Sesungguhnya Allah telah berjanji untuk menjaga kemurnian agamaNya, dengan membangkitkan sebagian hambaNya, untuk berjuang membela agama, dan membantah ahli bid’ah para pengekor hawa, yang seringkali menyemarakkan kebid’ahan dalam agama dan mempermainkan dalil Al-Qur’an dan sunnah seperti anak kecil mempermainkan tali mainannya, mereka memahami nash-nash dengan pemahaman yang keliru dan lucu, hal itu karena mereka memaksakan dalil agar sesuai dengan selera hawa nafsu.
Bila anda ingin bukti, maka itu terlalu banyak sekali, tetapi contoh berikut mungkin dapat mewakili.
Dalam sebuah majalah bulanan yang terbit di salah satu kota Jawa timur, seorang yang menamakan dirinya “Masun Said Alwy” menulis sebuah artikel sekitar sepuluh halaman berjudul “Membongkar Kedok Wahabi, Satu Dari Dua Tanduk Setan”.
Setelah penulis mencoba untuk membaca tulisan tersebut, ternyata hanya keheranan yang dia dapati. Bagaimana tidak? Tulisan tersebut tiada berisi melainkan kebohongan dan kedustaan, sampai-sampai betapa hati ini ingin sekali berkata kepada penulis makalah tersebut: “Alangkah beraninya anda berdusta! Apakah anda tidak takut siksa?!”.
Sungguh banyak sekali kebohongan yang kudapati , namun yang menarik perhatian kita untuk menjadi topik bahasan rubrik hadits adalah ucapannya yang berkaitan tentang “hadits” sebagai berikut:
“Sungguh Nabi SAW telah memberitakan akan datangnya Faham Wahabi ini dalam beberapa hadits, ini merupakan tanda kenabian beliau SAW dalam memberitakan sesuatu yang belum terjadi. Seluruh hadits-hadits ini adalah shahih, sebagaimana terdapat dalam kitab shahih Bukhari & Muslim dan lainnya”. Diantaranya:
الْفِتْنَةُ مِنْ هَا هُنَا الْفِتْنَةُ مِنْ هَا هُنَا وَأَشَارَ إِلَى الْمَشْرِقِ
Fitnah itu datangnya dari sana, fitnah itu datangnya dari arah sana, sambil menunjuk ke arah timur (Nejed). HR. Muslim dalam Kitabul Fitan
يَخْرُجُ نَاسٌ مِنَ الْمَشْرِقِ يَقْرَأُوْنَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ يَمْرُقُوْنَ مِنَ الدِّيْنِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ لاَ يَعُوْدُوْنَ فِيْهِ حَتَّى يَعُوْدَ السَّهْمُ إِلَى فَوْقِهِ سِيْمَاهُمْ التَّحْلِيْقُ. رواه البخاري
Akan keluar dari arah timur segolongan manusia yang membaca Al Qur’an namun tidak sampai melewati kerongkongan mereka (tidak sampai ke hati), mereka keluar dari agama seerti anak anah keluar dari busurnya, mereka tidak akan bisa kembali seperti anak panah yang tak akan kembali ke tempatnya, tanda-tanda mereka ialah bercukur. HR. Bukhari no 7123, Juz 6 hal 20748. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Majah, Abu Dawud dan Ibnu Hibban.
Nabi SAW pernah berdoa
اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ شَامِنَا, اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ يَمَنِنَا
Ya Allah, berikanlah kami berkah dalam negara Syam dan Yaman.
Para sahabat bertanya: Dan dari Nejed wahai Rasulullah, beliau berdoa: Ya Allah, berikanlah kami berkah dalam negara Syam dan Yaman, dan pada yang ketiga kalinya beliau SAW bersabda:
هُنَاكَ الزَّلاَزِلُ وَالْفِتَنُ وَبِهَا يَطْلَعُ قَرْنُ الشَّيْطَانِ وَفِيْ رِوَايَةٍ قَرْنَا الشَّيْطَانِ
Di sana (Nejed) akan ada keguncangan fitnah serta di sana pula akan muncul tanduk Syetan. Dalam riwayat lain: Dua tanduk Syetan.
Dalam hadits-hadits tersebut dijelaskan, bahwa tanda-tanda mereka adalah bercukur (gundul). Dan ini adalah merupakan nash yang jelas ditujukan kepada para penganut Muhammad bin Abdul Wahab, karena dia telah memerintahkan setiap pengikutnya mencukur rambut kepalanya hingga mereka yang mengikuti tidak diperbolehkan berpaling dari majlisnya sebelum bercukur gundul. Hal seperti ini tidak pernah terjadi pada aliran-aliran sesat lain sebelumnya seperti yang dikatakan oleh Sayyid Abdur Rahman al-Ahdal: “Tidak perlu kita menulis buku untuk menolak Muhammad bin Abdul Wahhab, karena sudah cukup ditolak oleh hadits-hadits Rasulullah SAW itu sendiri yang telah menegaskan bahwa tanda-tanda mereka adalah bercukur (gundul), karena ahli bid’ah sebelumnya tidak pernah berbuat demikian”.
Al Allamah Sayyid Alwi bin Ahmad bin Hasan bin Al-Quthub Abdullah Al-Haddad menyebutkan dalam kitabnya “Jala’udz Dzolam” sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abbas bin Abdul Muthalib dari Nabi SAW:
سَيَخْرُجُ فِيْ ثَانِيْ عَشَرَ قَرْنًا فِيْ وَادِيْ بَنِيْ حَنِيْفَةَ رَجُلٌ كَهَيْئَةِ الثَّوْرِ لاَيَزَالُُ يَلْعَقُ بَرَاطِمَهُ يَكْثُرُ فِيْ زَمَانِهِ الْهَرَجُ وَالْمَرَجُ يَسْتَحِلُّوْنَ أَمْوَالَ الْمُسْلِمِيْنَ وَيَتَّخِذُوْنَهَا بَيْنَهُمْ مَتْجَرًا وَيَسْتَحِلُّوْنَ دِمَاءَ الْمُسْلِمِيْنَ
Akan keluar di abad kedua belas nanti di lembah Bani Hanifah seorang lelaki, yang tingkahnya bagaikan sapi jantan (sombong), lidahnya selalu menjilat bibirnya yang besar, pada zaman itu banyak terjadi kekacauan, mereka menghalalkan harta kaum muslimin, diambil untuk berdagang dan menghalalkan darah kaum muslimin”. Al-Hadits.
Bani Hanifah adalah kaum nabi palsu Musailamah Al-Kadzdzab dan Muhammad bin Su’ud. Kemudian dalam kitab tersebut Sayyid Alwi mnyebutkan bahwa orang yang tertipu ini tiada lain ialah Muhammad bin Abdul Wahhab…”.
INILAH JAWABANNYA
Demikianlah teks ucapannya sebagaimana termuat dalam Majalah “Cahaya Nabawiy” Edisi 33 Th. III Sya’ban 1426 H/September 2005 M hal. 15-17 tanpa saya kurangi atau tambahi. Ucapan di atas mendorong penulis untuk menanggapinya dalam tiga point pembahasan:
Pertama: Dakwah Muhammad bin Abdul Wahhab Adalah Fitnah Nejed?
Sebenarnya apa yang dilontarkan oleh saudara Masun Said Alwy di atas bukanlah suatu hal yang baru, itu hanyalah daur ulang dari para pendahulunya yang mempromosikan kebohongan ini, semisal al-Haddad dalam Al-Mishbah Al-Anam hal. 5-7, al-A’jily dalam Kasyfu Al-Irtiyab hal. 120, ad-Dahlan dalam Ad-Durar As-Saniyyah fi Ar-Raddi ‘Ala Wahhabiyah hal. 54, Muhammad Hasan al-Musawi dalam Al-Barahin Al-Jaliyyah hal. 71, an-Nabhani dalam Ar-Raiyah Ash-Sughra hal. 27 dan lain sebagainya dari orang-orang yang disesatkan Allah hatinya. Semuanya berkoar bahwa maksud “Nejed” dalam hadits-hadits di atas adalah Hijaz dan maksud fitnah yang terjadi adalah Dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab!!!
Kebohongan ini sangat jelas sekali bagi orang yang dikaruniai hidayah ilmu dan diselamatkan dari hawa nafsu, ditinjau dari beberapa segi:
1. Hadits Itu Saling menafsirkan
Bagi orang yang mau meneliti jalur-jalur hadits ini dan membandingkan lafadz-lafadznya, niscaya tidak samar lagi bagi dia penafsiran yang benar tentang makna Nejed dalam hadits ini. Dalam lafadz yang dikeluarkan Imam ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir 12/384/no.13422 dari jalur Ismail bin Mas’ud: Menceritakan kami Ubaidullah bin Abdullah bin Aun dari ayahnya dari Nafi’ dari Ibnu Umar dengan lafadz:
اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ شَامِنَا, اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ يَمَنِنَا. فَقَالَهَا مِرَارًا, فَلَمَّا كَانَ فِيْ الثَّالِثَةِ أَوْ الرَّابِعَةِ, قَالُوْا : يَا رَسُوْلَ اللهِ! وَفِيْ عِرَاقِنَا؟ قَالَ : إِنَّ بِهَا الزَّلاَزِلَ وَالْفِتَنَ وَبِهَا يَطْلَعُ قَرْنُ الشَّيْطَانِ
Ya Allah berkahilah kami dalam Syam kami, Ya Allah berkahi kami dalam Yaman kami. Beliau mengulanginya beberapa kali, pada ketiga atau keempat kalinya, para sahabat berkata: Wahai Rasulullah! Dalam Iraq kami? Beliau menjawab: Sesungguhnya di sana terdapat kegoncangan dan fitnah dan di sana pula muncul tanduk Syetan.
Sanad hadits ini bagus. Ubaidullah adalah seorang yang dikenal haditsnya, sebagaimana kata Imam Bukhari dalam At-Tarikh Al-Kabir 5/388/1247. Ibnu Abi Hatim juga berkata dalam Al-Jarh wa At-Ta’dil 5/322 dari ayahnya: “Shalih (bagus) haditsnya”.
Dan dikuatkan dalam riwayat Ya’qub al-Fasawi dalam Al-Ma’rifah 2/746-748, al-Mukhallish dalam Al-Fawaid Al-Muntaqah 7/2-3, al-Jurjani dalam Al-Fawaid 2/164, Abu Nuaim dalam Al-Hilyah 6/133 dan Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimsyaq 1/120 dari jalur Taubah al-‘Anbari dari Salim bin Abdullah bin Umar dari ayahnya dengan lafadz:
اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ مَكَّتِنَا, اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ مَدِيْنَتِنَا, اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ شَامِنَا, اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ صَاعِنَا وَبَارِكْ لَنَا فِيْ مُدِّنَا. فَقَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُوْلَ اللهِ! وَفِيْ عِرَاقِنَا, فَأَعْرَضَ عَنْهُ, فَرَدَّدَهَا ثَلاَثًا, كُلُّ ذَلِكَ يَقُوْلُ الرَّجُلُ: وَفِيْ عِرَاقِنَا, فَيُعْرِضُ عَنْهُ, فَقَالَ: بِهَا الزَّلاَزِلُ وَالْفِتَنُ وَبِهَا يَطْلُعُ قَرْنُ الشَّيْطَانِ
Ya Allah, berkahilah kami dalam Mekkah kami, Ya Allah, berkahilah kami dalam Madinah kami. Ya Allah, berkahilah kami dalam Syam kami. Ya Allah, berkahilah kami dalam Sho’ kami dan berkahilah kami dalam mudd kami. Seorang bertanya: wahai Rasulullah! Dalam Iraq kami, lalu Nabi berpaling darinya dan mengulangi tiga kali, orang tersebut tetap saja mengatakan: Dalam Iraq kami, Nabi-pun berpaling darinya seraya bersabda: Di sanalah kegoncangan dan fitnah dan di sana pula muncul tanduk Syetan. (Sanad hadits ini shahih, sesuai syarat Bukhari Muslim).
Imam Muslim dalam Shahihnya 2905 meriwayatkan dari Ibnu Fudhail dari ayahnya, dia berkata: Saya mendengar ayahku Salim bin Abdullah bin Umar berkata:
يَا أَهْلَ الْعِرَاقِ! مَا أَسْأَلَكُمْ عَنِ الصَّغِيْرَةِ وَأَرْكَبَكُمْ عَنِ الْكَبِيْرَةِ, سَمِعْتُ أَبِيْ عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ يَقُوْلُ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ يَقُوْلُ : إِنَّ الْفِتْنَةَ تَجِيْئُ مِنْ هَا هُنَا وَأَوْمَأَ بِيَدِهِ نَحْوَ الْمَشْرِقِ, مِنْ حَيْثُ يَطْلُعُ قَرْنُ الشَّيْطَانِ
Wahai penduduk Iraq! Alangkah seringnya kalian bertanya tentang masalah-masalah sepeleh dan alangkah beraninya kalian menerjang dosa besar! Saya mendengar ayahku Abdullah bin Umar mengatakan: Saya mendengar Rasulullah bersabda: Sesungguhnya fitnah datangnya dari arah sini, beliau sambil mengarahkan tangannya ke arah timur, dari situlah muncul tanduk Syetan…”
Riwayat ini sangat jelas menunjukkan bahwa maksud “arah timur” adalah Iraq sebagaimana difahami oleh Salim bin Abdullah bin Umar.
Al-Khaththabi berkata dalam I’lam Sunan 2/1274: “Nejed: arah timur. Bagi penduduk kota Madinah, nejednya adalah Iraq dan sekitarnya. Asli makna “Nejed” adalah setiap tanah yang tinggi, lawan kata dari “Ghour” yaitu setiap tanah yang rendah seperti Tuhamah (sebuah kota di Mekkah –pent) dan Mekkah. Fitnah itu muncul dari arah timur dan dari arah itu pula keluar Ya’juj dan Ma’juj serta Dajjal sebagaimana diriwayatkan dalam banyak hadits”.
Demikian pula dijelaskan oleh para ulama lainnya seperti al-‘Ainy dalam Umdah Al-Qori 24/200, al-Kirmani dalam Syarh Shahih Bukhari 24/168, al-Qashthalani dalam Irsyad Sari 10/181, Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 13/47 dan lain sebagainya.
Hal ini dapat kita temukan juga dalam kitab-kitab kamus bahasa Arab seperti Al-Qamus Al-Mukhith oleh ar-Razi dan Lisanul Arab oleh Ibnu Mandzur, dan dalam kitab-kitab gharib hadits seperti An-Nihayah fi Gharib Hadits oleh Ibnu Atsir.
Dengan sedikit penjelasan di atas, maka jelaslah bagi orang yang memiliki pandangan bahwa maksud “Nejed” dalam riwayat hadits di atas bukanlah suatu nama untuk negeri tertentu, tetapi untuk setiap tanah yang lebih tinggi dari sekitarnya. Dengan demikian maka Nejed yang dikenal oleh dunia Arab banyak sekali jumlahnya. (Lihat Mu’jam Al-Buldan 5/265, Taj Al-Arus 2/509, Mu’jam Al-Mufahras li Alfadz Hadits 8/339).
Jadi Nejed yang merupakan tempat munculnya tanduk Syetan dan sumber kerusakan/fitnah adalah arah Iraq, karena itulah timur kota Madinah Nabawiyah, maka seluruh riwayat dan lafadz hadits ini kalau digabungkan ternyata saling menafsirkan antara satu dengan lainnya, sebagaimana hal ini juga dikuatkan oleh penafsiran para ulama –yang terdepan adalah Salim, anaknya sahabat Ibnu Umar- dan para pakar ahli bahasa.
2. Sejarah dan fakta lapangan membuktikan kebenaran hadits Nabi di atas bahwa Iraq adalah sumber fitnah , baik yang telah terjadi maupun yang belum terjadi, seperti keluarnya Ya’juj dan Ma’juj, perang Jamal, perang Shifhin, fitnah Karbala’, tragedi Tatar. Demikian pula munculnya kelompok-kelompok sesat seperti Khawarij yang muncul di kota Harura’ –kota dekat Kufah-, Rafidhah –hingga sekarang masih kuat-, Mu’tazilah, Jahmiyah dan Qodariyyah, dimana awal munculnya mereka adalah di Iraq sebagaimana dalam hadits pertama Shahih Muslim.
Dan kenyataan yang kita saksikan dengan mata kepala pada saat ini, dimana keamanan di Iraq terasa begitu mahal, banyaknya peperangan dan pertumpahan darah, dan andilnya orang-orang kafir dalam menguasai Iraq. Kita berdoa kepada Allah agar memperbaiki keadaan di Iraq, menetapkan langkah para mujahidin di Iraq dan menyatukan barisan mereka . Amiin.
Ibnu Abdil Barr berkata dalam Al-Istidzkar 27/248: “Rasulullah mengkhabarkan tentang datangnya fitnah dari arah timur, dan memang benar secara nyata bahwa kebanyakan fitnah muncul dari timur dan terjadi di sana, seperti perang jamal, perang shifin, terbunuhnya Husain dan lain sebagainya dari fitnah yang terjadi di Iraq dan Khurasan semenjak dahulu hingga sekarang yang sangat panjang kalau mau diuraikan. Memang fitnah terjadi di setiap penjuru kota Islam namun terjadinya dari arah timur jauh lebih banyak”.
Syaikh Abdur Rahman bin Hasan berkata dalam Majmu’ah Ar-Rosail wa Al-Masail 4/264-265: “Telah terjadi di Iraq beberap fitnah dan tragedi mengerikan yang tidak pernah terjadi di Nejed Hijaz. Hal itu diketahui oleh seorang yang menelaah sejarah, seperti keluarnya Khawarij, pembunuhan Husain, fitnah Ibnu Asy’ats, fitnah Mukhtar yang mengaku sebagi nabi…dan apa yang terjadi pada masa pemerintahan Hajjaj berupa pertumpahan darah yang sangat panjang kalau mau diuaraikan”.
Syaikh Mahmud Syukri al-Alusi al-Iraqi berkata dalam Ghoyatul Amani 2/180: “Tak aneh, Iraq memang pusat fitnah dan musibah, penduduk Islam di sana selalu dihantam fitnah satu demi satu, tidak samar lagi bagi kita fitnah ahli Harura’ (kelompok Khawarij –pent) yang mencemarkan Islam, fitnah Jahmiyyah yang banyak dikafirkan oleh mayoritas ulama salaf juga muncul dan berkembang di Iraq, fitnah Mu’tazilah dan ucapan mereka terhadap Hasan Bashri serta lima pokok ajaran mereka yang bersebrangan dengan faham ahli sunnah begitu masyhur, fitnah ahli bid’ah kaum sufi yang menggugurkan beban perintah dan larangan yang berkembang di Bashrah, dan fitnah kaum Rafidhah dan Syi’ah serta perbuatan ghuluw (berlebihan) mereka terhadap ahli bait, ucapan kotor terhadap Ali bin Abi Thalib serta celaan terhadap pembesar para sahabat sangat masyhur juga”.
3. Anggaplah bahwa “Nejed” yang dimaksud oleh hadits di atas adalah Nejed Hijaz, tetap saja tidak mendukung keinginan mereka, sebab hadits tersebut hanya mengkhabarkan terjadinya fitnah di suatu tempat, tidak menvonis perorangan seperti Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Terjadinya suatu fitnah di suatu tempat, tidaklah mengharuskan tercelanya setiap orang yang bertempat tinggal di tempat tersebut.
Bukankah Nabi juga mengkhabarkan bahwa akan terjadi fitnah di kota Madinah Nabawiyah?! Seandainya terjadinya fitnah di suatu tempat mengharuskan tercelanya setiap penduduknya, maka itu artinya seluruh penduduk Madinah adalah tercela, padahal tak seorangpun mengatakan hal ini. Bahkan tidak ada suatu tempatpun di dunia ini -baik telah terjadi maupun belum- kecuali akan terjadi fitnah di dalamnya. Lantas akankah seseorang berani untuk mencela seluruh kaum muslimin seantero dunia?! Jadi timbangan celaan seorang bukanlah karena dia lahir di tempat ini atau itu, tetapi timbangannya adalah kalau dia sebagai pencetus fitnah berupa kekufuran, kesyirikan dan kebid’ahan. (Shiyanatul Insan ‘an Waswasah Syaikh Dahlan hal. 498-500 oleh Syaikh Muhammad Basyir al-Hindi).
Syaikh Abdur bin Hasan mengatakan: “Bagaimanapun juga celaan itu silih berganti waktu tergantung kepada penduduknya, sekalipun memang tempat itu bertingkat-tingkat keutamaannya, tempat maksiat pada suatu waktu bisa saja akan menjadi tempat ketaatan di waktu lain, demikian pula sebaliknya.
Seandainya Nejed tercela karena Musailamah (al-Kadzab) setelah kemusnahanya bersama para pengikutnya, niscaya Yaman juga tercela karena Aswad al-Ansiy yang mengaku Nabi…
Kota Madinah tidaklah tercela karena kaum Yahudi tinggal di sana dan kota Mekkah tidaklah tercela disebabkan penduduknya dahulu mendustakan Nabi dan memusuhi dakwahnya”. (Majmu’ah Rosail wa Masail 4/265).
Syaikh Abdul Lathif bin Abdur Rahman bin Hasan berkata dalam Minhaj Ta’sis wa Taqdis hal. 92: “Timbangan keutamaan itu tergantung pada penduduknya, berbeda dan berpindah bersama ilmu dan agama. Kota dan desa yang paling utama di setiap waktu adalah yang paling banyak ilmu dan sunnahnya, dan sejelek-jelek kota adalah yang paling sedikit ilmu, paling banyak kejahilan, kebid’ahan dan kesyirikan, paling lemah dalam menjalankan sunnah dan jejak salaf shalih. Jadi keutamaan kota itu tergantung kepada penduduk dan orangnya”.
Sebagai kata kesimpulan penulis ingin menurunkan ucapan berharga dari penjelasan ahli hadits abad ini, Muhammad Nasiruddin al-Albani yang telah menepis salah faham hadits ini dalam berbagai kesempatan, beliau berkata setelah takhrij haditsyang panjang: “Sengaja saya memperluas keterangan takhrij hadits shahih ini serta menyebutkan jalur dan lafadz-lafadznya, karena sebagian ahli bid’ah yang memerangi sunnah dan menyimpang dari tauhid telah mencela Imam Muhammad bin Abdil Wahhab, pembaharu dakwah tauhid di jazirah Arab, dan mereka mengarahkan hadits ini pada beliau, dengan alasan karena beliau berasal dari Nejed yang populer saat ini.
Mereka tidak tahu atau memang pura-pura tidak tahu bahwa hal itu bukanlah yang dimaksud oleh hadits ini, namun yang dimaksud adalah Iraq sebagaimana dijelaskan oleh kebanyakan jalur hadits ini. Demikianlah yang ditegaskan oleh para ulama semenjak dahulu seperti Imam al-Khaththabi, Ibnu Hajar al-Asqalani dan lain sebagainya.
Mereka tidak tahu juga bahwa orang yang berasal dari negeri tercela tidaklah melazimkan dia tercela juga kalau memang dia orang yang shalih, demikian pula sebaliknya, betapa banyak orang fajir dan fasiq di Mekkah, Madinah dan Syam, dan betapa banyak orang alim dan shalih di Iraq . Alangkah bagusnya ucapan Salman al-Farisi kepada Abu Darda’ tatkala dia mengajak dirinya untuk hijrah dari Iraq ke Syam: “Amma Ba’du, sesungguhnya negeri yang mulia tidaklah membuat seorangpun menjadi mulia, namun yang membuat mulia adalah amal perbuatannya”.
(Silsilah Ahadits Ash-Shahihah 5/305)
Beliau juga berkata: “Jalur-jalur hadits ini menguatkan bahwa arah yang diisyaratkan oleh Nabi adalah arah timur, yang tepatnya adalah Iraq, sebagaimana anda lihat secara jelas dalam sebagian riwayat. Hadits ini merupakan tanda diantara tanda-tanda kenabian, sebab awal fitnah adalah dari arah timur, yang merupakan penyebab perpecahan di tengah kaum muslimin, demikian pula bid’ah-bid’ah muncul dari arah yang sama, seperti bid’ah Syi’ah, Khawarij dan sebagainya. Imam Bukhari 7/77 dan Ahmad 2/85, 153 meriwayatkan dari Ibnu Abi Nu’min, dia berkata: Saya menyaksikan Ibnu Umar ketika ditanya oleh seorang dari Iraq tentang hukum membunuh lalat bagi orang yang sedang ihram, maka dia berkata: Wahai penduduk Iraq! Kalian bertanya kepadaku tentang orang muhrim membunuh lalat, padahal kalian telah membunuh anak putri Rasulullah, sedangkan beliau sendiri bersabda: “Keduanya (Hasan dan Husain) adalah kesayanganku di dunia”. (Silsilah Ash-Shahihah 5/655-656)
Beliau juga berkata: “Apa yang dikhabarkan oleh Rasulullah telah terbukti, sebab kebanyakan fitnah besar munculnya dari Iraq seperti peperangan antara sayyidina Ali dan Mu’awiyah, antara Ali dan Khawarij, antara Ali dan Aisyah, dan lain sebagainya yang disebutkan dalam kitab-kitab sejarah. Dengan demikian, hadits ini merupakan salah satu mu’jizat dan tanda-tanda kenabiannya”. (Takhrij Ahadits Fadhail Syam wa Dimsyaq hal. 26-27)
Kedua: Muhammad bin Abdul Wahhab & Cukur Rambut
Adapun tudingan saudara Masun Said Alwy bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab memerintahkan kepada setiap pengikutnya untuk mencukur rambut kepalanya dan ini termasuk dalam hadits Nabi tentang Khawarij: “Tanda mereka adalah cukur rambut”.
Kebohongan inipun bukanlah hal yang baru, ini hanya daur ulang dari para pembohong sebelumnya seperti Jamil az-Zuhawi al-Iraqi dalam Al-Fajr Ash-Shadiq dan Ahmad Zaini ad-Dahlan dalam Ad-Durar As-Saniyyah dan lain sebagainya.
Tuduhan ini sangat mentah sekali, tujuan di balik itu sangat jelas, yaitu melarikan manusia dari dakwah yang disebarkan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Ada beberapa point untuk mendustakan tuduhan ini:
1. Mereka Mendustakan Tuduhan Bohong ini
Syaikh Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahhab berkata tatkala membantah tuduhan bahwa ulama dakwah mengkafirkan orang yang tidak mencukur rambut kepalanya!!: “Sesungguhnya ini adalah kedustaan dan kebohongan kepada kami. Seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir tidak mungkin melakukan hal ini, karena kekufuran dan kemurtadan tidaklah terealisasikan kecuali dengan mengingkari perkara-perkara agama yang maklum bi dharurah (diketahui oleh semua), macam-macam kekufuran, baik yang berupa ucapan maupun perbuatan adalah perkara yang maklum bagi para ahli ilmu. Tidak mencukur rambut kepala bukanlah termasuk diantaranya (kekufuran atau kemurtadan), bahkan kamipun tidak berpendapat bahwa mencukur rambut adalah sunnah, apalagi wajib, apalagi kufur keluar dari Islam bila ditinggalkan. (Ad-Durar As-Saniyyah 10/275-276, cet kelima).
Syaikh Sulaiman bin Sahman berkata: “Ini termasuk kebohongan, kedustaan, kedzaliman, dan penganiayaan”. (Adh-Dhiya’ Asy-Syariq hal. 119)
Syaikh Muhammad Basyir al-Hindi berkata juga: “Ini adalah kedustaan yang sangat jelas dan kebohongan yang sangat keji”. (Syiyanah Insan ‘an Waswasah Syaikh Dahlan hal. 560)
2. Pendapat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab tentang cukur rambut
Bukti yang menguatkan bohonganya tuduhan ini bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab telah menjelaskan pendapatnya dalam masalah cukur rambut atau memeliharanya, yang menyelisihi tuduhan musuh-musuhnya, beliau berkata: “Imam Ahmad pernah ditanya tentang seorang yang memelihara rambutnya? Dia menjawab: Sunnah yang bagus, seandainya kami mampu maka kami akan melakukannya, seraya berkata: “Rambutnya Nabi sampai ke bahunya”.
Dan disunnahkan sifat rambut seorang seperti sifat rambutnya Nabi, kalau panjang maka sampai ke bahu, kalau pendek maka sampai ke daun telinga”.
Beliau juga berkata: “Apakah dibenci cukur rambut kepala pada selain haji dan umrah? Ada dua riwayat: Pertama: Dibenci, berdasarkan sabda Nabi tentang khawarij: “Tanda mereka adalah cukur”. Kedua: Tidak dibenci, berdasarkan larangannya tentang qoza’ (cukur sebagian rambut dan membiarkan sebagian lainnya): “Cukurlah semua atau biarkan semua”. Riwayat Abu Dawud. Ibnu Abdil Barr berkata: “Para ulama di setiap tempat bersepakat tentang bolehnya cukur, dan cukuplah ini sebagai hujjah”. (Mukhtashar Al-Inshaf wa Syarh Al-Kabir, kumpulan karya Syaikh Ibnu Abdil Wahhab 1/28, Cet Jami’ah Imam).
3. Pendapat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Tentang Khawarij
Bagaimana mungkin Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dikategorikan termasuk hadits yang disinyalir Nabi tentang khawarij, padahal beliau sendiri berlepas diri dari khawarij. Perhatikan ucapannya: “Telah mutawatir hadits-hadits dari rasulullah tentang ciri-ciri khawarij, kejelekan mereka serta anjuran memerangi mereka”. (Mukhtashar Sirah Rasul hal. 498)
4. Ibadah Dengan Mencukur Gundul Merupakan Syi’ar Khawarij
Adapun ucapan saudara “Hal seperti ini tidak pernah terjadi pada aliran-aliran sesat lain sebelumnya” ini merupakan kesalahan dan kejahilan, sebab ibadah dengan cukur gundul ini adalah syi’ar aliran sesat Khawarij dan diikuti sebagian Shufi.
Syaikh Muhammad Rasyid Ridha berkata dalam Fatawanya hal. 347: “Alasan para ulama yang membenci cukur rambut dan menganggapnya menyelisihi sunnah karena hal itu adalah syi’ar khawarij dahulu”. (Lihat pula Aridhatul Ahwadzi 7/256 Ibnu Arabi dan Fathul Bari 13/669 Ibnu Hajar)
Dan ini juga diikuti oleh sebagian kelompok sufi, sebagaimana dijelaskan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Al-Istiqomah 1/256 dan muridnya, Ibnu Qayyim dalam Ahkam Ahli Dzimmah 2/749. Maka ucapan “hal ini tidak pernah terjadi pada aliran sesat lain sebelumnya” adalah kejahilan dan kesalahan.
Ketiga: Berdusta Atas Nama Hadits
Adapun hadits yang dinukil oleh saudara Masun Said Alwy dari kitab “Jalau Dzolam fir Raddi ‘ala Najdi Al-Ladzi Adholla Awam” oleh Sayyid Alwy al-Haddad dari Abbas bin Abdul Muthallib, maka ini adalah kebodohan di atas kebodohan, sebab hadits ini tidak ada asal usulnya sama sekali dalam kitab-kitab hadits tetapi tetap dijadikan argumen untuk mendukung hawa nafsunya.
Anda jangan tertipu dengan ucapan di akhirnya: “Al-Hadits’!!! Seandainya itu diriwayatkan oleh ahli hadits, maka mengapa tidak dia sebutkan?! Apa beratnya? Lebih terkejut lagi kalau anda tahu bahwa ucapan “Al-Hadits” ini sebenarnya bukan dari kitab aslinya, itu hanyalah ucapan Masun Said Alwy.
Seharusnya saudara Masun Said Alwy menukil takhrij lucu dari kitab aslinya, dimana pengarang kitab tersebut mengatakan: “Hadits ini memiliki syawahid (penguat-penguat) yang mendukung maknanya, sekalipun tidak diketahui siapa yang meriwayatkannya”!!!
Kalau memang tidak diketahui siapa yang meriwayatkannya, lantas kenapa dia berdalil dengannya?!! Jadi hadits ini hanyalah buatan orang tersebut dan yang semodel dengannya, dia berdusta terhadap rasululullah secara terang-terangan di depan makhluk. Aduhai, alangkah rusaknya hati yang berani berbuat demikian! Dan alangkah buruknya hati yang mencintai orang-orang model mereka! Mereka berdusta kepada Rasulullah dan mengaku cinta Nabi, mungkinkah dua hal ini dapat bersatu di hati seorang?! Sekali-kali tidak, kecuali di hati seorang ahli bid’ah dan pendusta.
Sungguh lucu ucapannya “Tidak diketahui siapa yang meriwayatkannya”. Seandainya dia menyandarkannya ke kitab yang tidak ada wujudnya, niscaya akan lebih laris kebohongannya di tengah-tengah orang-orang jahil, bukan bagi para ulama yang mengetahui cahaya ucapan Nabi.
Kami harap anda jangan heran, karena berdusta dan menyebarkan hadits-hadits dusta adalah kebiasaan setiap penggemar bid’ah.
PENUTUP & NASEHAT
Usai kita menanggapi tiga permasalahan di atas, penulis merasa perlu menyodorkan nasehat bagi kita semua, secara khusus kepada saudara Masun Said Alwy, penulis artikel “Membongkar Kedok Wahabi”:
1. Hendaknya kita mempelajari makna hadits dengan bantuan kitab-kitab syarh (penjelasan) para ulama agar tidak ngawur dalam menafsirkannya. Alangkah indahnya ucapan Sufyan bin ‘Uyainah:
يَا أَصْحَابَ الْحَدِيْثِ تَعَلَّمُوْا مَعَانِيَ الْحَدِيْثِ فَإِنِّيْ تَعَلَّمْتُ مَعَانِيَ الْحَدِيْثِ ثَلاَثِيْنَ سَنَةً
Wahai penuntut ilmu hadits! Pelajarilah makna hadits, sesungguhnya saya mempelajari makna hadits selama tiga puluh tahun.
2. Hendaknya kita lebih selektif dan kritis dalam menerima berita, sebagaimana yang diperintahkan Allah dalam kitabNya:
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti. (QS. Al-Hujurat: 6)
Syaikh Muhammad Rasyid Ridha berkata: “Sesungguhnya para ulama India dan Yaman telah sampai kepada mereka berita-berita tentang Syaikh Ibnu Abdil Wahhab, lalu mereka membahas, memeriksa dan meneliti sebagaimana perintah Allah, lantas jelaslah bagi mereka bahwa para pencelanya adalah pembohong yang tidak amanah”. (Muqaddimah Syiyanah Insan hal. 29-30)/
Maka kepada para pendengki dakwah ini, bersikap adilah kalian dan periksalah berita yang sampai kepada kalian, niscaya kalian akan segera sadar bahwa kalian dibuat buta dengan kedustaan dan tuduhan!
3. Seringkali kami menasehatkan kepada suadara-sauadara kami agar waspada dalam menyampaikan hadits lemah dan palsu, apalagi dusta yang tidak ada asal usulnya, ditambah lagi apabila hal itu untuk mendukung selera hawa nafsu. Semua itu adalah dosa yang sangat berbahaya, karena termasuk dusta atas Nabi.
Sebagaimana kami nasehatkan juga agar kita selektif dalam menyebutkan hadits, yaitu hendaknya disertai riwayatnya, jangan hanya sekedar menyebutkan “Al-Hadits” begitu saja.
Akhirnya kita memohon kepada Allah hidayah dan taufiq, sesungguhnya Dia Maha Pemurah.
0 komentar:
Posting Komentar