Minggu, 29 November 2009

Ikhlas

Oleh: Abu Abdillah Al-Atsari

Sesungguhnya termasuk pondasi yang agung dalam agama islam adalah merealisasikan ikhlas dalam segala aktivitas ibadah, serta waspada dari bahaya kotoran dan penyakit yang dapat mengotori dan menafikan keikhlasan. Perkara ikhlas boleh dikata merupakan perkara yang sudah maklum diketahui banyak orang, ambil misal ucapan mereka “Saya ikhlas Lillahi Ta’ala” merupakan bukti konkrit hal ini. Namun tidak dipungkiri pula, ucapan ikhlas yang dipahami kebanyakan orang hanyalah makna yang sempit tidak menyeluruh, bahkan umumnya mereka tidak mengetahui perkara ikhlas yang sebenarnya. Untuk lebih jelasnya mari kita cermati bersama pembahasan berikut ini.

A. DEFINISI IKHLAS
Ikhlas secara bahasa adalah masdar dari kata kerja أَخْلَصَ-يُخْلِصُ-ِإخْلاَصًا yang bermakna memurnikan, membersihkan dari segala kotoran.(Lihat Lisanul ‘Arab 7/26, Mu’jam Washith 1/249).
Adapun menurut istilah syar’I atau terminologi para ulama mendefinisikannya dengan ungkapan yang beragam, berikut sebagian perkataan mereka;
Berkata Imam Ibnul Qoyyim t/ : “ Ikhlas adalah memurnikan amalan dari segala kotoran, maksudnya tidaklah amalannya tercampuri dengan kotoran-kotoran kehendak jiwa, baik berupa keinginan dilihat manusia, mengharapkan pujian mereka, atau mencari pengagungan, harta, bantuan, kecintaan dan lain-lain dari kotoran dan penyakit. Inti semua itu adalah menghendaki tujuan kepada selain Alloh dalam amalannya apapun bentuknya. (Madarijuss Salikin 2/96).
Disana ada pula yang mengatakan bahwa ikhlas adalah membersihkan amalan dari perhatian manusia. Ada pula yang mendefinisikannya dengan memurnikan hak Alloh dalam tujuan dan niat ketika mengerjakan ketaatan.(Lihat Risalah Al-Ikhlas Wa Syirk Ashghor hal.80 oleh Syaikh Abdul Aziz Muhammad Alu Abdul Lathif).
B. URGENSI IKHLAS
Ikhlas merupakan hakekat agama islam, inti peribadatan seorang hamba, syarat diterimanya amal dan dakwahnya para rosul. Alloh k/ menegaskan hal ini dalam firmannya:

“Dan tidaklah mereka diperintah kecuali untuk beribadah kepada Alloh k/ dengan memurnikan ketaatan kepadaNya dalam menjalankan agama dengan lurus”.(QS.Al-Bayyinah: 5). Firman Alloh yang lain:

“Sesungguhnya kami menurunkan kepadamu kitab (Al-Qur’an) dengan membawa kebenaran. Maka sembahlah Alloh dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya”.(Az-Zumar: 2). Alloh k/ juga berfirman:

“Supaya dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya”.(QS.Al-Mulk 2).
Imam Fudhail bin Iyadh t/ tatkala menafsirkan ayat Siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya mengatakan: “Maksudnya ialah yang paling ikhlas dan paling benar”, kemudian ditanyakan kepadanya apa yang dimaksud paling ikhlas dan paling benar?, beliau menjawab: “Sesungguhnya amalan apabila ikhlas tapi tidak benar maka tidak di terima, demikian pula apabila benar tapi tidak ikhlas maka tidak di terima pula, sampai amalan tersebut ikhlas dan benar, dan orang yang ikhlas adalah yang beramal semata-mata karena Alloh sedangkan yang benar adalah orang yang mencontoh Nabi dalam beramal. Kemudian beliau membaca ayat yang artinya: Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Robbnya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shaleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Robbnya”. (Madarijuss Salikin 2/93).
Sufyan Atsaury t/ berkata: “Tidaklah aku mengobati sesuatu yang lebih sukar pada diriku dibandingkan mengobati niatku, sesungguhnya niat selalu berubah-ubah”.(Al-Ikhlas Wa Syirk Ashghor hal.9).
Sahl bin Abdillah t/ pernah ditanya: “Apa yang paling berat bagi jiwa? Beliau menjawab: Ikhlas! Karena ikhlas tidak ada patokannya”.(Madarijuss Salikin 2/95).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t/ berkata: “Apabila seorang hamba ikhlas semata-mata karena Alloh, Alloh akan memilih, menghidupkan hati, dan menyelamatkannya, hingga dia berpaling dari hal-hal yang dapat merusak keikhlasan, berupa kejelekan dan perbuatan yang keji. Berbeda dengan hati yang tidak ikhlas karena Alloh, sesungguhnya ia senantiasa berkeinginan, berkehendak dan kecintaan yang muthlak. Senang dengan sesuatu yang menyenangkan hati, menekuni apa yang dicintai, bagaikan ranting yang tertiup angin maka ia akan condong ke arahnya. Kadang kala menariknya gambar-gambar yang diharamkan dan yang tidak diharamkan, ia bagaikan seorang budak dan tawanan, andai ada orang yang mengambilnya untuk dijadikan budak dan pembantu maka sungguh ia budak yang cacat, hina dan kurang. Kadang pula menariknya kepemimpinan, dan kedudukan, sebuah kalimat membuatnya ridho dan benci. Orang yang memuji memperbudaknya sekalipun dengan kebatilan, ia memusuhi orang yang mencelanya sekalipun ia berada dalam kebenaran, kadang kala dinar dan dirham memperbudaknya pula atau perkara-perkara lain yang menjadikan hati bagaikan seorang budak, hati senang kepadanya, maka ia pun menjadikan hawa nafsunya sebagai ilah, mengikuti hawa nafsunya tanpa petunjuk dari Alloh”.(Majmu’ Fatawa 10/216).
C. RACUN PENYAKIT IKHLAS
Ketahuilah bahwasanya ikhlas dapat teracuni dan terkotori dengan berbagai kotoran, diantara kotoran dan penyakit yang bisa merusak ikhlas seorang hamba antara lain;
1.RIYA DAN SUM’AH
Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar t/ : “Riya dengan mengkasroh huruf Ro’ dan meringankan huruf Ya’ merupakan pecahan dari kalimat Ru’yah, maksudnya adalah memperlihatkan ibadah dengan tujuan agar dilihat manusia hingga mereka memujinya. Sedangkan sum’ah dengan mendhommah huruf Sin dan mensukun Mim pecahan dari kalimat sam’I, maksudnya sama seperti riya hanya saja sum’ah berkaitan dengan pendengaran, riya berkaitan dengan penglihatan.(Fathul Bari 11/336).
Ketahuilah wahai para hamba yang beriman, tidak ada yang paling dikhawatirkan oleh Rasululloh n/ menimpa umatnya kecuali penyakit riya, beliau n/ bersabda:
إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ الشِّرْكُ اْلأَصْغَرُ, قَالُوْا وَماَ اْلشِّرْكُ اْلأَصْغَرُ؟ قَالَ: الرِّيَاءُ
“Sesungguhnya yang aku khawatirkan kepada kalian adalah syirik kecil, para shahabat bertanya: Apa yang dimaksud dengan syirik kecil? Rasululloh menjawab: Dia adalah riya”.(HR. Ahmad 5/428, Baihaqi 6831, Baghowi dalam Syarhuss Sunnah 4/201, dishohihkan oleh Al-Albani dalam As-Shohihah 951, Shohih Targhib 1/120).
Riya membatalkan ibadah seorang hamba, tidaklah bernilai ibadah seseorang jika riya hadir dalam ibadahnya, Alloh k/ menegaskan hal ini dalam firmannya:

“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Robbnya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shaleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Robbnya”.(Al-Kahfi:110).
Berkata Imam Ibnul Qoyyim t/ : “Sebagaimana Alloh itu Ilah yang satu tidak ada Ilah selainnya, maka demikian pula selayaknya ibadah ditujukan hanya kepada-Nya saja, Alloh satu dalam Uluhiyyah dan Ubudiyyah. Maka amalan yang sholeh adalah yang terbebas dari riya yang diikat dengan sunnah”.(Ad-Daa’ Wa Dawa’ hal.202-Tahqiq Syaikh Ali Hasan).
Rasululloh n/ bersabda:
أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ اْلشِّرْكِ, مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ مَعِيْ فِيْهِ غَيْرِي ْتَرَكْتُهُ وَ شِرْكَهُ.
Alloh berkata: “Aku paling kaya tidak butuh tandingan dan sekutu, barangsiapa beramal menyekutukanku kepada yang lain, maka aku tinggalkan amalannya dan tandingannya”(HR.Muslim 2985).
Imam Ibnu Rojab Al-Hanbali t/ berkata: “Ketahuilah bahwasanya amalan yang ditujukan kepada selain Alloh f/ bermacam-macam, adakalanya murni dengan riya, tidaklah yang ia niatkan kecuali mencari perhatian orang demi meraih tujuan-tujuan duniawi, sebagaimana halnya orang-orang munafiq didalam shalat mereka. Alloh f/ berfirman: “Dan apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya di hadapan manusia”.(An-Nisa:142). Lanjutnya lagi: “Sesungguhnya ikhlas dalam ibadah sangat mulia, amalan yang murni dengan riya, tidak diragukan lagi bagi seorang muslim bahwa amalannya sia-sia belaka, tidak bernilai dan pelakunya berhak mendapat murka dan balasan dari Alloh f/ . Adakalanya pula amalan itu ditujukan kepada Alloh f/ akan tetapi terkotori dengan riya, jika terkotori dari asal niatnya maka dalil-dalil yang shohih menunjukkan batalnya amalan tersebut”.(Taisir Aziz Hamid Hal.467).
Perhatian: “Disana ada perkara yang sangat halus dalam masalah riya, yaitu kadangkala seseorang merendahkan diri dan mencela dirinya sendiri dihadapan orang banyak, dengan harapan agar manusia menilainya sebagai orang yang rendah diri, maka terangkatlah pamornya dihadapan manusia, yang kemudian mereka memujinya. Perkara semacam ini termasuk pintu-pintu riya yang sangat halus”.(Al-Ikhlas Wa Syirk Ashgor Hal.13 ).
2.U’JUB(BANGGA DIRI)
U’jub termasuk pula kotoran yang dapat merusak amalan seorang hamba, menafikan keikhlasan dan membatalkannya, mendatangkan kerendahan disisi Alloh, menjauhkan seseorang dari mengintropeksi diri, membutakan matahati hingga lupa terhadap aib dan kekurangan sendiri.
Berkata Abdulloh Ibnul Mubarak t/ : “U’jub adalah engkau merasa pada dirimu ada sesuatu yang tidak dimiliki oleh orang lain”.(Siyar ‘Alam Nubala’ 8/407).
Berkata Imam Qorrofi t/ : “U’jub adalah engkau memperlihatkan ibadah dan membanggakannya dihadapan orang lain”.(Ma’alim Fi Suluk hal.94).
Rasululloh n/ bersabda tentang bahayanya u’jub:
ثَلاَثٌ مُهْلِكَاتٌ: شُحٌّ مُطَاعٌ, وَ هَوًى مُتَّبَعٌ, وَ إِعْجَابُ اْلمَرْءِ بِنَفْسِهِ
“Ada tiga perkara yang membinasakan; Kebakhilan yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti dan bangganya seorang hamba terhadap dirinya sendiri”.(HR.Thobroni dalam Al-Aushat 5584, Baihaqi dalam Syu’ab Iman 2/382, Dihasankan oleh Al-Albani dalam As-Shohihah: 1802).
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t/ : “Riya termasuk syirik terhadap makhluk, sedangkan u’jub termasuk syirik terhadap diri sendiri dan inilah keadaan orang yang sombong. Maka orang yang riya dia tidak merealisasikan ayat Alloh Hanya kepada-Mu aku beribadah, sedangkan orang yang u’jub tidak merealisasikan ayat Alloh Hanya kepada-Mu kami meminta tolong. Maka barangsiapa yang merealisasikan ayat Hanya kepada-Mu kami beribadah ia akan keluar dan selamat dari riya, dan orang yang merealisasikan ayat Hanya kepada-Mu kami meminta tolong ia akan keluar dan selamat dari u’jub”.(Majmu’ Fatawa 10/277).
D. KIAT MERAIH IKHLAS
Sebagaimana uraian diatas bahwa ikhlas dapat terkotori berbagai macam penyakit, semacam riya, ujub dan sum’ah, dan Alloh k/ tidak menurunkan penyakit kecuali menurunkan pula obatnya, maka kiat meraih keikhlasan adalah dengan menjauhi penyakit-penyakit diatas dengan mempelajari terapi penyembuhannya. Terapi penyembuhan dari penyakit diatas antara lain sebagai berikut:
1.Menyadari ni’mat Alloh
Selayaknya bagi seorang hamba untuk menyadari bahwa nikmat, keutamaan yang ia terima hanya dari Alloh semata bukan usahanya sendiri, dan amalan yang ia kerjakan terwujud karena kehendak dari Alloh f/ bukan atas kehendak dirinya sendiri. Alloh k/ berfirman:

“Dan apa saja ni’mat yang ada pada kamu, maka dari Alloh lah datangnya”.(An-Nahl:53). Ahmad bin Qudamah t/ berkata: “Ketahuilah, bahwasanya Alloh telah memberi ni’mat, berbuat baik dan membagusi amalanmu, maka tidaklah layak bagi seseorang untuk bangga terhadap amalannya, tidak pula orang yang alim terhadap ilmunya, karena semua itu keutamaan dari Alloh semata”. (Mukhtashor Minhaj Qoshidin Hal.257). 2.Intropeksi diri Intropeksi diri sendiri dengan melihat kekurangan, aib yang ada pada dirinya, akan membawa seorang mukmin pada sikap rendah diri dan tidak sombong, tidak ada seorangpun yang pantas sombong dihadapan Alloh k/ , karena Dialah dzat yang maha kuasa. Ahmad bin A’shim t/ berkata: “Kejujuran yang bermanfaat adalah dengan mengakui aib, kekurangan dirinya dihadapan Alloh, serta menutup pintu u’jub dengan mengenali dirinya sendiri”.(Ma’alim Fi Suluk hal.101). 3.Memperbanyak ibadah dan menyembunyikannya dari penglihatan manusia Adalah para Salafuss Shaleh mereka sering merahasiakan ibadah mereka karena khawatir riya dan sum’ah. Berkata Shahabat yang mulia Zubair bin A’wwam z/ : “Barangsiapa diantara kalian yang mampu merahasiakan amalannya yang shaleh, maka hendaklah ia mengerjakannya”.(Ma’alim Fiss Suluk Hal.88). 4.Mengetahui bahaya riya Riya tidaklah mengantarkan pelakunya kecuali penyesalan dan kerugian. Rasululloh n/ bersabda: مَنْ سَمَّعَ سَمَّعَ اللهُ بِهِ وَ مَنْ يُرَاءِ يُرَاءِ اللهُ بِهِ “Barangsiapa yang memperdengarkan suatu amalan(sum’ah), maka Alloh f/ akan menyebarkan aibnya, dan barangsiapa yang memperlihatkan suatu amalan(riya), maka Alloh f/ akan perlihatkan aibnya”.(HR.Bukhori 6499, Muslim 2986). Semoga Alloh f/ merahmati Shahabat yang mulia Umar bin Khoththob z/ tatkala berkata: “Barangsiapa yang niatnya ikhlas didalam kebenaran, maka Alloh akan cukupkan diantara manusia, dan barangsiapa yang berhias dengan apa yang tidak ia miliki, maka Alloh akan jelekkan”.(Al-Ikhlas Wa Syirk Ashgor Hal.16). 5.Berlindung dari syirik Sudah seharusnya bagi seorang muslim yang menghendaki amalannya di terima disisi Alloh, untuk senantiasa memohon pertolongan kepada-Nya agar di mudahkan ikhlas dalam segenap aktivitas ibadah, serta terlindung dari kesyirikan walaupun sedikit, Rasululloh n/ telah memberikan bimbingan kepada umatnya agar mereka berlindung dari kesyirikan, sebagaimana sabdanya: أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا هَذاَ اْلشِّرْكَ فَإِنَّهُ أَخْفَى مِنْ دَبِيْبِ اْلنَّمْلِ فَقَالَ لَهُ: مَنْ شَاءَ أَنْ يَقُوْلَ وَ كَيْفَ نَتَّقِيْهِ وَ هُوَ أَخْفَى مِنْ دَبِيْبِ اْلنَّمْلِ؟ قَالَ: قُوْلُوْا إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ أَنْ نُشْرِكَ بِكَ شَيْئًا نَعْلَمُهُ وَ نَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لاَ نَعْلَمُ. “Wahai sekalian manusia waspadalah kalian dari syirik, karena ia lebih samar dari seekor semut, kemudian para shahabat bertanya: “Bagaimana kami bisa menjaga diri sedangkan ia lebih samar dari seekor semut? Rasululloh n/ menjawab: “Berdo’alah kalian dengan do’a; “Ya Alloh, kami berlindung kepadamu dari menyekutukanmu sedangkan kami mengetahui, dan kami memohon ampun kepadamu dari apa yang tidak kami ketahui”.(HR.Ahmad 4/403, Thobroni dalam Al-Aushat 4940, Lihat Shohih targhib 1/122, Shahih jami’ 3/233). Demikian pembahasan kali ini, kita memohon kepada Alloh k/ agar menjadi hamba-hamba yang ikhlas dalam beribadah kepada-Nya, mengkuti sunnahnya dan diberi keistiqomahan dalam menapakinya. Amiin. Wallohu ‘Alam.

0 komentar: