: Rosulullah pernah memboncengku pada suatu hari, dan beliau menceritakanku sebuah hadits yang tidak aku ceritakan kepada seorangpun, bahwasanya beliau paling suka untuk menjaga ‘aurot ketika buang hajat dengan pergi ketempat yang tinggi atau yang sepi. HR. Muslim(342), Abu Dawud(2549), Ibnu Majah(340).
Juga berdasarkan hadits:
عَنْ اْلمُغِيْرَةَ بْنِ شُعْبَةَ أَنَّ اْلنَبِيَّ كَانَ إِذَا ذَهَبَ اْلمَذْهَبَ أَبْعَدَ
Dari Mughiroh Bin Syu’bah dia berkata: Adalah rosulullah apabila buang hajat, menjauh ketempat yang sepi. HR.Abu Dawud(1), Tirmidzi(20), Ibnu Majah(331), Nasa’i(17), Darimi(666). Al-Albani menghasankannya dalan As-Shohihah (1159).
Imam Nawawi berkata: "Didalam hadits terdapat anjuran untuk menjaga ‘aurat ketika buang hajat, baik di tempat sepi, terlindung atau yang lainnya, yang dapat menutupi dari pandangan orang". (Syarah Shohih Muslim 3/29).

7. Kencing berdiri?
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: مَنْ حَدَّثَكُمْ أَنَّ اْلنَّبِيَّ كَانَ يَبُوْلُ قَائِمًا فَلاَ تُصَدِّقُوْهُ , مَا كَانَ يَبُوْلُ إِلاَّ قَائِدًا
Dari ‘Aisyah dia berkata: Barang siapa yang menceritakan kalian bahwasanya Nabi kencing berdiri janganlah dipercaya! Tidaklah Nabi kencing kecuali dengan duduk. HR. Tirmidzi(12), Nasa’i(29), Ibnu Majah(307), Ahmad(6/192). Dishohihkan oleh Al-Albani dalam As-Shohihah (201).
Hudzaifah Bin Yaman berkata:
عَنْ حُذَيْفَةَ بْنِ اْليَمَانِ قَالَ: كُنْتُ مَعَ اْلنَّبِيِّ فَانْتَهَى إِلىَ سُبَاطَةِ قَوْمٍ فَبَالَ قَائِمًا
Aku pernah pergi bersama Nabi, kemudian beliau berhenti pada suatu tempat dan kencing dengan berdiri. HR. Bukhori(226), Muslim(273).
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata: Yang dzhohir bahwa perbuatan nabi diatas menunjukkan bolehnya hal itu, sekalipun beliau paling sering kencing dengan duduk, adapun perkataan ‘Aisyah hanya sebatas pengetahuannya didalam rumah, yang dia tidak tahu pada selainnya. (Fathul Bari 1/430).
Kesimpulannya: kencing dengan berdiri atau duduk dibolehkan, yang terpenting adalah aman dari percikan air kencingnya. ( lihat As-Shohihah 1/393)
Perhatian: hadits yang berbunyi:
عَنْ عُمَرَ قَالَ: رَاّنِيْ اْلنَّبِيُّ وَ أَناَ أَبُوْلُ قَائِمًا, فَقَالَ: يَا عُمَرُ لاَ تَبُلْ قَائِمًا! فَمَا بُلْتُ قَائِمًا بَعْدُ
Dari Umar dia berkata: Nabi melihatku kencing dengan berdiri maka beliaupun menegurku seraya berkata: Hai ‘Umar janganlah kamu kencing dengan berdiri! HR.Tirmidzi(12), Ibnu Majah(308), Ibnu Hibban(135), Baihaqi(1/102). Ini adalah hadits yang dho’if, didho’ifkan oleh Tirmidzi dalam sunannya(12), Al-Albani dalam Ad-Dho’ifah (934).

8. Larangan menggunakan tangan kanan
Imam Ibnu Qoyyim berkata: "Adalah Nabi Istinja dan Istijmar dengan tangan kirinya".(Zaadul Ma’ad 1/166).
عَنْ أَبِيْ قَتَادَةَ عَنْ أَبِيْهِ عَنِ اْلنَّبِيِّ قَالَ: إِذَا بَالَ أَحَدُكُمْ فَلاَ يَأْخُذَنَّ ذَكَرَهُ بِيَمِيْنِهِ وَلاَ يَسْتَنْجِيْ بِيَمِيْنِهِ
Dari Abu Qotadah dari bapaknya bahwasanya rosulullah bersabda: Apabila salah seorang diatara kalian kencing maka janganlah ia memegang kemaluannya dan beristinja dengan tangan kanannya. HR. Bukhori(154), Muslim(267).
Imam Nawawi berkata: "‘Ulama bersepakat atas haramnya beristinja dengan tangan kanan". (Syarah Shohih Muslim 2/498).

9. Istinja
Istinja adalah bersuci dengan menggunakan air, batu atau yang lainnya. hal ini wajib dilakukan untuk mensucikan segala sesuatu yang keluar dari dua jalan(seperti air kencing, berak, madzi-pent).Lihat Al-Mughni 1/206, Majmu’ Syarah Muhadzzab 2/110. Adapun dalil istinja dengan air, berdasarkan hadits:
عَنْ اَنَسِ بْنِ مَالِكٍ يَقُوْلُ: كَانَ اْلنَّبِيُّ إِذَا خَرَجَ لِحَاجَتِهِ أَجِيْءُ أَناَ وَ غُلاَمٌ مَعَناَ إِدَاوَةٌ مِنْ مَاءٍ

Dari Anas Bin Malik dia berkata: Adalah Nabi apabila hendak buang hajat, maka aku dan seorang anak sebayaku membawakan seember air untuknya.HR. Bukhori(150).
Imam Asy-Saukani berkata: "Hadits ini menunjukkan tetapnya istinja dengan air" (Nailul Author 1/96, lihat pula Al-Mugni 1/208).

10. Istijmar
Termasuk keindahan agama islam, bahwasanya agama ini datang dengan membawa kemudahan dan menghilangkan kesukaran, Allah berfirman:
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.
QS. Al-Baqoroh: 185.
Diantara kemudahan tersebut adalah bolehnya bersuci dengan menggunakan air, batu,daun atau selainnya. Adapun Istijmar adalah bersuci dengan menggunakan batu. Orang yang akan beristijmar hendaklah ia menjauhi tulang dan kotoran, berdasarkan hadits:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ: اِتَّبَعْتُ اْلنَّبِيَّ وَ خَرَجَ لِحَاجَتِهِ فَكَانَ لاَ يَلْتَفِتُ فَدَنَوْتُ مِنْهُ فَقَالَ: اِبْغِنِيْ أَحْجَارًا أَسْتَنْفِضُ بِهَا وَ لا َتَأْتِنِيْ بِعَظَمٍ وَ لاَ رَوْثٍ فَأَتَيْتُهُ بِأَحْجَارٍبِطَرْفِ ثِيَابِيْ فَوَضَعْتُهَا إِلىَ جَنْبِهِ وَ أَعْرَضْتُ عَنْهُ فَلَمَّا قَضَى أَتْبَعَهُ بِهِنَّ
Dari Abu Hurairoh dia berkata: Suatu ketika aku pernah berjalan dibelakang Rosulullah tatkala ia hendak buang hajat, maka beliaupun berkata: Carikanlah untukku beberapa batu yang aku dapat bersuci dengannya! Dan janganlah engkau memberiku tulang atau kotoran, maka akupun memberinya beberapa batu dengan ujung bajuku, yang aku letakkan disisinya, tatkala aku berpaling maka rosulullahpun memakai batu-batu tersebut. HR. bukhori(155).

10. Sunnahnya istijmar dengan bilangan ganjil
Berdasarkan hadits:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ عَنْ اْلنَّبِيِّ قَالَ: إِذَا اسْتَجْمَرَ أََحَدُكُمْ فَلْيَسْتَجْمِرْ وِتْرًا
Dari Abu Hurairoh bahwasanya rosulullah bersabda: “Apabila salah seorang diantara kalian istijmar maka istijmarlah dengan bilangan yang ganjil”.HR. Bukhori(161), Muslim(237),dan ini lafadznya. Dan hendaklah bilangan tersebut tidak kurang dari tiga, berdasarkan hadits:
عَنْ سَلْمَانَ قَالَ: قِيْلَ لَهُ : قَدْ عَلَّمَكُمْ كُلَّ شَيْءٍ حَتَّى اْلخِرَاءَةَ قَالَ: أَجَلْ! لَقَدْ نَهَانَا أَنْ نَسْتَقْبِلَ اْلقِبْلَةَ لِغَائِطٍ أَوْ بَوْلٍ أَوْ اَنْ نَسْتَنْجِيَ بِاْليَمِيْنِ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِأَقَلَّ مِنْ ثَلاَثَةِ أَحْجَارٍ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِرَجِيْعٍ أَوْ بِعَظْمٍ
Dari Salman bahwasanya dia ditanya seorang musyrik: “Apakah Nabi kalian mengajarkan segala sesuatu hingga adab buang hajat?” Salman menjawab: “Ya! Sungguh beliau melarang kami ketika buang hajat untuk menghadap kiblat, istinja dengan tangan kanan, istinja kurang dari tiga batu, istinja dengan kotoran atau tulang”.HR. Muslim(262), Tirmidzi(16), Abu Dawud(7), Ibnu Majah(316).
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Berdasarkan hadits ini Imam Syafi’i, Ahmad, dan Ahli hadits mensyaratkan bahwa istijmar tidak boleh kurang dari tiga, dengan tetap menjaga kebersihannya, bila kurang bersih boleh lebih dari tiga dan disunnahkan ganjil.(Fathul Bari 1/336 lihat pula Al-mughni 1/209, Majmu’Syarah Muhadzzab 2/120 Tuhfatul Ahwadzi 1/67).

11. Dibencinya berbicara ketika buang hajat
Berdasarkan hadits:
عَنْ عَبْدِ الله ِبْنِ عُمَرَ أََنَّ رَجُلا ًمَرَّ وَ رَسُوْلُ اللهِ يَبُوْلُ فَسَلَّمَ , فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِ
Dari Abdullah Bin ‘Umar dia berkata: Adalah seorang laki-laki memberi salam kepada Rosulullah tatkala beliau kencing, maka beliaupun tidak menjawabnya. HR. Muslim(370), Abu Dawud(16), Tirmidzi(90), Nasa’i(37), Ibnu Majah(353), Lihat Al-Irwa(54). Berkata Imam Nawawi: “Didalam hadits ini terdapat faidah bahwasanya seorang muslim yang sedang buang hajat tidak wajib menjawab salam, dan faidah yang lain adalah dibencinya berbicara ketika buang hajat terkecuali ketika terpaksa”.(Syarah Shohih Muslim 3/51).

12. Do’a keluar WC
Ketika selesai buang hajat, hendaklah keluar dengan mendahulukan kaki kanan seraya berdo’a:
غُفْرَانَكَ
Yaa… Allah aku mohon ampunan-Mu. HR.Tirmidzi(7), Abu Dawud(30), Ibnu Majah(300), Ahmad(24694), Ibnu Sunni dalam Amal Yaum Wa Lailah (23), Hakim (1/158), Baihaqi(1/97), di shohihkan oleh Al-Albani dalam Al-Irwa(52).
Demikianlah pembahasan kali ini, semoga Allah menjadikannya ikhlas mengharap wajah-Nya dan bermanfaat bagi kita semua. Amiin. Wallahu ‘Alam

Hukum Merayakan Tahun Baru

Di susun oleh: Ummu Aiman
Di Muroja'ah oleh: Ustadz Abu Salman

Beberapa hari setelah natal berlalu, masyarakat mulai disibukkan dengan persiapan menyambut tahun baru masehi pada tanggal satu Januari. Bagaimana Islam memandang hal ini?

Saudariku, Allah telah menganugerahkan dua hari raya kepada kita, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha dimana kedua hari raya ini disandingkan dengan pelaksanaan dua rukun yang agung dari rukun Islam, yaitu ibadah haji dan puasa Ramadhan. Di dalamnya, Allah memberi ampunan kepada orang-orang yang melaksanakan ibadah haji dan orang-orang yang berpuasa, serta menebarkan rahmat kepada seluruh makhluk.

Ukhti, hanya dua hari raya inilah yang disyariatkan oleh agama Islam. Diriwayatkan dari Anas radhiallahu ‘anhu bahwa ia berkata, “Ketika Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah, penduduk Madinah memiliki dua hari raya yang mereka bermain-main di hari raya itu pada masa jahiliyyah, lalu beliau bersabda: ‘Aku datang kepada kalian sedangkan kalian memiliki dua hari raya yang kalian bermain di hari itu pada masa jahiliyyah. Dan sungguh Allah telah menggantikannya untuk kalian dengan dua hari yang lebih baik dari keduanya, yaitu hari raya Idul Adha dan idul Fitri.’” (Shahih, dikeluarkan oleh Ahmad, Abu Daud, An-Nasa’I, dan Al-Baghawi)

Maka tidak boleh umat Islam memiliki hari raya selain dua hari raya di atas, misalnya Tahun Baru. Tahun Baru adalah hari raya yang tidak ada tuntunannya dalam Islam. Disamping itu, perayaan Tahun Baru sangat kental dengan kemaksiatan dan mempunyai hubungan yang erat dengan perayaan natal. Lihatlah ketika para remaja berduyun-duyun pergi ke pantai saat malam tahun baru untuk begadang demi melihat matahari terbit pada awal tahun, kebanyakan dari mereka adalah berpasang-pasangan sehingga tentu saja malam tahun baru ini tidak lepas dari sarana-sarana menuju perzinaan. Jika tidak terdapat sarana menuju zina, maka hal ini dapat dihukumi sebagai perbuatan yang sia-sia. Ingatlah saudariku, ada dua kenikmatan dari Allah yang banyak dilalaikan oleh manusia, yaitu kesehatan dan waktu luang (HR Bukhari). Maka janganlah kita isi waktu luang kita dengan hal sia-sia yang hanya membawa kita ke jurang kenistaan dan menjadikan kita sebagai insan yang merugi.

Saudariku, Allah telah menyempurnakan agama ini dan tidak ada satupun amal ibadahpun yang belum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sampaikan kepada umatnya. Maka tidak ada lagi syari’at dalam Islam selain yang telah Allah wahyukan kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak ada lagi syari’at dalam Islam selain yang telah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ajarkan pada kita. Saudariku, ikutilah apa yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tuntunkan kepada kita, janganlah engkau meniru-niru orang kafir dalam ciri khas mereka. Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia merupakan bagian dari kaum tersebut (Hadits dari Ibnu ‘Umar dengan sanad yang bagus). Setiap diri kita adalah pemimpin bagi dirinya sendiri dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang ia pimpin. Semoga Allah senantiasa menyelamatkan agama kita. Wallaahu a’lam.

Maraji’:
  1. Fatwa: Natal Bersama. Majalah Al-Furqon Edisi 4 Tahun III.
  2. Fatwa: Natal Bersama. Majalah Al-Furqon Edisi 4 Tahun IV.
  3. Fatwa-Fatwa Terkini 2. Cetakan ketiga. Tahun 2006. Darul Haq.
  4. Bulletin At-Tauhid Edisi 96 Tahun II.

Hukum Natal Bersama

Disusun oleh: Ummu Aiman
Di Muroja'ah oleh: Ustadz Abu Salman

Setiap bulan Desember umat nasrani merayakan hari raya agama mereka, yaitu Hari Natal yang jatuh pada tanggal 25 Desember. Mendekati bulan ini, beberapa sudut pertokoan mulai ramai dengan hiasan natal. Supermarket-supermarket yang mulanya sepi-sepi saja, kini dihiasi dengan pernak-pernik natal. Media massa pun tidak ketinggalan ikut memeriahkan hari raya ini dengan menayangkan acara-acara spesial natal.

Disudut kampus, seorang mahasiswi berkerudung menjabat tangan salah seorang teman wanitanya yang beragama nasrani sambil berkata, “Selamat Natal ya…” Aih-aih, tidak tahukah sang muslimah ini bagaimana hukum ucapan tersebut dalam syariat Islam?

Saudariku, banyak sekali umat Islam yang tidak mengetahui bahwa perbuatan ini tidak boleh dilakukan, dengan tanpa beban dan tanpa merasa berdosa ucapan selamat natal itu terlontar dari mulut-mulut mereka. Mereka salah kaprah tentang toleransi beragama sehingga dengan gampang dan mudahnya mereka mengucapkan selamat natal pada teman dan kerabat mereka yang beragama nasrani. Lalu bagaimana sebenarnya pandangan islam dalam perkara ini? Berikut ini adalah bahasan seputar natal yang disusun dari beberapa fatwa ulama.

Natal Menurut Islam

Peringatan Natal, memiliki makna ‘Memperingati dan mengahayati kelahiran Yesus Kristus’ (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Depdiknas terbitan Balai Pustaka). Menurut orang-orang nasrani, Yesus (dalam Islam disebut dengan ‘Isa) dianggap sebagai anak Tuhan yang lahir dari rahim Bunda Maria. Hal ini tentu sangat bertentangan dengan syariat Islam yang mengimani bahwa Nabi ‘Isa ‘alaihis sallam bukanlah anak Tuhan yang dilahirkan ke dunia melainkan salah satu nabi dari nabi-nabi yang Allah utus untuk hamba-hamba-Nya.

Allah Ta’ala berfirman dalam QS Maryam: 30 yang artinya, “Isa berkata, ‘Sesungguhnya aku ini adalah hamba Allah (manusia biasa). Dia memberikan kepadaku Al Kitab (Injil) dan menjadikanku sebagai seorang Nabi.’”

Wahai Saudariku, maka barangsiapa dari kita yang mengaku bahwa dirinya adalah seorang muslim, maka ia harus meyakini bahwa ‘Isa adalah seorang Nabi yang Allah utus menyampaikan risalah-Nya dan bukanlah anak Tuhan dengan dasar dalil di atas.

Tentang Ucapan Selamat Natal

Atas nama toleransi dalam beragama, banyak umat Islam yang mengucapkan selamat natal kepada umat nasrani baik kepada kerabat maupun teman. Menurut mereka, ini adalah salah satu cara untuk menghormati mereka. Ini alasan yang tidak benar, sikap toleransi dan menghormati tidak mesti diwujudkan dengan mengucapkan selamat kepada mereka karena di dalam ucapan tersebut terkandung makna kita setuju dan ridha dengan ibadah yang mereka lakukan. Jelas, ini bertentangan dengan aqidah Islam.

Ketahuilah saudariku, hari raya merupakan hari paling berkesan dan juga merupakan simbol terbesar dari suatu agama sehingga seorang muslim tidak boleh mengucapkan selamat kepada umat nasrani atas hari raya mereka karena hal ini sama saja dengan meridhai agama mereka dan juga berarti tolong-menolong dalam perbuatan dosa, padahal Allah telah melarang kita dari hal itu:

Dan janganlah kamu tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. (QS Al Maidah: 2)

Ketahuilah wahai saudariku muslimah, ketika seseorang mengucapkan selamat natal kepada kaum nasrani, maka di dalam ucapannya tersebut terdapat kasih sayang kepada mereka, menuntut adanya kecintaan, serta menampakkan keridhaan kepada agama mereka. Seseorang yang mengucapkan selamat natal kepada mereka, sama saja dia setuju bahwa Yesus adalah anak Tuhan dan merupakan salah satu Tuhan diantara tiga Tuhan. Dengan mengucapkan selamat pada hari raya mereka, berarti dia rela terhadap simbol-simbol kekufuran. Meskipun pada kenyataannya dia tidak ridha dengan kekafiran, namun tetap saja tidak diperbolehkan meridhai syiar agama mereka, atau mengajak orang lain untuk memberi ucapan selamat kepada mereka. Jika mereka mengucapkan selamat hari raya mereka kepada kita, hendaknya kita tidak menjawabnya karena itu bukan hari raya kita, bahkan hari raya itu tidaklah diridhai Allah.

Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan, adapun ucapan selamat terhadap simbol-simbol kekufuran secara khusus disepakati hukumnya haram misalnya mengucapkan selamat atas hari raya atau puasa mereka dengan mengatakan, ‘Hari yang diberkahi bagimu’ atau ‘Selamat merayakan hari raya ini’, dan sebagainya. Yang demikian ini, meskipun si pengucapnya terlepas dari kekufuran, tetapi perbuatan ini termasuk yang diharamkan, yaitu setara dengan ucapan selamat atas sujudnya terhadap salib, bahkan dosanya lebih besar di sisi Allah dan kemurkaan Allah lebih besar daripada ucapan selamat terhadap peminum khamr, pembunuh, pezina, dan lainnya dan banyak orang yang tidak mantap pondasi dan ilmu agamanya akan mudah terjerumus dalam hal ini serta tidak mengetahui keburukan perbuatannya. Barangsiapa mengucapkan selamat kepada seorang hamba karena kemaksiatan, bid’ah, atau kekufuran, berarti dia telah mengundang kemurkaan dan kemarahan Allah.

Dengan demikian, tidaklah diperkenankan seorang muslim mengucapkan selamat natal meskipun hanya basa-basi ataupun hanya sebagai pengisi pembicaraan saja.

Menghadiri Pesta Perayaan Natal

Hukum menghadiri pesta perayaan natal tidak jauh bedanya dengan hukum mengucapkan selamat natal. Bahkan dapat dikatakan bahwa hukum menghadiri perayaan natal lebih buruk lagi ketimbang sekedar memberi ucapan selamat natal kepada orang kafir karena dengan datang ke perayaan tersebut, maka berarti ia ikut berpartisipasi dalam ritual agama mereka. Dan dengan menghadiri pesta perayaan tersebut berarti telah memberikan kesaksian palsu (Syahadatuzzur) terhadap ibadah yang mereka lakukan dan ini dilarang dalam agama Islam (lihat Tafsir Taisir Karimirrahman, Surat Al Furqon ayat 72).

Allah berfirman yang artinya:

Katakanlah: “Hai orang-orang kafir. Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamu, dan untukkulah agamaku.”

Maka Saudariku, seorang muslim diharamkan untuk hadir pada perayaan keagamaan di luar agama islam baik ia diundang ataupun tidak.

Maraji’:
  1. Fatwa: Natal Bersama. Majalah Al-Furqon Edisi 4 Tahun III.
  2. Fatwa: Natal Bersama. Majalah Al-Furqon Edisi 4 Tahun IV.
  3. Fatwa-Fatwa Terkini 2. Cetakan ketiga. Tahun 2006. Darul Haq.
  4. Bulletin At-Tauhid Edisi 96 Tahun II.

Sabtu, 10 April 2010

Hukum Perayaan Maulid Nabi

Oleh: Asy-Syaikh Muhammad bin Sholih Al-’Utsaimin


Samahatusy Syaikh Muhammad bin Sholih Al-’Utsaimin rahimahullah Ta’ala ditanya:”Apa hukumnya merayakan maulid Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam?”

Jawab: Pertama: Malam kelahiran Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak diketahui secara pasti, tapi sebagian ahli sejarah menyatakan bahwa itu terjadi pada malam kesembilan Rabi’ul Awwal, bukan pada malam kedua belas. Tetapi saat ini perayaan maulid dilaksanakan pada malam kedua belas yang tidak ada dasarnya dalam tinjauan sejarah.

Kedua: Dipandang dari sisi aqidah juga tidak ada dasarnya. Dan kalaulah itu dari syari’at Allah, tentulah dilaksanakan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam atau disampaikan kepada umat beliau. Dan kalaulah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakannya atau menyampaikan kepada umat beliau, maka mestinya amalan itu terjaga karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ (9) سورة الحجر.

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya” (QS. Al-Hijr: 9).

Ketika ternyata tidak didapati, maka dapat diketahui bahwa hal itu bukan termasuk ajaran Islam. Dan jika bukan termasuk ajaran agama Allah, maka kita tidak boleh menjadikannya sebagai bentuk ibadah
1) kepada Allah Azza wa Jalla dan tidak boleh menjadikannya sebagai amalan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Jika Allah telah menetapkan suatu jalan yang sudah ditentukan agar dapat sampai kepada-Nya itulah yang datang kepada Rasul-Nya shalallahu ‘alaihi wa sallam., maka bagaimana mungkin kita diperbolehkan membuat jalan sendiri yang akan menghantarkan kepada-Nya, padahal kita adalah seorang hamba? Ini berarti mengambil hak Allah Azza wa Jalla, yaitu membuat syari’at yang bukan dari-Nya dan kita masukkan ke dalam ajaran agama Allah. Ini juga merupakan pendustaan terhadap firman Allah Azza wa Jalla:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِينًا…. (3) سورة المائدة

“Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan nukmat-Ku dan telah Ku-ridloi Islam sebagai agama bagimu…” (QS. Al-Maidah: 3).

Maka kami katakana: Bila pernyataan ini termasuk bagian dari kesempurnaan ajaran agama, tentunya sudah ada sebelum Rasul shalallahu ‘alaihi wa sallam wafat dan jika tidak, maka hal itu tidak mungkin menjadi bagian dari kesempurnaan agama, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِينًا…. (3) سورة المائدة

“Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan nukmat-Ku dan telah Ku-ridloi Islam sebagai agama bagimu…” (QS. Al-Maidah: 3).

Bagi siapa yang menyatakan bahwa perayaan maulid Nabi termasuk ajaran agama, maka telah membuat hal-hal yang baru sepeninggal Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Ucapannya mengandung kedustaan terhadap ayat-ayat yang mulia ini. Tidak diragukan lagi, bahwa orang-orang yang merayakan maulid Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam ingin mengagungkan beliau, nampaknya kecintaan dan besarnya harapan untuk mendapatkan kasih sayang Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dari perayaan yang diadakan dan untuk menghidupkan semangat kecintaan pada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Semua ini termasuk ibadah; mencintai Rasul shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah ibadah bahkan iman seseorang tidak akan sempurna sehingga Rasul lebih dicintai daripada dirinya, anaknya, orang tuanya, dan semua manusia. Mengagungkan Rasul juga termasuk ibadah, demikian juga haus akan kasih sayang Rasul, juga termasuk agama, karena dengan demikian seseorang menjadi cenderung kepada syar’at beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam. Jika demikian, maka tujuan perayaan maulid Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah dan pengagungan terhadap Rasul-Nya shalallahu ‘alaihi wa sallam. Ini adalah ibadah, bila ini ibadah maka tidak boleh membuat hal-hal baru –yang bukan dari Allah- dan dimasukkan ke dalam agama-Nya selama-lamanya. Maka perayaan maulid Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah bid’ah dan haram.

Kemudian kita juga mendengarkan bahwa dalam perayaan ini terdapat kemungkaran-kemungkaran besar yang tidak diterima oleh syara’, perasaan maupun akal. Mereka bernyanyi-nyanyi untuk maksud-maksud tertentu yang sangat berlebihan tentang Rasul shalallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga mereka menjadikan Rasul shalallahu ‘alaihi wa sallam lebih agung/besar dari pada Allah –kita berlindung kepada-Nya-. Kita mendengar juga, karena kebodohan sebagian orang-orang yang merayakan maulid nabi, bahwa jika seseorang membaca kisah tentang kelahiran Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam 2) kemudian sampai pada lafadz “nabi dilahirkan” dengan serempak mereka berdiri. Kata mereka, Rasul shalallahu ‘alaihi wa sallam telah datang, maka kamipun berdiri untuk mengagungkan beliau”, ini adalah kebodohan. Ini bukanlah adab, karena beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam membenci bila disambut dengan berdiri. Para sahabat beliau adalah orang-orang yang paling mencintai dan mengagungkan beliau, namun mereka tidak berdiri menyambut beliau, karena mereka mengetahui beliau membenci hal itu. Saat beliau masih hidup saja tidak boleh, apatah lagi setelah beliau tidak ada (wafat).

Bid’ah ini – yakni bid’ah peringatan maulid nabi terjadi setelah berlalunya tiga generasi terbaik umat- dan dalam perayaan itu terdapat pula beberapa kemungkaran yang dilakukan oleh orang-orang yang merayakannya yang bukan dari pokok-pokok ajaran agama. Terlabih lagi dengan terjadinya ikhtilat (campur barur) antara laki-laki dan perempuan. Dan masih banyak kemungkaran-kemungkaran yang lain.


Sumber: Majmu’ Fatawa fii Arkanil Islam, soal no. 89.

Catatan kaki:

1) Ibadah adalah kumpulan nama-nama dari apa-apa yang dicintai dan diridhoi oleh Allah Azza wa Jalla baik yang nampak atau tidak (Lihat Fathul Majid Syarh Kitabut Tauhid).

2) Debaan (bahasa Cirebon).

I s b a l

Oleh Abu Abdillah Syahrul Fatwa

Isbal artinya melabuhkan pakaian hingga menutupi mata kaki, dan hal ini terlarang secara tegas baik karena sombong maupun tidak. Larangan isbal bagi laki-laki telah dijelaskan dalam hadits-hadits Rasulullah yang sangat banyak, maka selayaknya bagi seorang muslim yang telah ridho Islam sebagai agamanya untuk menjauhi hal ini. Namun ada sebagian kalangan dari orang yang dianggap berilmu menolak isbal dengan alasan yang rapuh seperti klaim mereka kalau tidak sombong maka dibolehkan?!. Untuk lebih jelasnya, berikut kami paparkan perkara yang sebenarnya tentang isbal agar menjadi pelita bagi orang yang mencari kebenaran. Amiin. Wallohu Musta’an

A. DEFINISI ISBAL
Isbal secara bahasa adalah masdar dari أَسْبَلَ يُسْبِلُ إِسْبَالاً yang bermakna إِرْخاَءً yang artinya; menurunkan, melabuhkan atau memanjangkan. Sedangkan menurut istilah sebagaimana diungkapkan oleh Imam Ibnul A’roby dan selainnya adalah; memanjangkan, melabuhkan dan menjulurkan pakaian hingga menutupi mata kaki dan menyentuh tanah, baik karena sombong ataupun tidak.(Lihat Lisanul ‘Arob 11/321 Oleh Ibnul Manzhur, Nihayah Fi Ghoribil Hadits 2/339 Oleh Ibnul Atsir).

B. BATAS PAKAIAN MUSLIM
Salah satu kewajiban seorang muslim adalah meneladani Rasululloh dalam segala perkara, termasuk dalam masalah pakaian. Rasululloh telah memberikan batas-batas syar’i terhadap pakaian seorang muslim, perhatikan hadits-hadits berikut:
Rasulullah bersabda:
عَنِ الْعَلاءِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِيهِ قَالَ سَأَلْتُ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ عَنِ الْإِزَار َقَال قَالَ رَسُولُ اللَّهِ: إِزْرَةُ الْمُسْلِمِ إِلَى نِصْفِ السَّاقِ وَلَا حَرَجَ أَوْ لَا جُنَاحَ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْكَعْبَيْنِ مَا كَانَ أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ فَهُوَ فِي النَّارِ مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا لَمْ يَنْظُرِ اللَّهُ إِلَيْهِ
“Keadaan sarung seorang muslim hingga setengah betis, tidaklah berdosa bila memanjangkannya antara setengah betis hingga diatas mata kaki, dan apa yang turun dibawah mata kaki maka bagiannya di neraka, barang siapa yang menarik pakaiannya karena sombong maka Allah tidak akan melihatnya”.(HR. Abu Dawud 4093, Ibnu Majah 3573, Ahmad 3/5, Malik 12, Dishohihkan oleh Al-Albany dalam Al- Misykah 4331).
Berkata Syaroful Haq Azhim Abadi: “Hadits ini menunjukkan bahwa yang sunnah hendaklah sarung seorang muslim hingga setengah betis, dan dibolehkan turun dari itu hingga diatas mata kaki, apasaja yang dibawah mata kaki maka hal itu terlarang dan harom”.(‘Aunul Ma’bud 11/103).

Dari Hudzaifah beliau berkata:
أَخَذَ رَسُوْلُ اللهِ بِعَضَلَةَ سَاقِيْ, فَقاَلَ: هَذاَ مَوْضِعُ اْلإِزَارِ, فَإِنْ أَبَيْتَ فَأَسْفَلَ, فَإِنْ أَبَيْتَ فَلاَ حَقَّ لِلإِزَارِ فِيْمَا دُوْنَ اْلكَعْبَيْنِ
“Rasulullah memegang otot betisku lalu bersabda: “Ini merupakan batas bawah kain sarung, jika engkau enggan maka boleh lebih bawah lagi, jika engkau masih enggan juga maka tidak ada hak bagi sarung pada mata kaki”.(HR.Tirmidzi 1783, Ibnu Majah 3572, Ahmad 5/382, Ibnu Hibban 1447. Dishohihkan oleh Al-Albani dalam As-Shohihah 1765).

Hadits-hadits diatas mengisyaratkan bahwa panjang pakaian seorang muslim tidaklah melebihi kedua mata kaki dan yang paling utama hingga setengah betis, sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasululloh dalam haditsnya yang banyak.
Dari Abi Juhaifah berkata:
رَأَيْتُ اْلنَّبِيَّ وَ عَلَيْهِ حُلَّةٌ حَمْرَاءُ كَأَنِّيْ أَنْظُرُ إِلىَ بَرِيْقِ سَاقَيْهِ
“Aku melihat Nabi keluar dengan memakai Hullah Hamro (seakan-akan saya melihat betisnya yang sangat putih”.(HR.Bukhori dalam mukhtasornya 211, Muslim 503, Tirmidzi dalam sunannya 197, dalam Syamail Muhammadiyah 52, Ahmad 4/308).

‘Ubaid bin Kholid berkata: “Tatkala aku sedang berjalan di kota Madinah tiba-tiba ada seorang dibelakangku sambil berkata: “Tinggikan sarungmu! Sesungguhnya hal itu lebih mendekatkan kepada ketakwaan”, ternyata dia adalah Rasulullah, aku pun bertanya kepadanya: “Wahai Rasululloh ini Burdah Malhaa(pakaian yang mahal), Rasulullah menjawab: “Tidakkah pada diriku terdapat teladan?” Maka aku melihat sarungnya hingga setengah betis”(HR.Tirmidzi dalam Syamail 97, Ahmad 5/364, Dishohihkan oleh Al-albani dalam Mukhtashor Syamail Muhammadiyyah hal.69).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang seseorang yang memanjangkan celananya hingga melebihi mata kaki, beliau menjawab: “Panjangnya Qomis, celana dan seluruh pakaian hendaklah tidak melebihi kedua mata kaki, sebagaimana telah tetap dari hadits-hadits Nabi”. (Majmu’ Fatawa 22/144)

Isbal Bagi Wanita??
Batas pakaian diatas tidak berlaku bagi wanita, bahkan mereka diperintahkan untuk menutup seluruh anggota badan kecuali wajah dan telapak tangan. Berdasarkan hadits:
عَنِ بْنِ عُمَرَ قَالَ قاَلَ رَسُوْلُ اللهِ: مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ لَمْ يَنْظُرِ اللهُ إِلَيْهِ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ فَقاَلَتْ أُمُّ سَلَمَةَ فَكَيْفَ يَصْنَعْنَ النِّسَاءُ بِذُيُوْلِهِنَّ قَالَ يُرْخِيْنَ شِبْرًا فَقَالَتْ إِذًا تَنْكَشِفُ أَقْدَامُهُنَّ قاَلَ فَيُرْخِيْنَهُ ذِرَاعًا لاَ يَزِدْنَ عَلَيْهِ
Dari Abdullah bin Umar bahwasanya Rosulullah bersabda: “Barang siapa yang menarik pakaiannya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat”, Ummu Salamah bertanya: “Jika demikian apa yang harus diperbuat oleh para wanita dengan pakaian-pakaian mereka?”, Nabi menjawab: “Turunkan sejengkal!” Ummu Salamah bertanya kembali: “Kalau begitu, kaki-kaki mereka akan terlihat!” Nabi bersabda:”Turunkan sehasta jangan lebih dari itu!”. (HR. Bukhari 5885, Abu Dawud 4097, Tirmdzi 2785, Ibnu Majah 1904).

Al-Hafizh Ibnu Hajar Berkata: “Walhasil ada dua keadaan bagi laki-laki; dianjurkan yaitu menurunkan sarung hingga setengah betis, boleh yaitu hingga diatas kedua mata kaki. Demikian pula bagi wanita ada dua keadaan; dianjurkan yaitu menurunkan dibawah mata kaki hingga sejengkal, dan dibolehkan hingga sehasta”.(Fathul Bari 11/431).

C. DALIL-DALIL HAROMNYA ISBAL
Pertama:
عَنْ أَبِيْ ذَرِّ عَنِ اْلنَّبِيِّ قَالَ: ثَلاَثَةٌ لاَ يُكَلِّمُهُمُ اللهُ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ وَ لاَ يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَ لاَ يُزَكِّيْهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ قَالَ فَقَرَأَهَا رَسُوْلُ اللهِ ثَلاَثَ مِرَاراً قَالَ أَبُوْ ذَرِّ خَابُوْا وَخَسِرُوْا مَنْ هُمْ يَا رَسُوْلَ اللهِ قَالَ اْلمُسْبِلُ وَاْلَمنَّانُ وَاْلمُنْفِقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلْفِ اْلكَاذِبِ
Dari Abu Dzar bahwasanya Rasululloh bersabda: “Ada tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat dan bagi mereka adzab yang pedih: orang yang memanjangkan pakaiannya, yang suka mengungkit-ungkit pemberian dan orang yang melariskan dagangannya dengan sumpah palsu”. (HR. Muslim 106, Abu Dawud 4087, Nasa’I 4455, Dharimy 2608, Lihat Al-Irwa’: 900).

Kedua:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ: مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ لَمْ يَنْظُرِ اللهُ إِلَيْهِ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ
Dari Abdullah bin Umar bahwasanya Rasululloh bersabda: “Barang siapa yang melabuhkan pakaiannya karena sombong maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat”. (HR.Bukhari 5783, Muslim 2085).
Syaikh Salim bin I’ed Al-Hilali berkata: “Isbal karena sombong adalah dosa besar, oleh karena itu pelakunya berhak tidak dilihat oleh Alloh pada hari kiamat, tidak disucikanNya, dan baginya adzab yang pedih”.(Manahi Asy-Syar’iah 3/206).

Ketiga:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ عن النبي قَالَ: مَا أَسْفَلَ مِنَ اْلكَعْبَيْنِ مِنَ اْلإِزَارِ فَفِيْ اْلنَّارِ
Dari Abu Hurairoh bahwasanya Nabi bersabda: “Apa saja yang dibawah kedua mata kaki didalam neraka”. (HR.Bukhari 5797, Ibnu Majah 3573, Ahmad 2/96).

Keempat:
عَنِ اْلمُغِيْرَةِ بْنِ شُعْبَةَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : يَا سُفْيَانُ بْنَ سَهْلٍ لاَ تُسْبِلْ فَإِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ اْلمُسْبِلِيْنَ
Dari Mugiroh bin Su’bah adalah Rosulullah bersabda:”Wahai Sufyan bin Sahl! Janganlah kamu isbal, sesungguhnya Allah tidak menyenangi orang-orang yang isbal”. (HR. Ibnu Majah 3574, Ahmad 4/246, Thobroni dalm Al-Kabir 7909, dishohihkan Oleh Al-Albany dalam As-Shohihah 2862).

Kelima:
وَإِيَّاكَ وَإِسْبَالَ اْلإِزَارِ فَإِنَّهَا مِنَ اْلمَخِيْلَةِ وَاللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى لاَ يُحِبُّ اْلمَخِيْلَةَ
“Waspadalah kalian dari isbal pakaian, karena hal itu termasuk kesombongan, dan Allah tidak menyukai kesombongan “. (HR. Abu Dawud 4084, Ahmad 4/65, dishohihkan Oleh Al-Albany dalam As-Shohihah 770).

Keenam :
عَنِ بْنِ عُمَرَ قَالَ مَرَرْتُ عَلىَ رَسُوْلِ اللهِ وَ فِيْ إِزَارِيْ اِسْتِرْخَاءٌ فَقَالَ يَا عَبْدَ اللهِ اِرْفَعْ إِزَارَكَ فَرَفَعْتُهُ ثُمَّ قَالَ زِدْ فَزِدْتُ فَمَا زِلْتُ أَتَحَرَّاهَا بَعْدُ فَقَالَ بَعْضُ اْلقَوْمِ إلىَ أَيْنَ فَقَالَ أَنْصَافُ السَّاقَيْنِ
Dari Ibnu Umar berkata: “Saya lewat di hadapan Rosulullah sedangkan sarungku terjurai, kemudian Rosulullah menegurku seraya berkata: “Wahai Abdullah tinggikan sarungmu!” aku pun meniggikannya, beliau bersabda lagi: “Tinggikan lagi!” Aku pun meninggikannya lagi, maka semenjak itu aku senantiasa menjaga sarungku pada batas itu. Ada beberapa orang bertanya: “Seberapa tingginya?” “Sampai setengah betis”. (HR. Muslim 2086, Ahmad 2/33).
Berkata Syaikh Al-Albani: “Hadits ini sangat jelas sekali bahwa kewajiban seorang muslim hendaklah tidak menjulurkan pakaiannya hingga melebihi kedua mata kaki bahkan hendaklah ia meninggikannya hingga diatas mata kaki, walaupun dia tidak bertujuan sombong!, dan didalam hadits ini terdapat bantahan kepada orang-orang yang isbal dengan sangkaan bahwa mereka tidak melakukannya karena sombong! tidakkah mereka meninggalkan hal ini demi mencontoh perintah Rasulullah terhadap Ibnu Umar??, ataukah mereka merasa hatinya lebih suci dari Ibnu Umar?”. (As-Shohihah: 4/95).

Berkata Syaikh Bakr Abu Zaid: “Dan hadits-hadits tentang pelarangan isbal mencapai derajat Mutawatir Makna, tercantum dalam kitab-kitab shohih, sunan-sunan ataupun musnad-musnad, diriwayatkan banyak sekali oleh sekelompok para shahabat-kemudian beliau menyebutkan nama-nama shahabat tersebut hingga dua puluh satu orang- seluruh hadits tersebut menunjukkan larangan yang sangat tegas, larangan pengharaman, karena didalamnya terdapat ancaman yang sangat keras, dan telah diketahui bersama bahwa sesuatu yang terdapat ancaman atau kemurkaan maka diharomkan termasuk dosa besar, tidak bisa dihapus dan diangkat hukumnya bahkan termasuk hukum-hukum syar’I yang kekal pengharamannya”.(Hadd Tsaub Wal Uzroh Wa Tahrim Isbal Wa Libas Syuhroh hal.19).

D. DAMPAK NEGATIF DALAM ISBAL
Isbal keharomannya telah jelas, bahkan didalam isbal terdapat beberapa kemungkaran yang tidak bisa dianggap remeh, berikut sebagiannya:
1.Menyelisihi sunnah
Menyelisihi sunnah perkara yang tidak bisa dianggap enteng dan ringan, karena kewajiban setiap muslim untuk mengamalkan setiap sendi Dien dalam segala perkara baik datangnya dari Al-Qur’an atau sunnah. Alloh berfirman:
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيم
Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rosul, takut akan di timpa cobaan (fitnah) atau di timpah adzab yang pedih. (QS.An-Nur 63).

2.Mendapat ancaman neraka
Berdasarkan hadits yang sangat banyak berisi ancaman neraka (berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah: "Nash-nash yang berisi ancaman neraka bersifat umum, maka tidaklah boleh kita memastikan seseorang secara mu`ayyan (tunjuk hidung) bahwa ia termasuk penghuni neraka, karena bisa jadi ada beberapa penghalang yang memalingkannya untuk tidak mendapatkan tuntutan tersebut (neraka) seperti bertaubat atau ia mengerjakan kebaikan yang menghapus dosa atau mendapat syafa`at dan lainnya". [Majmu` Fatawa 4/484]) bagi yang melabuhkan pakaiannnya, baik karena sombong ataupun tidak, kami tambahkan satu hadits disini, Rasulullah bersabda:
كُلُّ شَيْءٍ جَاوَزَ اْلكَعْبَيْنِ مِنَ اْلإِزَارِ فَفِيْ اْلناَّرِ
“Segala sesuatu yang melebihi mata kaki didalam neraka”.(HR.Thobroni dalam Al-Kabir 11878, dishohihkan oleh Al-Albani dalam As-Shohihah 2037).

3.Termasuk kesombongan
Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar: “Kesimpulannya isbal melazimkan menarik pakaian, dan menarik pakaian melazimkan kesombongan, walaupun pelakunya tidak bermaksud sombong”. (Fathul Bari 11/437). Rasulullah bersabda :
“Waspadalah kalian dari isbal pakaian, karena hal itu termasuk kesombongan, dan Allah tidak menyukai kesombongan “. (HR. Abu Dawud 4084, Ahmad 4/65, dishohihkan Oleh Al-Albany dalam As-Shohihah 770).
Berkata Ibnul ‘Aroby: “Tidak boleh bagi laki-laki untuk memanjangkan pakaiannya melebihi kedua mata kaki, meski dia mengatakan “Aku tidak menariknya karena sombong”, karena larangan hadits secara lafazh mencakup pula bagi yang tidak sombong, maka tidak boleh bagi yang telah tercakup dalam larangan kemudian berkata : ”Aku tidak mau melaksanakannya karena sebab larangan tersebut tidak ada pada diriku”, ucapan semacam ini merupakan klaim yang tidak bisa diterima, bahkan memanjangkan pakaian itu sendiri menunujukkan kesombongannya”.(Fathul Bari 10/325).

4.Menyerupai wanita
Isbal bagi wanita disyari’atkan bahkan wajib, dan mereka tidak diperkenankan untuk menampakkan anggota tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Orang yang isbal berarti mereka telah menyerupai wanita dalam berpakaian, dan hal itu terlarang secara tegas, berdasarkan hadits:
عَنِ بْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ اْلمُتَشَبِّهِيْنَ مِنَ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ وَ اْلمُتَشَبِّهَاتِ مِن َالنِّسَاءِ بِالرِّجَالِ
Dari Ibnu ‘Abbas ia berkata: “Rasulullah melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki”.(HR.Bukhori 5885, Abu Dawud 4097, Tirmidzi 2785, Ibnu Majah 1904).
Imam At-Thobari berkata: “Maknanya tidak boleh bagi laki-laki menyerupai wanita didalam berpakaian dan perhiasan yang menjadi kekhususan mereka, demikian pula sebaliknya”.(Fathul Bari 11/521).

Dari Khorsyah bin Hirr berkata: “Aku melihat Umar bin Khotob, kemudian ada seorang pemuda yang melabuhkan sarungnya lewat dihadapannya. Maka Umar menegurnya seraya berkata: “Apakah kamu orang yang haidh?” pemuda tersebut menjawab: “Wahai Amirul Mukminin apakah laki-laki itu mengalami haidh?” Umar menjawab: “Lantas mengapa engkau melabuhkan sarungmu melewati mata kaki?” kemudian Umar minta diambilkan gunting lalu memotong bagian sarung yang melebihi kedua mata kakinya”. Khorsyah berkata: “Seakan-akan aku meluhat benang-benang diujung sarung itu”.(HR.Ibnu Abi Syaibah 8/393 dengan sanad yang shohih, lihat Al-Isbal Lighoiril Khuyala’ hal.18).

Akan tetapi Laa Haula Wala Quwwata Illa Billah zaman sekarang yang katanya modern, patokan berpakaian terbalik, yang laki-laki melabuhkan pakaiannya menyerupai wanita dan tidak terlihat darinya kecuali wajah dan telapak tangan! Yang wanita menbuka pakaiannya hingga telihat dua betisnya bahkan lebih dari itu, yang lebih tragis lagi terlontar cemoohan dan ejekan kepada laki-laki yang memndekkan pakaiannya karena mencontoh Nabi dan para shahabat, manusia zaman sekarang memang aneh mereka mencela dan mengejek para wanita yang memanjangkan jilbabnya karena taat kepada Alloh dan Rasulnya, akhirnya kepada Alloh kita mengadu.(Al-Isbal Lighoiril Khuyala hal.18).

5.Berlebih-lebihan
Tidak ragu lagi syari’at yang mulia ini telah memberikan batas-batas berpakaian, maka barangsiapa yang melebihi batasnya sungguh ia telah berlebih-lebihan. Alloh berfirman:

Hai anak adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap memasuki masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Alloh tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.(QS.Al-A’rof 31).
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Apabila pakaian melebihi batas semestinya, maka larangannya dari segi isrof(berlebih-lebihan) yang berakhir pada keharaman”.(Fathul Bari 11/436).

6.Terkena najis
Orang yang isbal tidak aman dari najis, bahkan kemungkinan besar najis menempel dan mengenai sarungnya tanpa ia sadari. Rasulullah bersabda:
اِرْفَعْ إِزَارَكَ فَإِنَّهُ أَتْقَى-أَنْقَى-
“Naikkan sarungmu karena hal itu lebih menunjukkan ketakwaan-dalam lafazh yang lain lebih suci dan bersih-“.(HR.Tirmidzi dalam Syamail 97, Ahmad 5/364, Dishohihkan oleh Al-albani dalam Mukhtashor Syamail Muhammadiyyah hal.69).

F. SYUBHAT DAN JAWABANNYA
Orang-orang yang membolehkan isbal mereka melontarkan syubhat yang cukup banyak, diantara yang sering muncul ke permukaan adalah klaim mereka bahwa isbal jika tidak sombong dibolehkan!?. Oleh karena itu penulis perlu menjawab dalil-dalil yang biasa mereka gunakan untuk membolehkan isbal jika tidak bermaksud sombong :

Pertama hadits Ibnu Umar:
عَنِ بْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ قَالَ: مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ لَمْ يَنْظُرِ اللهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ, قَالَ أَبُوْ بَكْرٍ: يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ أَحَدَ شَقَيْ إِزاَرِيْ يَسْتَرْخِيْ إِلاَّ أَنْ أَتَعَاهَدَ ذَلِكَ مِنْهُ, فَقاَلَ: لَسْتَ مِمَّنْ يَصْنَعُ خُيَلاَءَ
Dari Abdullah bin Umar bahwasanya Rosulullah bersabda: “Barang siapa yang menarik pakaiannya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat!”. Abu Bakar bertanya: “Ya, Rosulullah sarungku sering melorot kecuali bila aku menjaganya!” Rosulullah menjawab: “Engkau bukan termasuk orang yang melakukannya karena sombong”. (HR. Bukhari 5784).
Mereka berdalil dengan sabda Rosululloh: “Engkau bukan termasuk orang yang melakukannya karena sombong” bahwasanya isbal bila tidak sombong dibolehkan!?

Jawaban:
Berkata Syaikh Al-Albani: “Dan termasuk perkara yang aneh ada sebagian orang yang mempunyai pengetahuan tentang islam mereka berdalil bolehnya memanjangkan pakaian atas dasar perkataan Abu Bakar ini, maka aku katakan bahwa hadits diatas sangat gamblang bahwa Abu Bakar sebelumnya tidak memanjangkan pakaiannya, sarungnya selalu melorot tanpa kehendak dirinya dengan tetap berusaha untuk selalu menjaganya. Maka apakah boleh berdalil dengan perkataan ini sementara perbedaannya sangat jelas bagaikan matahari disiang bolong dengan apa yang terjadi pada diri Abu bakar dan orang yang selalu memanjangkan pakaiannya? Kita mohon kepada Alloh keselamatan dari hawa nafsu”.(As-Shohihah 6/401). Kemudian Syaikh berkata dalam tempat yang lain: “Dalam hadits riwayat muslim Ibnu Umar pernah lewat dihadapan Rasulullah sedangkan sarungnya melorot, Rasulullah menegur Ibnu Umar dan berkata: “Wahai Abdulloh naikkan sarungmu!” Apabila Ibnu Umar saja yang termasuk shahabat yang mulia dan utama Nabi tidak tinggal diam terhadap sarungnya yang melorot bahkan memerintahkannya untuk mengangkat sarung tersebut bukankah hal ini menunjukkan bahwa isbal itu tidak berkaitan dengan sombong atau tidak sombong?”(Mukhtashor Syamail Muhammadiyyah hal.11). Alloh berfirman:
إِنَّ فِي ذَلِكَ لَذِكْرَى لِمَن كَانَ لَهُ قَلْبٌ أَوْ أَلْقَى السَّمْعَ وَهُوَ شَهِيدٌ
“Sesungguhnya pada yang demikian ini benar-benar terdapat peringatan bagi orang yang mempunyai hati atau yang mengunakan pendengaranya, sedang dia menyaksikanya”. (QS.Qoof 37).
Syaikh Ibnu “Utsaimin berkata: “Dan adapun orang yang berhujjah dengan hadits Abu Bakar maka kita jawab dari dua sisi: Yang pertama: Bahwa salah satu sisi sarung Abu Bakar kadang melorot tanpa disengaja, maka beliau tidak menurunkan sarungnya atas kehendak dirinya dan ia selalu berusaha untuk menjaganya. Sedangkan orang yang mengklaim bahwa dirinya isbal karena tidak sombong mereka menurunkan pakaiannya karena kehendak mereka sendiri, oleh karena itu kita katakan kepada mereka : “Jika kalian menurunkan pakaian kalian dibawah mata kaki tanpa niat sombong maka kalian akan diadzab dengan apa yang turun dibawah mata kaki dengan neraka, jika kalian menurunkan pakaian karena sombong maka kalian diadzab dengan siksa yang lebih pedih yaitu Alloh tidak akan berbicara kepada kalian, tidak dilihat olehNya, tidak disucikan oleh Nya dan bagi kalian adzab yang pedih. Yang kedua: “Abu Bakar mendapat rekomendasi dan tazkiah dari Nabi bahwa ia bukan termasuk orang yang sombong, maka apakah kalian juga mendapat tazkiah dan rekomendasi yang serupa?”(Fatawa ‘Ulama Balad Harom hal.1140).

“Maka ambillah hal itu untuk menjadi pelajaran, hai orang yang mempunyai pandangan” (Al-Hasr 2)

Kedua: Mereka yang membolehkan isbal jika tidak sombong menyangka bahwa hadits-hadits larangan
isbal yang bersifat mutlak, harus di taqyid ke dalil-dalil yang menyebutkan lafadz khuyala’(sombong)
sesuai kaidah ushul fiqh Hamlul mutlak a’lal muqoyyad wajib (membawa nash yang mutlak ke muqoyyad
adalah wajib).

Jawaban:
Kita katakan kepada mereka:

“Itulah sejauh-jauhnya pengetauhan mereka”.(QS.An-Najm 3).
Kemudian kaidah ushul Hamlul Muthlaq alal muqoyyad adalah kaidah yang telah disepakati dengan syarat-syarat tertentu, untuk lebih jelasnya mari kita simak perkataan ahlu ‘ilmi dalam masalah ini.
Berkata Syaikh Ibnu ‘Utsaimin: “Isbal pakaian apabila karena sombong maka hukumannya Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat, tidak mengajak bicara dan tidak mensucikanya, serta baginya adzab yang pedih. Adapun apabila tidak karena sombong maka hukumannya disiksa dengan neraka apa yang turun melebihi mata kaki, berdasarkan hadits:

Dari Abu Dzar bahwasanya Rasululloh bersabda: “Ada tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat dan bagi mereka adzab yang pedih: orang yang memanjangkan pakaiannya, yang suka mengungkit-ungkit pemberian dan orang yang melariskan dagangannya dengan sumpah palsu”. Juga sabdanya: “Barang siapa yang melabuhkan pakaiannya karena sombong maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat”. Adapun yang isbal karena tidak sombong maka hukumannya sebagaimana dalam hadits: “Apa saja yang dibawah kedua mata kaki didalam neraka”. Dan Rasulullah tidak mentaqyidnya dengan sombong atau tidak, maka tidak boleh mentaqyid hadits ini berdasarkan hadits yang lalu, juga Abu Sa’id Al-Khudzri telah berkata bahwasanya Rasulullah bersabda: “Keadaan sarung seorang muslim hingga setengah betis, tidaklah berdosa bila memanjangkannya antara setengah betis hingga diatas mata kaki, dan apa yang turun dibawah mata kaki maka bagiannya di neraka, barang siapa yang menarik pakaiannya karena sombong maka Allah tidak akan melihatnya”. Didalam hadits ini Nabi menyebutkan dua permisalan dalam satu hadits, dan ia menjelaskan perbedaan hukum keduanya karena perbedaan balasannya, keduanya berbeda dalam perbuatan dan berbeda dalam hukum dan balasan. Maka selama hukum dan sebabnya berbeda tidaklah boleh membawa yang muthlak ke muqoyyad, karena kaidah Membawa muthlak ke muqoyyad diantara syaratnya adalah bersatunya dua nash dalam satu hukum, apabila hukumnya berbeda maka tidaklah ditaqyid salah satu keduanya dengan yang lain, oleh karena itu ayat tayamum yang berbunyi Basuhlah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu tidak ditaqyid dengan ayat wudhu’ Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai siku maka tayamum itu tidak sampai siku, karena mengharuskan perlawanan”.(As’ilah Muhimmah hal.29-30, lihat pula Fatawa Syaikh ‘Utsaimin 2/921, Isbal Lighoril Khuyala’ hal.26).
Kesimpulannya; Kaidah “Membawa nash yang mutlaq ke muqoyyad wajib” adalah kaidah yang telah muttafaq alaihi (disepakati) pada keadan bersatunya hukum dan sebab, maka tidaklah boleh membawa nash yang muthlaq ke muqoyad apabila hukum dan sebabnya berbeda, atau hukumnya berbeda dan sebabnya bersatu! (Lihat Ushul Fiqh Al-Islamy 1/217 karya Dr.Wahbah Az-Zuhaili). (Untuk lebih memahami masalah ini silahkan merujuk kitab-kitab Ushul Fiqh seperti Syarah Luma` 1/417, Kasyful Asror 2/287 karya Imam Bukhori, Taisir Ushul hal.92-94 oleh Hafizh Syana`ulloh az-Zahidi, Syarah al-Ushul Min `Ilmil Ushul hal.329)

G. Kesimpulan
Dari pembahasan dimuka dapat disimpulkan:
1.Isbal adalah memanjangkan pakaian hingga menutupi mata kaki baik karena sombong maupun tidak, dan hal ini harom dilakukan bagi laki-laki.
2.Batas pakaian seorang laki-laki ialah setengah betis, dan dibolehkan hingga diatas mata kaki, tidak lebih.
3.Hukum isbal tidak berlaku bagi wanita, bahkan mereka disyari’atkan menurunkan pakaiannya hingga sejengkal dibawah mata kaki.
4.Isbal pakaian tidak hanya pada sarung, berlaku bagi setiap jenis pakaian berupa celana, gamis, jubah, sorban dan segala sesuatu yang menjulur ke bawah..
5. Isbal karena sombong adalah dosa besar, oleh karena itu pelakunya berhak tidak dilihat oleh Alloh pada hari kiamat, tidak disucikanNya, dan baginya adzab yang pedih.
6.Isbal jika tidak sombong maka baginya adzab neraka apa yang turun dibawah mata kaki.
7.Isbal memiliki beberapa kemungkaran, sebagaimana yang telah berlalu penjelasannya.
8.Klaim sebagian orang yang melakukan isbal dengan alasan tidak sombong merupakan klaim yang tidak bisa diterima. Maka bagi mereka kami sarankan untuk memperdalam ilmu dan merujuk kalam ‘ulama dalam masalah ini.
Demikian yang bisa kami sajikan tentang masalah isbal semoga tulisan ini ikhlas karena mengharap wajahNya dan bermanfaat bagi diri penulis serta kaum muslimin dimanapun berada. Amiin. Wallohu ‘Alam.