Sabtu, 28 November 2009

Orang Mati Bisa Mendengar?

Sekilas, mungkin timbul tanda tanya: Apa pentingnya masalah ini untuk dibahas?! Apa kaitannya dengan agama?! Kami katakan: Hubungan masalah ini dengan agama sangatlah erat sekali. Bagaimana tidak? Dia berhubungan dengan masalah tauhid dan kemurnian ibadah untuk Allah semata.
Sebab, suatu hal yang dimaklumi bersama bahwa diantara faktor utama terjatuhnya mayoritas manusia pada zaman sekarang ke kubang kesyirikan adalah keyakinan mereka bahwa orang mati bisa mendengar, sehingga dengan keyakinan tersebut mereka menyerahkan bentuk peribadatan dan doa kepada para wali dan orang-orang shalih.
Ironisnya, pelakunya bukan hanya dari kalangan awam saja, tetapi juga orang-orang yang dianggap berilmu, bahkan mungkin dianggap ulama besar!! Dengan berbagai cara, baik lewat tulisan dan ucapan, mereka membolehkannya.
Lebih ironis lagi, cueknya harokah-harokah Islam dari fenomena pahit ini dengan alasan bahwa "Menyoal masalah ini hanyalah akan menyebabkan perpecahan dan perselisihan di tengah-tengah masyarakat!!" padahal mereka mengetahui bahwa dakwah seluruh para Nabi adalah mengajak umat agar mengesakan Allah dalam ibadah dan meninggalkan segala bentuk kesyirikan kepadaNya.
Saudaraku, ketahuilah bahwa masalah orang mati bisa mendengar ataukah tidak merupakan masalah ghoib tentang alam barzakh yang tidak diketahui kecuali oleh Allah. Maka tidak boleh kita berkecimpung dan berdebat mengenainya hanya berdasar pada akal dan pendapat, namun harus dibangun di atas dalil yang valid. Inilah yang kita berusaha untuk mengungkapnya dalam tulisan ini. Kita berdoa kepada Allah agar menjadikan kita termasuk orang-orang yang memasang pendengaran, penglihatan dan hati kita untuk mengikuti dalil. Amiin.

TEKS DAN TAKHRIJ HADITS
Ketahuilah wahai saudaraku -semoga Allah merahmatimu- bahwa dalil-dali tentang pembahasan ini cukup banyak, demikian juga hadits-hadits yang berkaitan tentangnya juga cukup banyak, tetapi kami hanya mencukupkan pada satu hadits yang menjadi ajang perdebatan ilmiyah. Perlu diketahui juga bahwa hadits ini memiliki banyak riwayat, namun kami hanya menukil tiga riwayat saja sebagai berikut :

1. Riwayat Ibnu Umar
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: وَقَفَ النَّبِيُّ عَلَى قَلِيْبِ بَدْرٍ, فَقَالَ ( هَلْ وَجَدْتُمْ مَا وَعَدَ رَبُّكُمْ حَقًّا؟ ثُمَّ قَالَ : إِنَّهُمْ الآنَ يَسْمَعُوْنَ مَا أَقُوْلُ . فَذُكِرَ لِعَائِشَةَ, فَقَالَتْ : إِنَّمَا قَالَ النَّبِيَّ : إِنَّهُمْ الآنَ لَيَعْلَمُوْنَ أَنَّ الَّذِيْ كُنْتُ أَقُوْلُ لَهُمْ هُوَ الْحَقُّ. ثُمَّ قَرَأَتْ { إِنَّكَ لاَ تُسْمِعُ الْمَوْتَى } حَتَّى قَرَأَتِ الأَيَةَ
Dari Ibnu Umar berkata: Nabi berdiri di sumur Badar, seraya bersabda: Apakah kalian mendapati kebenaran janji Robb kalian? Kemudian beliau bersabda: Sesungguhnya mereka sekarang mendengar apa yang saya ucapkan. Tatkala khabar ini sampai kepada Aisyah, beliau mengatakan: Sesungguhnya yang dikatakan oleh Nabi adalah: "Sesungguhnya mereka sekarang mengetahui bahwa apa yang saya ucapkan pada mereka adalah benar". Kemudian dia membacakan ayat: "Sesungguhnya engkau tidak dapat membuat orang mati bisa mendengar". (HR. Bukhari 1370, Muslim 2873)

2. Riwayat Abu Tholhah
عَنْ أَبِيْ طَلْحَةَ أَنَّ نَبِيَّ اللهِ أَمَرَ يَوْمَ بَدْرٍ بِأَرْبَعَةٍ وَعِشْرِيْنَ رَجُلاً مِنْ صَنَادِيْدِ قُرَيْشٍ, فَقُذِفُوْا فِيْ طَوِيٍّ مِنْ أَطْوَاءِ بَدْرٍ خَبِيْثِ مُخْبِثٍ, وَكَانَ إِذَا ظَهَرَ عَلَى قَوْمٍ أَقَامَ بِالْعَرْصَةِ ثَلاَثَ لَيَالٍ, فَلَمَّا كَانَ بِبَدْرٍ الْيَوْمَ الثَّالِثَ, أَمَرَ بِرَاحِلَتِهِ فَشُدَّ عَلَيْهَا رَحْلُهَا, ثُمَّ مَشَى وَاتَّبَعَهُ أَصْحَابُهُ, وَقَالُوْا : مَا نَرَى يَنْطَلِقُ إِلاَّ لِبَعْضِ حَاجَتِهِ, حَتَّى قَامَ عَلَى شَفَةِ الرَّكِيِّ, فَجَعَلَ يُنَادِيْهِمْ بِأَسْمَاءِ آبَائِهِمْ : يَا فُلاَنُ بْنُ فُلاَنٍ وَيَا فُلاَنُ بْنُ فُلاَنٍ, أَيَسُرُّكُمْ أَنَّكُمْ أَطَعْتُمُ اللهَ وَرَسُوْلَهُ؟ فَإِنَّا قَدْ وَجَدْنَا مَا وَعَدَنَا رَبُّنَا حَقًّا, فَهَلْ وَجَدْتُمْ مَا وَعَدَ رَبُّكُمْ حَقًّا. قَالَ عُمَرُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا تُكَلِّمُ مِنْ أَجْسَادٍ لاَ أَرْوَاحَ لَهَا؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ : وَالَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ, مَا أَنْتُمْ بِأَسْمَعَ لِمَا أَقُوْلُ مِنْهُمْ. قَالَ قَتَادَةُ : أَحْيَاهُمْ اللهُ حَتَّى أَسْمَعَهُمْ قَوْلَهُ تَوْبِيْخًا وَتَصْغِيْرًا وَنِقْمَةً وَحَسْرَةً وَنَدَمًا
Dari Abu Tholhah bahwasanya Nabiyullah pada perang Badar memerintahkan untuk membuang dua puluh empat mayat gembong-gembong Quraisy di salah satu sumur Badr yang sangat kotor. Nabi apabila menang dalam perang, beliau singgah dulu di tempat selama tiga malam. Tatkala pada perang Badar hari ketiga, beliau memrintahkan untuk disiapkan kendaraannya, maka diikatkan kendararannya kemudian beliau berjalan dan diikuti oleh para sahabatnya, mereka mengatakan: kami mengira Nabi tidak pergi kecuali untuk suatu kebutuhannya, sehingga Nabi berdiri di mulut sumur tersebut dan memanggil nama mereka dan nama bapak-bapak mereka: Wahai fulan bin fulan, wahai fulan bin fulan, tidakkah kalian senang bila kalian taat kepada Allah dan rasulNya?Sesungguhnya kami telah mendapati kebenaran janji Robb kami, apakah kalian mendapati kebenaran janji Robb kalian?! Umar berkata: Wahai Rasulullah, apakah engkau berbicara dengan jasad yang tidak lagi memiliki nyawa? Rasulullah bersabda: Demi Dzat Yang jiwaku berada di tanganNya, tidaklah kalian lebih tajam pendengarannya terhadap ucapan saya daripada mereka. Qotadah berkata: Allah menghidupkan mereka sehingga memperdengarkan ucapan Nabi, sebagai kehinaan, kerendahan, kemurkaan, penyesalan, dan kesedihan. (HR. Bukhari 3757, Muslim 2874)

3. Riwayat Anas bin Malik
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ تَرَكَ قَتْلَى بَدْرٍ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ حَتَّى جَيَّفُوْا, ثُمَّ أَتَاهُمْ فَقَامَ عَلَيْهِمْ, فَقَالَ : يَا أُمَيَّةَ بْنَ خَلَفٍ, يَا أَبَا جَهْلِ بْنَ هِشَامٍ, يَا عُتْبَةَ بْنَ رَبِيْعَةَ, يَا شَيْبَةَ بْنَ رَبِيْعَةَ, هَلْ وَجَدْتُمْ مَا وَعَدَكُمْ رَبُّكُمْ حَقًّا؟ فَإِنِّيْ قَدْ وَجَدْتُ مَا وَعَدَنِيْ رَبِّي حَقًّا, قَالَ : فَسَمِعَ عُمَرُ صَوْتَهُ, فَقَالَ : يَا رَسُوْلَ اللهِ, أَتُنَادِيْهِمْ بَعْدَ ثَلاَثٍ, وَهَلْ يَسْمَعُوْنَ؟ يَقُوْلُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ { إِنَّكَ لاَ تُسْمِعُ الْمَوْتَى } فَقَالَ : وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ, مَا أَنْتُمْ بِأَسْمَعَ مِنْهُمْ, وَلَكِنَّهُمْ لاَ يَسْتَطِيْعُوْنَ أَنْ يُجِيْبُوْا
Dari Anas bahwasanya Rasulullah membiarkan korban mayat perang Badar selama tiga hari hingga mereka menjadi bangkai, kemudian beliau mendatangi mereka seraya mengatakan: Wahai Umayyah bin Kholaf, wahai Abu Jahal bin Hisyam, wahai 'Utbah bin Rabi'ah, wahai Syaibah bin Rabi'ah, apakah kalian mendapati kebenaran janji Robb kalian? Sesungguhnya saya menjumpai kebenaran janji Robbku. Tatkala Umar mendengar ucapan beliau, maka dia berkata: Wahai Rasulullah, apakah engkau memanggil mereka setelah tiga hari, apakah mereka bisa mendengar, padahal Allah berfirman: "Maka sesungguhnya kamu tidak akan sanggup menjadikan orang-orang yang mati itu mendengar". Nabi bersabda: Demi Dzat Yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah kalian lebih mendengar daripada mereka , tetapi mereka tidak bisa menjawab.
SHOHIH. Diriwayatkan Imam Ahmad dalam Musnadnya 3/287. Syaikh al-Albani berkata: "Sanadnya shohih menurut syarat Muslim". (Muqaddimah Ayat Bayyinat hal. 50)

HEMBUSAN SYUBHAT DAN JAWABANNYA
Hadits ini dimentahkan oleh sebagian kalangan dengan alasan bahwa Aisyah menolaknya dan bertentangan dengan ayat Al-Qur'an yang menerangkan bahwa orang mati tidak bisa mendengar. Parahnya, ketika mereka menjadikan kritikan Aisyah dalam hadits tersebut sebagai bahan untuk kaidah yang mereka rumuskan dalam menolak hadits Nabi dengan alasan bertentangan dengan Al-Qur'an (!).

Jawaban :
Ketahuilah wahai saudaraku -semoga Allah selalu merahmatimu- bahwa hadits ini adalah SHOHIH dengan tiada keraguan di dalamnya dan tiada kecacatan padanya -segala puji bagi Allah. Lebih jelasnya, untuk membantah hembusan syubhat ini, marilah kita perhatikan bersama beberapa point berikut:

1. Kesalahan Ummul Mukminin Aisyah Dari Segi Ralatnya Kepada Rawi, Bukan Dari Segi Berdalilnya Dengan Ayat
Bagaimana tidak, lha whong Amirul mukminin Umar juga mengemukakan dalil yang sama seperti yang diutarakan Ummul mukminin Aisyah, sebagaimana dalam hadits Anas di atas, dimana beliau berkata: "Ya Rasulullah, apakah engkau memanggil mereka setelah tiga hari, apakah mereka mendengar, padahal Allah berfirman:
فَإِنَّكَ لاَتُسْمِعُ الْمَوْتَى
Maka sesungguhnya kamu tidak akan sanggup menjadikan orang-orang yang mati itu mendengar. (QS. Ar-Ruum: 52)
Dalam riwayat ini, Umar secara tegas menjelaskan bahwa ayat tersebut merupakan pedoman utamanya dalam bertanya kepada Nabi, dimana dia memahami bahwa orang-orang kafir Quraisy tersebut masuk dalam keumuman ayat di atas.
Oleh karena itu, dia merasa adanya kerumitan yang harus ditanyakan kepada Nabi, kemudian beliau menjawab: "Tidaklah kalian lebih mendengar daripada mereka, tetapi mereka tidak mampu untuk menjawabnya".
Dari sini, jelaslah bahwa Nabi menyetujui pemahaman para sahabat bahwa ayat tersebut memang bersifat umum, karena beliau tidak mengingkari dan menyalahkan mereka. Hanya saja, beliau menjelaskan apa yang tidak mereka ketahui tentang orang-orang kafir tersebut, yaitu mereka mendengar ucapan Nabi dan hal itu adalah pengkhususan untuk mereka dari keumuman ayat di atas.
Demikianlah juga, segi pendalilan Aisyah sama persis dengan pendalilan Umar. Maka tidaklah salah pemahaman Aisyah, tetapi yang salah adalah ketika dia menyalahkan hadits Ibnu Umar. Hal itu karena Aisyah tidak mengetahui kisah kejadian secara hakekatnya. Seandainya dia mengetahuinya, tentu sikap beliau akan sama seperti para sahabat lainnya, yaitu berserah diri terhadap khabar yang diberitakan oleh Rasulullah dan menjadikan kejadian tersebut pengecualian dari keumuman ayat di atas.

2. Ibnu Umar Tidak Sendirian, Tetapi Dikuatkan Oleh Sejumlah Para Sahabat
Beliau dikuatkan oleh Abu Tholhah dan Anas sebagaimana penjelasan di atas. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: "Umar dan anaknya tidaklah sendirian dalam cerita tersebut, bahkan keduanya dikuatkan oleh Abu Tholhah sebagaimana telah lalu, dan Ibnu Mas'ud sebagaimana dalam riwayat ath-Thobarani dengan sanad yang shohih, dan Abdullah bin Saidan.
Anehnya, dalam kitab al-Maghozi oleh Ibnu Ishaq riwayat Yunus bin Bukair dengan sanad yang bagus dari Aisyah seperti hadits Abu Tholhah dan dikeluarkan oleh Ahmad dengan sanad hasan. Kalau memang riwayat ini shahih, maka seakan-akan Aisyah telah kembali dari pengingkarannya dulu tatkala dia mendapatkan informasi dari para sahabat tersebut, karena memang dia tidak mengikuti kisah kejadiannya".
As-Suhaili berkata: "Aisyah tidak menghadiri kejadian, sedangkan para sahabat lainnya menghadiri, tentunya mereka lebih hafal lafadz Nabi".
Kami yakin, kalau seandainya saja Aisyah menghadiri kejadian tersebut dan mendengarkan dialog antara Umar dan Nabi, niscaya beliau akan meralat kerumitannya atau memang beliau telah kembali dari pengingkarannya sebagaimana disebutkan al-Hafizh Ibnu Hajar di atas. Wallahu A'lam.

3. Kejadian Tersebut Merupakan Mu'jizat Bagi Nabi
Hal ini sebagaimana disebutkan oleh para ulama. Oleh karenanya, Qotadah mengatakan setelah meriwayatkan hadits ini: "Sesungguhnya Allah menghidupkan mereka sehingga menjadikan mereka bisa mendengar sebagai penghinaan dan celaan bagi mereka". Ucapan ini merupakan pembelaan beliau terhadap hadits ini, dimana Allah melakukan apa yang Dia kehendaki tanpa ada yang dapat menghalangi. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: "Maksud Qotadah adalah membantah orang-orang yang mengingkari bahwa penduduk sumur tersebut bisa mendengar, sebagaimana diriwayatkan dari Aisyah".
Ibnu Athiyyah berkata: "Kisah Badr tersebut merupakan mu'jizat bagi Muhammad, dimana Allah mengembalikan pendengaran mereka sehingga dapat mendengar ucapan Nabi. Seandainya bukan karena khabar dari Rasulullah bahwasanya mereka mendengar ucapan beliau, niscaya kita akan mengartikan panggilan Nabi kepada mereka tersebut kepada makna celaan kepada orang-orang kafir yang masih tersisa dan makna hiburan bagi orang-orang yang beriman".
As-Suhaili berkata: "Dalam kejadian ini terdapat mu'jizat bagi Nabi, diambil dari ucapan para sahabat: "Apakah engkau mengajak bicara orang yang sudah menjadi bangkai? Lalu Nabi menjawab komentar mereka tersebut".
Al-Alusi berkata: "Dalam hadits ini terdapat faedah berharga bahwa asal orang yang telah meninggal adalah tidak mendengar, tetapi penduduk sumur tersebut pada saat itu bisa mendengar panggilan Nabi karena Allah yang menjadikan mereka bisa mendengar sebagai mu'jizat bagi Nabi".
Al-Hafizh as-Suyuthi mencantumkan kejadian ini dalam kitabnya "Al-Khoshois Al-Kubro fi Dzikril Mu'jizat Al-Waqi'ah fil Ghozawat" 1/199 bab mu'jizat-mujizat yang terjadi pada perang Badar.
Al-Khothib at-Tibrizi juga mencantumkan dalam kitabnya "Misykatul Mashobih" 3/1670-1671 pada bab Mu'jizat.

4. Mengkompromikan Dalil
Abu Ja'far ath-Thobari berkata: "Pendapat yang benar bahwa kedua riwayat yang disebut dari Rasulullah adalah sama-sama shohih, dinukil oleh para perawi yang adil, maka sewajibnya bagi orang yang mendengar hadits yang shohih adalah beriman dan meyakini bahwa Allah bisa menjadikan orang mati bisa mendegar sesuai dengan kehendakNya, Dia memberi nikmat orang yang Dia kehendaki dan menyiksa orang kafir sesuai dengan kehendakNya sebagaimana telah shohih dalam hadits-hadits dari Rasulullah".
Riwayat Aisyah bahwa Nabi bersabda: "Sesungguhnya mereka mengetahui sekarang" tidaklah bertentangan dengan riwayat Ibnu Umar: "Sesungguhnya mereka sekarang mendengar", sebab kalau mayit bisa mengetahui berarti bisa juga mendengar, karena kematian meniadakan pengetahuan sebagaimana meniadakan pendengaran dan penglihatan juga. Seandainya mencegah dari sebagian, niscaya akan mencegah dari semuanya juga .
Alangkah bagusnya ucapan al-Ismaili: "Aisyah memiiki ketajaman pemahaman, kecerdasan, riwayat hadits yang banyak, ilmua yang luas dan mendalam, tetapi sekalipun demikian kita tidak bisa menolak riwayat terpercaya kecuali dengan nash serupa yang menunjukkan bahwa hadits tersebut terhapus, dikhususkan atau mustahil. Apalagi riwayat pengingkaranya bisa digabungkan dengan riwayat yang menetapkan, sebab firman Allah: "Sesungguhnya engkau tidak bisa menjadikan orang mati mendengar" tidaklah bertentangan dengan sabda Nabi: "Sesungguhnya mereka sekarang mendengar" karena Allahl-ah yang memperdengarkan suara Nabi kepada mereka".
Maka ayat ini tidak bisa dijadikan pegangan untuk menolak hadits karena dua hal:
Pertama: Ayat tersebut turun berkaitan untuk mengajak orang-orang kafir kepada iman
Kedua: Ayat tersebut hanya meniadakan kalau Nabi yang menjadikan mereka mendengar. Maha benar Allah, karena tidak ada yang bisa menjadikan mereka mendengar kecuali hanya Allah saja apabila Dia berkehandak.
Dengan penjelasan di atas, jelaslah bagi kita kekeliruan anggapan sebagian kalangan bahwa hadits ini bertentangan dengan Al-Qur'an. Wallahu A'lam.

FAWAID HADITS
Ketahuilah wahai saudaraku -semoga Allah selalu merahmatimu- bahwa dari hadits-hadits ini dapat dipetik beberapa faedah berikut:

1. Orang Mati Tidak Bisa Mendengar
Dalam hadits-hadits ini terdapat dalil bahwa kaidah asalnya bahwa orang yang sudah meninggal dunia itu tidak mendengar, karena Nabi menyetujui pemahaman Umar dan para sahabat lainnya tatkala mengutarakan kepada beliau surat Ar-Rum: 52. Nabi tidak menyalahkan pemahaman mereka, bahkan menyetujui pemahaman mereka bahwa asal orang mati adalah tidak mendengar, hanya saja beliau mengkhabarkan bahwa penduduk sumur Badar tersebut perkaranya lain. Dan ini hanya khusus bagi mereka saat itu saja, sebagaimana ditegaskan dalam sebagian riwayat Ibnu Umar:
إِنَّهُمْ الآنَ يَسْمَعُوْنَ
Sesungguhnya mereka sekarang mendengar.
Kalimat "sekarang" menunjukkan bahwa itu khusus bagi mereka saat itu saja. Maka hal itu berarti bahwa selain saat itu, mereka tidak mendengar. Jadi hadits ini tidak menunjukkan bahwa mereka mendengar terus-menerus, selama-lamanya dan semua ucapan, dan tidak juga mencakup semua orang yang mati selain mereka secara umum.
Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata: "Masalah apakah orang mati mendengar ataukah tidak ada tiga pendapat:
Pertama: Mereka mendengar secara mutlak
Kedua: Mereka tidak mendengar secara mutlak
Ketiga: Diperinci; Asalnya mereka tidak mendengar, dan kadang mendengar dalam keadaan-keadaan yang ada dalilnya saja seperti orang mati mendengar suara sandal orang yang mengantarkannya ke kubur , ucapan Nabi kepada gembong-gembong Quraisy dan ketika berziarah ke kubur mereka . Pendapat inilah yang benar dan bagus".
Syaikh al-Albani berkata setelah mengutarakan dalil-dalil tentang masalah ini: "Kesimpulan pembahasan masalah ini berdasarkan dalil-dalil Al-Qur'an, hadits dan ucapan para imam bahwa orang mati pada asalnya tidak mendengar. Inilah kaidah asalnya, kalau memang ada dalil shahih yang menunjukkan bahwa orang mayit bisa mendengar dalam sebagian keadaan, sebagaimana dalam hadits suara sandal atau sumur Badar, maka hal itu tidak bisa dijadikan kaidah umum bahwa orang mati bisa mendengar secara mutlak, namun hendaknya kita bawa kepada pengkhususan hal itu dari keumumuan dalil sebagaimana telah mapan dalam ilmu ushul fiqih.
Oleh karena itu, Al-Allamah Al-Alusi berkata setelah membahas masalah ini secara panjang lebar: "Pendapat yang benar bahwa orang mati pada asalnya tidak mendengar, dan kadang bisa mendengar. Maka dicukupkan pada keadaan yang telah ada dalilnya saja". Ini merupakan pendapat sekelompok ahli ilmu sebagaimana dikatakan al-Hafizh Ibnu Rojab .
Alangkah bagusnya ucapan Ibnu Thin: "Sesungguhnya orang mati tidak diragukan lagi bahwa mereka tidak bisa mendengar, tetapi bila Allah menghendaki untuk menjadikan sesuatu yang tidak mendengar untuk bisa mendengar, maka hal itu bukanlah suatu hal yang mustahil, berdasarkan firman Allah:
إِنَّا عَرَضْنَا اْلأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَالْجِبَالِ
Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, (QS. Al-Ahzab: 72)
فَقَالَ لَهَا وَلِلأَرْضِ ائْتِيَا طَوْعًا أَوْ كَرْهًا قَالَتَآ أَتَيْنَا طَآئِعِينَ
Lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi:"Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa".Keduanya menjawab:"Kami datang dengan suka hati" (QS. Fushilat: 11)

2. Penetapan adanya Mu'jizat bagi Nabi
Hal ini merupakan keyakinan Ahli sunnah wal Jama'ah, berbeda dengan kaum Mu'tazilah dan para rasionalis modern yang mengingkari hal itu. DR. Fahd ar-Rumi berkata: "Mereka (pengagum akal) memiliki pendapat yang amat berbahaya tentang mu'jizat Nabi, dimana mereka mengingkari semua mu'jizat kecuali Al-Qur'an, dan mereka mengkosongkan kenabian dari mu'jizat lainnya dengan menempuh beberapa metode: Mungkin dengan mementahkannya atau menafsirkan dengan perkara lain yang bukan termasuk mu'jizat…".

3. Orang pintar kadang juga salah
Tidak samar lagi bagi kita semua tentang keluasan ilmu Ummul mukminin, kekasih Rasulullah, Aisyah. Imam az-Zuhri berkata: "Seandainya ilmu Aisyah dikumpulkan dengan ilmu seluruh wanita, niscaya ilmu Aisyah lebih afdhol". Atho' berkata: "Aisyah adalah manusia yang paling pandai dan cerdas otaknya".
Oleh karena itu, beliau menjadi tempat rujukan para sahabat dan tabi'in apabila mereka mendapatkan kesulitan dalam masalah-masalah agama, bahkan tak jarang beliau mengkritik mereka dengan ketajaman otaknya dan kefasihan lisannya.
Sekalipun demikian, namun hal itu tidaklah menutup kemungkinan bahwa beliau salah dalam ijtihadnya, karena sebagai manusia biasa sangatlah wajar kalau pernah salah, sebab tidak ada yang ma'shum di dunia ini dari kesalahan kecuali para Nabi.
Alangkah indahnya ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah: "Hadits-hadits shahih dan jelas yang diriwayatkan oleh para sahabat semisal Umar bin Khoththob dan anaknya Abdullah, Abu Musa dan selainnya tidaklah dimentahkan dengan alasan seperti ini. Aisyah Ummul mukminin, dia terkadang mengkritik hadits karena menurut beliau maknanya tidak benar, padahal perkaranya tidak demikian. Barangsiapa yang mengamati masalah ini, niscaya dia akan mendapati bahwa tidak ada seorangpun yang menolak hadits shohih dengan alasan seperti ini kecuali dialah yang salah".
Semoga Allah merahmati al-Hafizh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah tatkala mengatakan: "Kalau saja boleh menolak sunnah Rasulullah karena pemahaman seorang terhadap tekstual Al-Qur'an, niscaya betapa banyak sunnah yang akan dimentahkan?!!".

4. Para sahabat Minta Penjelasan Ayat Untuk Menghilangkan Kerumitan Hadits, Bukan untuk Menolak hadits
Demikianlah keadaan para sahabat Nabi bersama hadits Rasulullah, berbeda halnya dengan metode ahli bid'ah dan pengekor hawa nafsu, mereka menolak hadits Nabi karena mengikuti hawa nafsu mereka dan mendukung kebid'ahan dan pemikiran rusak mereka.
Perhatikanlah bersamaku dialog Umar bin Khhothob dengan Nabi, dimana beliau tatkala mendengar Nabi bersabda bahwa penduduk sumur tersebut bisa mendengar padahal mereka telah meninggal dunia, dia tidak langsung menolak ucapan Nabi mentah-mentah, namun bertanya kepada Nabi dengan mengemukakan kerumitannya berdasarkan keumuman ayat di atas, lalu Nabi memberikan jawaban yang memuaskan.
Demikianlah hendaknya sikap setiap insan yang mengagungkan hadits Nabi!! Hendaknya tidak gegabah dalam menolak hadits Nabi, hanya karena menurut fikirannya bertentangan dengan ayat Al-Qur'an (!) Sungguh hal itu tidak mungkin terjadi.

5. Adzab Kubur
Hadits ini dijadikan dalil oleh sebagian ulama tentang adanya siksa kubur, sebagaimana dilakukan oleh Imam Bukhari dalam Shohihnya: 1370-1371. Segi pendalilannya, kalau mereka saja bisa mendengar ucapan Nabi, maka tentunya juga bisa merasakan siksa kubur dengan anggota tubuh mereka.
Dan fiqih Imam Bukhari tidak jauh, sebab siksa kubur telah ditetapkan berdasarkan Al-Qur'an, hadits-hadits mutawatir, ijma ulama'. Maka tidak ada yang mengingkarinya kecuali orang yang dibutakan mata hatinya oleh Allah. Kita memohon kepada Allah keselamatan dari fitnah kubur .
Akhirnya, kita berdoa kepada Allah agar menyelamatkan kita dari segala fitnah dan menjadikan tulisan ini bermanfaat bagi semuanya. Wallahu A'lam.

0 komentar: