Minggu, 29 November 2009

Milikilah Sifat Malu

Oleh: Abu Abdillah al-Atsari

Malu itu semuanya baik. Demikianlah sabda Rasulullah yang terucap dari lisannya yang mulia. Kalimat yang ringkas mengandung butiran hikmah dan pelajaran yang sangat banyak. Sungguh benar apa yang beliau ucapkan, malu yang syar’i tiada lain kecuali akan membawa kebaikan, karena malu itu merupakan buah keimanan. Orang yang malu akan menahan dirinya dari berbuat maksiat kepada Alloh, dia malu jika Alloh melihat dan mengetahuinya. Akan tetapi sifat yang mulia ini sudah banyak di tinggalkan dan dilupakan oleh kebanyakan manusia, mereka terbuai dengan hawa nafsu, hingga tidak peduli lagi dengan aturan dien dan akhlak Islam. Semoga dengan bahasan kali ini, kita menyadari betapa berharganya sifat malu dan beruntunglah orang-orang yang memiliki sifat malu. Allohul Muwafiq.

Makna Dan Hakekat Malu
Imam Ibnu Daqiq al-I’ed berkata, “Asal malu adalah menahan diri. Maka menahan diri termasuk kelaziman sifat malu. Tatkala menahan diri adalah keharusan sifat malu, tentulah anjuran untuk selalu bersifat malu, anjuran pula untuk mencegah diri dari perkara yang tercela”. (Syarhul U’mdah, lihat Fathul Bari 10/640).
Berkata Raghib al-Asfahani, “Malu adalah menahan jiwa untuk mengerjakan sesuatu yang tercela, dan ini termasuk sifat istimewa yang dimiliki seorang insan. Menahan diri dari mengerjakan segala keinginan hawa nafsunya sehingga ia tidak menjadi seperti binatang”. (Fathul Bari 1/102).
al-Hafidz Ibnu Hajar menjelaskan, “Sebagian ulama mengatakan bahwa malu adalah menahan jiwa karena takut mengerjakan sesuatu yang tercela, hal ini bersifat umum baik dalam perkara syar’i, akal, maupun adat”. (Fathul Bari 1/102).
Imam Ibnul Qayyim mengatakan, “Al-Hayaa’ (Malu) merupakan pecahan dari kalimat Al-Hayaat (Hidup). Hal itu karena sesuai dengan hidupnya hati seseorang yang mendorong untuk berperangai dengan sifat malu. Sedikit rasa malu merupakan tanda matinya hati dan ruh. Maka acapkali hatinya hidup, rasa malunya akan lebih sempurna”. (Madarijus Salikin 2/270).
Imam Ibnu Muflih berkata, “Hakekat malu adalah perangai yang mendorong untuk mengerjakan kebaikan dan meninggalkan kejelekan”. (al-Adab as-Syar’iyyah 2/219).
Berkata Imam as-Shan’ani, “Malu adalah budi pekerti yang mendorong untuk meninggalkan perkara yang jelek dan menahan diri dari peremehan dalam menunaikan hak-hak yang patut diberikan”. (Subulus Salam 4/396).
Keutamaan Sifat Malu
1.Malu bagian keimanan
Berdasarkan hadits:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: مَرَّ النَّبِيُّ عَلىَ رَجُلٍ وَ هُوَ يُعَاتِبُ أَخَاهُ فِيْ الْحَيَاءِ, يَقُوْلُ: إِنَّكَ لَتَسْتَحْيِيْ-حَتىَّ كَأَنَّهُ يَقُوْلُ: قَدْ أَضَرَّ بِكَ- فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ: دَعْهُ فَإِنَّ الْحَيَاءَ مِنَ اْلإِيْمَانِ
Ibnu Umar berkata, “Rasulullah pernah lewat di depan seorang anshar yang sedang mencela saudaranya karena malu -seolah-olah ia mengatakan, “Malu itu menyusahkanmu!- melihat hal itu maka Rasulullah bersabda, “Biarkan dia, sesungguhnya malu itu termasuk keimanan”. (HR.Bukhari 24, Muslim 36).
Ibnu Quthaibah berkata, “Maknanya bahwa malu itu mencegah pelakunya dari mengerjakan maksiat, sebagaimana keimanan mencegah dari kemaksiatan”. (Fathul Bari 1/102, lihat pula an-Nihayah 1/470).
2. Malu semuanya baik
Malu yang syar’i tidaklah mendatangkan kecuali kebaikan, sebagaimana dalam sebuah hadits:
عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ: الْحَيَاءُ لاَ يَأْتِيْ إِلاَّ بِخَيْرٍ. وَ فِيْ رِوَايَةٍ لِمُسْلِمٍ: الْحَيَاءُ خَيْرٌ كُلُّهُ.
Dari Imran bin Husain bahwasanya Rasulullah bersabda, “Malu itu tidak datang kecuali membawa kebaikan”. dalam riwayat Imam Muslim Nabi bersabda, “Malu itu semuanya baik”. (HR.Bukhari 6117, Muslim 37).
3. Akhlak Islam
Tidak ragu lagi bahwa malu merupakan sifat yang mulia. Oleh karenanya syari’at Islam menganjurkan bagi seluruh hamba untuk berhias dengan sifat malu, bahkan sifat ini merupakan keistimewaan dienul Islam, berdasarkan hadits:
عَنْ أَنَسٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ: إِنَّ لِكُلِّ دِيْنٍ خُلُقًا, وَ خُلُقُ اْلإِسْلاَمِ الْحَيَاءُ
Dari Anas bahwasanya Rasulullah bersabda, “Setiap agama mempunyai budi pekerti. Dan budi pekertinya agama Islam adalah malu. (HR.Ibnu Majah 4181. Dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam as-Shahihah 940. Lihat pula Shahih Targhib 3/5).
4. Menghantarkan ke dalam surga
Tidak ada perbuatan baik kecuali pelakunya akan mendapat ganjaran yang setimpal. Sifat malu merupakan keimanan, dan keimanan akan membawa pemiliknya ke dalam surga. Rasulullah bersabda:
الْحَيَاءُ مِنَ اْلإِيْمَانِ وَ اْلإِيْمَانُ فِيْ الْجَنَّةِ, وَ اْلبَذَاءُ مِنَ الْجَفَاءِ وَ الْجَفَاءِ فِيْ النَّارِ
Malu itu termasuk keimanan, dan keimanan membawa ke dalam surga. Sedangkan perbuatan keji termasuk kejelekan dan kejelekan tempatnya di neraka. (HR.Tirmidzi 2009 dan ia berkata, “Hadits Hasan Shahih”. Ahmad 2/501, Hakim 1/52, Ibnu Hibban 1929. al-Albani berkata dalam Shahih Targhib (3/4), “Hasan Shahih”. Lihat pula as-Shahihah 495).
5. Menghiasi tidak mengotori
Tidaklah malu ada pada sesuatu perkara kecuali ia akan membagusi dan menghiasinya, sebagaimana hal ini tertuang dalan sebuah hadits:
عَنْ أَنَسٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ: مَا كَانَ اْلفُحْشُ فِيْ شَيْءٍ إِلاَّ شَانَهُ, وَ مَا كَانَ الْحَيَاءُ فِيْ شَيْءٍ إِلاَّ زَانَهُ
Dari Anas bahwasanya Rasulullah bersabda, “Tidaklah perbuatan keji pada sesuatu kecuali akan mengotori. Dan tidaklah sifat malu pada sesuatu kecuali akan menghiasinya. (HR.Tirmidzi 1974, Ibnu Majah 4185, Ahmad 3/165. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih al-Adab al-Mufrad no.469. Lihat al-Misykah no.4854, Shahih Targhib 3/6).
Hasan al-Bashri berkata, “Empat perkara barangsiapa ada padanya akan sempurna, dan barangsiapa yang mempunyai satu saja, maka ia termasuk orang shalih pada kaumnya; Agama sebagai petunjuknya, Akal yang meluruskannya, Mawas diri yang menjaganya, Malu yang menggiringnya”. (al-Adab as-Syar’iyyah 2/219).
6. Indikasi keimanan
Malu dan keimanan saling bertautan satu sama lain, apabila sifat malu hilang maka indikasi hilangnya keimanan sudah menjadi kemestian. Berdasarkan hadits:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ: الْحَيَاءُ وَ اْلإِيْمَانُ قُرَنَاءُ جَمِيْعًا, فَإِذَا رُفِعَ أَحَدُهُمَا رُفِعَ اْلآخَرُ
Dari Ibnu Umar bahwasanya Rasulullah bersabda, “Malu dan keimanan saling berdampingan semuanya. Apabila hilang salah satunya akan hilang yang lainnya”. (Shahih. Lihat Shahih Targhib 3/6).
Fudhail bin Iyadh mengatakan, “Ada lima perkara termasuk tenda-tanda kebinasaan; Keras hati, Mata yang beku, Sedikit rasa malu, Cinta dunia, Panjang angan-angan”. (Madarijuss Salikin 2/271).
7.Warisan para Nabi
Malu merupakan warisan para Nabi, tidak ketinggalan dalam hal ini Nabi kita yang Mulia Muhammad. Bahkan beliau mempunyai sifat malu lebih dari seorang gadis dalam pingitannya.
عَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ يَقُوْلُ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ أَشَدَّ حَيَاءً مِنَ اْلعَذْرَاءِ فِيْ خِدْرِهَا وَ كَانَ إِذَا كَرِهَ شَيْئًا عَرَفْنَاهُ فِيْ وَجْهِهِ
Abu Sa’id al-Khudri berkata, “Adalah Rasulullah lebih malu daripada seorang gadis yang berada di dalam kamar pingitannya”. (HR.Bukhari 3562, Muslim 2320).
8. Akhlak para malaikat
Malaikat juga berhias dengan sifat malu ini, Rasulullah mengatakannya ketika bercerita perihal sahabat mulia Utsman bin Affan, sabdanya:
أَلاَ أَسْتَحِيْ مِنْ رَجُلٍ تَسْتَحِيْ مِنْهُ الْمَلاَئِكَةُ
Tidakkah aku malu dari seseorang yang para malaikat malu kepadanya?. (HR.Muslim 2401, Ahmad 1/71. Lihat as-Shahihah 1687).
Macam-macam Malu
al-Hafizh Ibnu rajab al-Hanbali berkata, “Ketahuilah malu itu ada dua macam:
Yang pertama, Malu yang telah dimiliki sejak lahir, menjadi watak dan karakter seseorang, tanpa usaha dari dirinya. Ini adalah akhlak paling agung yang Alloh berikan kepada seorang hamba. Oleh karena itu Rasulullah mengatakan, “Malu itu tidaklah datang kecuali kebaikan”. Malu semacam ini dapat mencegah dari perbuatan jelek dan akhlak yang rendahan, mendorong berhias dengan akhlak mulia, dan ini semua termasuk buah dari keimanan.
Kami katakan, bahwa malu yang bersifat tabi’i (pembawaan) ini telah ditegaskan dalam sebuah hadits berikut ini:
عَنْ أَشَجَّ عَبْدِ اْلقَيْسِ قَالَ:قَالَ النَّبِيُّ: إِنَّ فِيْكَ لَخُلُقَيْنِ يُحِبُّهُمَا اللهُ قُلْتُ: وَ مَا هُمَا يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: الْحِلْمُ وَ الْحَيَاءُ, قُلْتُ: قَدِيْمًا كَانَ أَوْ حَدِيْثًا؟ قَالَ: قَدِيْمًا, قُلْتُ: الْحَمْدُ ِللهِ الَّذِيْ جَبَلَنِيْ عَلىَ خُلُقَيْنِ أَحَبَّهُمَا اللهُ.
Dari Asyajj Abdul Qais bahwasanya Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya pada dirimu ada dua perangai yang dicintai oleh Alloh. Tanyaku, “Apa dua perangai itu wahai Rasulullah?, Beliau menjawab, “Lemah lembut dan sifat malu”. Tanyaku lagi, “Apakah sifat itu sudah ada dari dahulu ataukah baru saja?” Jawab beliau, “Sifat itu sudah ada dari dahulu”. Aku berkata, “Segala puji bagi Alloh yang telah memberikan kepadaku dua perangai yang dicintaiNya”. (HR.Ahmad 4/206, Bukhari dalam al-Adab al-mufrad 584, Ibnu Sa’ad dalam Thabaqat 5/558. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih al-Adab al-Mufrad no.454).
Yang kedua, Malu yang diraih dengan usaha. Sifat ini diraih karena pengetahuannya terhadap Alloh, menyadari keagungan dan kedekatan Alloh kepada hamba-hambaNya, serta pengawasanNya kepada mereka, dan ilmuNya terhadap segala curian mata dan apa yang tersimpan dalam dada. Jenis ini termasuk buah keimanan yang paling tinggi bahkan derajat ihsan yang paling tinggi. Lanjutnya lagi, Apabila sifat malu yang tabi’i dan yang hasil usaha telah dicabut dari seorang hamba, maka tidak akan ada yang dapat menghalanginya dari perbuatan jelek dan akhlak rendahan, jadilah ia seolah-olah orang yang tidak ada imannya lagi”. (Jamiul U’lum wal Hikam 1/501).
Wanita Dan Sifat Malu
Islam sangat memperhatikan kaum wanita dan menempatkan mereka sesuai dengan kedudukannya. Apabila kaum hawa tidak membekali dan membentengi diri dengan ilmu syar’i, maka akan mudah terjebak dengan bujukan dan propaganda semu yang dihembuskan oleh musuh-musuh islam, akhirnya merekapun terjatuh dalam larangan Alloh. Diantara fenomena yang kita saksikan bersama, kaum hawa dewasa ini mulai menanggalkan dan luntur sifat malunya, mereka tidak malu-malu untuk bergaul bebas dengan kaum adam!, bahkan yang lebih mengenaskan banyak dari kaum hawa yang berani mengumbar aurat dihadapan umum!, lihatlah betapa banyak media yang ada, baik massa atau elektronik kecuali menampilkan wanita di dalamnya. Fainna Lillahi wa Inna Ilaih Raji’un!. Lantas bagaimanakah sebenarnya tatanan Islam mengenai sifat malu bagi wanita?. Cermatilah firman Alloh berikut ini:

Dan tatkala ia (Musa) sampai di sumber air negeri Madyan ia menjumpai disana sekumpulan orang yang sedang meminumkan ternaknya, dan ia menjumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambatnya. Musa berkata, “Apakah maksudmu dengan berbuat begitu?” kedua wanita itu menjawab, “Kami tidak dapat meminumkan ternak kami, sebelum pengembala-pengembala itu memulangkan ternaknya, sedang bapak kami adalah orang tua yang sudah lanjut umurnya. Maka Musa memberi minum ternak itu untuk menolong keduanya. (al-Qashash: 23-24).
Lihatlah bagaimana bagusnya sifat kedua wanita ini, mereka malu untuk berdesak-desakan dengan kaum lelaki untuk meminumkan ternaknya, lalu bagaimanakah dengan kaum wanita zaman sekarang??. Tidak cukup sampai disitu kebagusan akhlak kedua wanita tersebut, lihatlah bagaimana sifat mereka tatkala datang untuk memanggil musa, Alloh melanjutkan firmanNya,

Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan kemalu-maluan, ia barkata, “Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberi balasan terhadap kebaikanmu memberi minum ternak kami”. (al-Qashash:25).
Ayat yang mulia ini, menjelaskan bagaimana seharusnya kaum wanita untuk berakhlak dan bersifat malu, Alloh mensifati gadis wanita yang mulia ini dengan cara jalannya yang penuh dengan rasa malu dan terhormat.
Amirul Mu’minin Umar bin Khathab mengatakan, “Gadis itu datang menemui Musa dengan pakaian yang tertutup rapat”. (Tafsir Ibnu Katsir 3/360).
Demikian pula kalau kita tengok perjalanan para istri sahabat, mereka selalu berusaha berhias dengan sifat mulia ini. Asma binti Abu Bakar menuturkan, “Zubair menikahiku sedangkan waktu itu ia adalah orang yang tidak punya harta, budak, dan tidak punya apa-apa kecuali unta dan kudanya. Akulah yang memberi makan kudanya dan memberi minum pula. Demikian pula aku menambal perkakas rumah dan menumbuk tepung. Akupun membawa biji-bijian kurma diatas kepalaku dari tempat tanah suamiku yang diberikan oleh Rasulullah sampai ke rumah. Suatu hari ketika aku sedang membawa biji-bijian kurma aku bertemu dengan Rasulullah dan para sahabatnya dari kalangan anshar. Kemudian beliau memanggilku agar aku naik dibelakang kendaraannya. Akupun merasa malu untuk berjalan bersama para lelaki”. (HR.Bukhari 5224, Ahmad 6/347).
Maka wahai para wanita, sadarlah dari kelalain ini, kembalilah ke jalan Rabbmu, janganlah kalian tertipu dengan jebakan, bujukan dan propaganda kaum kafirin barat yang ingin mengeluarkan para wanita dari sifat keasliannya. Wallohul Musta’an
Malu Yang Tercela
Sebagian orang ada yang salah menempatkan sifat malu, mereka beralasan dengan sifat malu untuk meninggalkan belajar agama. Disisi lain ada yang malu bertanya kepada orang alim, karena takut malu dikatakan bodoh. Ada pula yang merasa malu apabila istiqamah dengan ajaran Islam. Ada yang malu karena garis nasab keturunannya yang tidak bagus, merasa malu kalau ada yang tahu bahwa dia berasal dari keturunan orang miskin, dan lain sebagainya dari sifat-sifat malu yang salah penempatan. Malu semacam ini, bukanlah malu yang syar’i, bahkan pelakunya tercela dengan sifat malu yang seperti itu.
Banyak sekali dalil-dalil yang menerangkan agar kita tidak salah dalam menempatkan sifat malu. diantaranya:

Dan Alloh tidak malu menerangkan yang benar. (al-Ahzab:53).
Berkata Qadhi Iyadh dan selainnya, “Malu yang membuahkan peremehan dari melaksanakan hak-hak yang wajib bukanlah malu yang syar’i, bahkan itu adalah kelemahan dan kerendahan. (Fathul Bari 10/642).
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di mengatakan, “Dan perintah syar’i apabila tergambarkan bahwa meninggakannya termasuk adab dan malu, maka yang wajib adalah mengikuti perintah syar’i tersebut, serta memastikan bagi yang menyelisihinya tidak punya adab sama sekali. Alloh tidak malu untuk memerintahkan kalian dengan perkara yang mengandung kebaikan”. (Taisir Karimir Rahman hal.617).
Dari Ummu Salamah menceritakan, “Ummu Sulaim datang kepada Rasulullah dan berkata, “Wahai Rasulullah sesungguhnya Alloh tidak malu dari kebenaran, Apakah wajib bagi wanita untuk mandi apabila ia bermimpi?” Nabi menjawab, “Ia jika ia melihat air Mani”. Ummu Salamah bertanya, “Apakah mungkin wanita itu bermimpi?”, Beliau menjawab, “Ya, celakalah engkau, lalu bagaimana anaknya bisa mirip dengan ibunya?”. (HR.Bukhari 130, Muslim 313).
Aisyah berkata, “Sebaik-baik wanita adalah wanita Anshar. Malu tidak menghalangi mereka untuk bertafaqquh dalam agama”. (HR.Bukhari 130).
Mujahid berkata, “Tidak akan memperoleh ilmu orang yang malu dan sombong”.(HR.Bukhari 130).
Bila Malu Telah Hilang
Imam Ibnul Qayyim mengatakan, “Termasuk akibat dari kemaksiatan adalah hilangnya rasa malu. Malu adalah asas kehidupan bagi hati, dan asas segala kebaikan, maka hilangnya rasa malu akan meyebabkan hilangnya seluruh kebaikan”. Rasulullah bersabda:
الْحَيَاءُ خَيْرٌ كُلُّهُ
Malu itu baik seluruhnya. (HR.Muslim 37). (ad-Daa’u wad Dawaa’ hal.110).
Sifat malu adalah perangai yang mendorong untuk mengerjakan perbuatan baik dan meninggalkan kejelekan. Maka apabila seorang manusia telah lalai dan tidak mau berusaha untuk berhias dengan sifat malu, maka janganlah bertanya dari akibat dan kejelekan yang akan menimpanya. Berikut ini kami kemukakan sebagian fenomena dari bentuk sedikit malu atau orang yang tidak punya malu.
1.Terang-terangan melakukan kemaksiatan
Betapa banyak perbuatan maksiat yang ada di depan pelupuk mata kita, para pelaku maksiat zaman sekarang, tidak lagi punya rasa malu jika dilihat oleh orang banyak, tragisnya lagi, mereka merasa bangga dengan perbuatan maksiatnya, dan akan merasa marah jika perbuatannya diingkari dengan dalih hak asasi manusia. Ketahuilah pembaca yang mulia, Alloh mengancam tidak akan memaafkan orang yang terang-terangan dan menceritakan perbuatan maksiatnya. Berdasarkan hadits:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ يَقُوْلُ: كُلُّ أُمَّتِيْ مَعَافَاةٌ إِلاَّ الْمُجَاهِرِيْنَ, وَ إِنَّ مِنَ اْلإِجْهَارِ أَنْ يَعْمَلَ اْلعَبْدُ بِاللَّيْلِ عَمَلاً, ثُمَّ يُصْبِحُ قَدْ سَتَرَهُ رَبُّهُ, فَيَقُوْلُ: يَا فُلاَنُ قَدْ عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَ كَذَا, وَ قَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ, فَيَبِيْتُ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ, وَ يُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللهِ عَنْهُ.
Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah bersabda, “Setiap ummatku dimaafkan kecuali orang-orang menampakkan kemaksiatannya. Termasuk menyebarkan dan menampakkan maksiat adalah seorang hamba berbuat sesuatu dosa di waktu malam, kemudian pagi harinya Alloh telah menutupi dosanya. Ia bercerita kepada orang lain, “Wahai fulan, tadi malam saya melakukan ini dan itu”, padahal malam itu Alloh telah menutupi dosanya. Kemudian esok paginya ia malah membuka dosa yang telah ditutupi Alloh”. (Bukhari 6069, Muslim 2990).
Imam Ibnu Bathol mengatakan, “Menampakan maksiat merendahkan hak Alloh, RasulNya dan orang-orang salih dari kalangan kaum muslimin. Apabila ia menutupi dosanya, maka dia selamat dari perendahan ini, karena kemaksiatan hanya merendahkan pelakunya. Barangsiapa yang memurnikan hak Alloh, maka dia akan menjadi orang yang mulia. Dan rahmatNya akan mendahului marahnya. Oleh karena itu, apabila Alloh menutupi dosanya di dunia, Alloh tidak akan menampakkannya di akherat kelak, sedangkan orang yang terang-terangan terhadap dosanya tidak mendapat semua itu”. (Fathul Bari 10/598).
al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, “Barangsiapa yang berniat menampakkan maksiatnya, maka Alloh akan murka kepadanya dan tidak akan menutupi dosanya, dan barangsiapa yang menutupi dosanya karena malu dari Rabbnya dan mansuia, maka Alloh akan mengaruniainya dengan menutupi dosanya”. (Fathul Bari 10/599).
Imam Ibnul Qayyim mengatakan, “Antara dosa dan sedikitnya rasa malu ada keterkaitan yang sangat erat, maka setiap dari keduanya akan menuntut yang lain. Barangsiapa yang malu kepada Alloh ketika berbuat maksiat, Allohpun akan malu untuk menyiksanya pada hari kiamat kelak. Dan barangsiapa yang tidak punya malu kepada Alloh ketika berbuat maksiat, maka Alloh tidak akan malu untuk menyiksanya kelak. (ad-Daa’u wad Dawa’ hal.111).
2.Meminta-minta
Syari’at Islam menganjurkan kepada kita untuk bekerja dan menjauhi meminta-minta kepada manusia. Bagaimanapun juga tangan yang diatas lebih baik dari tangan yang dibawah. Makanan yang kita dapat dari hasil jerih payah kerja dan tangan sendiri jauh lebih baik dari pada meminta-minta kepada manusia. Rasulullah bersabda,
مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْراً مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ, وَ إِنَّ نَبِيَ اللهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ كَانَ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ.
Tidaklah seseorang memakan makanan yang lebih baik daripada makanan dari hasil tangannya sendiri, dan adalah Nabiyullah Dawud makan dari hasil pekerjaannya sendiri. (HR.Bukhari 2076).
Namun syari’at yang mulia ini banyak dilalaikan dan dilupakan oleh sebagian manusia. Mereka tidak malu untuk berkeliling rumah manusia dan menampakan penampilan yang membuat orang iba demi mendapat harta dan apa yang mereka inginkan, ironisnya kalau kita lihat mereka masih mampu bekerja dan usaha, mereka sehat dan muda, tapi hawa nafsu yang meliputi diri mereka hingga sifat malu hilang dan semangat luntur, jadilah pribadi yang malas dalam mencari nafkah, hanya mengandalkan belas kasih orang lain. Ketahuilah meminta-minta asalnya diharamkan kecuali bagi orang-orang tertentu. Perhatikan hadits berikut ini:
Qabishah bin Mukhariq al-Hilali berkata, “Aku mendatangi Rasulullah untuk meminta sesuatu. Maka Rasulullah berkata kepadaku, “Tunggulah sampai ada harta zakat kemudian aku berikan kepadamu”. setelah itu Rasulullah bersabda, “Wahai Qabishah! meminta-minta itu tidak dihalalkan kecuali bagi tiga golongan; Seorang yang menanggung beban orang lain maka boleh ia meminta-minta sampai bisa melunasinya kemudian tidak meminta lagi. Orang yang ditimpa musibah yang menghabiskan hartanya boleh ia meminta-minta sampai bisa mendapati sandaran hidup. Seorang yang ditimpa kesengsaraan hidup, hingga tiga orang cerdik pandai dari kaumnya sampai mengatakan, “Benar si fulan telah ditimpa kesengsaraan hidup”, maka boleh meminta-minta sampai bisa mendapati sandaran hidupnya. Adapun selain itu dari meminta-minta wahai Qabishah adalah haram, orang yang memakannya berarti memakan harta yang haram”. (HR.Muslim 1044, Abu dawud 1640, Nasai 2581, darimi 1685, Ahmad 3/477).
3. Menunda bayar hutang sedangkan dia mampu
Sering kita dapati diantara sebagian manusia mendatangi orang-orang yang berkecukupan, lalu menyatakan kebutuhannya dan meminjam uang darinya. Ia berjanji akan mengembalikan dengan segera, akan tetapi kenyataannya dia mengingkari dan menunda-nunda dengan berbagai alasan. Orang yang semacam ini pun sifat malunya telah berkurang, seharusnya dia malu dengan yang meminjaminya hutang karena telah mengingkari janji. Orang yang menunda bayar hutang sementara dia mampu adalah haram, sebagaimana ditegaskan dalam sebuah hadits:
مَطْلُ اْلغَنِيِّ ظُلْمٌ
Menunda bayar hutang sedangkan dia mampu membayar adalah haram. (HR.Bukhari 2400. Muslim 1564). Sabda Rasulullah yang lain:
لَيُّ اْلوَاجِدِ يُحِلُّ عِرْضَهُ وَ عُقُوْبَتَهُ
Orang yang menunda bayar hutang sedangkan ia mampu membayar, hukumannya dikerasi dan dipenjara. (HR.Abu Dawud 3628, Nasai 4293, Ibnu Majah 2427, Ahmad 4/388, Hakim 4/102, Dihasankan oleh Al-Albani dalam Al-Irwa’ 1434).
Demikianlah akhir pembahasan kali ini, semoga tulisan ini ikhlas karena Alloh dan bermanfaat bagi kaum muslimin dimanapun berada. Amiin. Allohu ‘Alam.

0 komentar: