Senin, 30 November 2009

PENGERTIAN IMAN MENURUT AHLI SUNNAH

Oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
________________________________________

Kata Pengantar.

Artikel yang sedang dan akan anda nikmati ini, merupakan cuplikan dari buku Soal Jawab Masalah Iman dan Tauhid terbitan At-Tibyan Solo, yang isinya merupakan fatwa-fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, sebagai upaya menyebarkan ilmu kami mencoba untuk memuatnya secara berseri, mulai dari Masalah-38 s/d Masalah-43 insya Allah, namun tidak semua fatwa tersebut kami angkat di sini, hanya beberapa saja, mengingat keterbatasan yang kami miliki.

Dan tema-tema yang kami hadirkan kehadapan anda, merupakan pembahasan - pembahasan yang sangat menarik sekali untuk dikaji dan dipahami, seperti : Bagaimana pengertian iman menurut Ahlus Sunnah wal Jama'ah .? Apakah iman itu bisa bertambah atau berkurang .? kemudian, Apakah hari perhitungan (hisab) itu sehari ? Dan Apakah Adzab kubur terhadap badan ataukah ruh .? dll.

Harapan kami, dengan dihadirkannya permasalahan ini tidak lain supaya kita lebih bisa memahami pokok-pokok permasalahan tersebut dengan benar dan sesuai dengan apa yang dipahami oleh As-Salafush Shalih, inysa Allah Ta'ala.


PENGERTIAN IMAN MENURUT AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH.
Iman Bisa Bertambah atau Berkurang.

Pertanyaan.
Bagaimana pengertian Iman menurut Ahlus Sunnah wal Jama'ah .? Apakah Iman itu bisa bertambah atau berkurang .?

Jawab.
Pengertian Iman menurut Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah ; ikrar dalam hati, diucapkan dengan lisan dan diamalkan dengan anggota badan. Jadi, Iman itu mencakup tiga hal :
1. Ikrar dengan hati.
2. Pengucapan dengan lisan.
3. Pengamalan dengan anggota badan
Jika keadaannya demikian, maka iman itu akan bisa bertambah atau bisa saja berkurang. Lagi pula nilai ikrar itu tidak selalu sama. Ikrar atau pernyataan karena memperoleh satu berita, tidak sama dengan jika langsung melihat persoalan dengan kepala mata sendiri. Pernyataan karena memperoleh berita dari satu orang tentu berbeda dari pernyataan dengan memperoleh berita dari dua orang. Demikian seterusnya. Oleh karena itu, Ibrahim 'Alaihis Sallam pernah berkata seperti yang dicantumkan oleh Allah dalam Al-Qur'an.
"Ya Rabbku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang yang mati. Allah berfirman : 'Apakah kamu belum percaya'. Ibrahim menjawab :'Saya telah percaya, akan tetapi agar bertambah tetap hati saya". (Al-Baqarah : 260).
Iman akan bertambah tergantung pada pengikraran hati, ketenangan dan kemantapannya. Manusia akan mendapatkan hal itu dari dirinya sendiri, maka ketika menghadiri majlis dzikir dan mendengarkan nasehat di dalamnya, disebutkan pula perihal surga dan neraka ; maka imannya akan bertambah sehingga seakan-akan ia menyaksikannya dengan mata kepala. Namun ketika ia lengah dan meninggalkan majlis itu, maka bisa jadi keyakinan dalam hatinya akan berkurang.

Iman juga akan bertambah tergantung pada pengucapan, maka orang berdzikir sepuluh kali tentu berbeda dengan yang berdzikir seratus kali. Yang kedua tentu lebih banyak tambahannya.

Demikian halnya dengan orang yang beribadah secara sempurna tentunya akan lebih bertambah imannya ketimbang orang yang ibadahnya kurang.

Dalam hal amal perbuatan pun juga demikian, orang yang amalan dengan anggota badannya jauh lebih banyak daripada orang lain, maka ia akan lebih bertambah imannya daripada orang yang tidak melakukan perbuatan seperti dia.

Tentang bertambah atau berkurangnya iman, ini telah disebutkan di dalam Al-Qur'an maupun As-Sunnah. Allah Ta'ala berfirman.
"Artinya : Dan tidaklah Kami menjadikan bilangan mereka itu melainkan untuk jadi cobaan bagi orang-orang kafir, supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab yakin dan supaya orang-orang yang beriman bertambah imannya". (Al-Mudatstsir : 31).

"Artinya : Dan apabila diturunkan suatu surat, maka diantara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata :'Siapa di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turunnya) surat ini ?'. Adapun orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, sedang mereka merasa gembira. Dan adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka, di samping kekafirannya (yang telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir". (At-Taubah : 124-125)
Dalam sebuah hadits shahih disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, pernah bersabda bahwa kaum wanita itu memiliki kekurangan dalam soal akal dan agamanya. Dengan demikian, maka jelaslah kiranya bahwa iman itu bisa bertambah dan bisa berkurang.

Namun ada masalah yang penting, apa yang menyebabkan iman itu bisa bertambah ? Ada beberapa sebab, di antaranya.
1. Mengenal Allah (Ma'rifatullah) dengan nama-nama (asma') dan sifat-sifat-Nya. Setiap kali marifatullahnya seseorang itu bertambah, maka tak diragukan lagi imannya akan bertambah pula. Oleh karena itu para ahli ilmu yang mengetahui benar-benar tentang asma' Allah dan sifat-sifat-Nya lebih kuat imannya dari pada yang lain.
2. Memperlihatkan ayat-ayat (tanda-tanda kekuasaan) Allah yang berupa ayat-ayat kauniyah maupun syar'iyah. Seseorang jika mau memperhatikan dan merenungkan ayat-ayat kauniyah Allah, yaitu seluruh ciptaan-Nya, maka imannya akan bertambah. Allah Ta'ala berfirman. Artinya : Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin, dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tiada memperhatikan" (Adz-Dzariyat : 20-21). Ayat-ayat lain yang menunjukkan bahwa jika manusia mau memperhatikan dan merenungkan alam ini, maka imannya akan semakin bertambah.
3. Banyak melaksanakan ketaatan. Seseorang yang mau menambah ketaatannya, maka akan bertambah pula imannya, apakah ketaatan itu berupa qauliyah maupun fi'liyah. Berdzikir -umpamanya- akan menambah keimanan secara kuantitas dan kualitas. Demikian juga shalat, puasa dan haji akan menambah keimanan secara kuantitas maupun kualitas.
Adapun penyebab berkurangnya iman adalah kebalikan daripada penyebab bertambahnya iman, yaitu :
1. Jahil terhadap asma' Allah dan sifat-sifat-Nya. Ini akan menyebabkan berkurangnya iman. Karena, apabila mari'fatullah seseorang tentang asma' dan sifat-sifat-Nya itu berkurang, tentu akan berkurang juga imannya.
2. Berpaling dari tafakkur mengenai ayat-ayat Allah yang kauniyah maupun syar'iyah. Hal ini akan menyebabkan berkurangnya iman, atau paling tidak membuat keimanan seseorang menjadi statis tidak pernah berkembang.
3. Berbuat maksiat. Kemaksiatan memiliki pengaruh yang besar terhadap hati dan keimanan seseorang. Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda :"Tidaklah seseorang itu berbuat zina ketika melakukannnya sedang ia dalam keadaan beriman". (Al-Hadits).
4. Meninggalkan ketaatan. Meninggalkan keta'atan akan menyebabkan berkurangnya keimanan. Jika ketaatan itu berupa kewajiban lalu ditinggalkannya tanpa udzur, maka ini merupakan kekurangan yang dicela dan dikenai sanksi. Namun jika ketaatan itu bukan merupakan kewajiban, atau berupa kewajiban namun ditinggalkannya dengan udzur (alasan), maka ini juga merupakan kekurangan, namun tidak dicela. Karena itulah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menilai kaum wanita sebagai manusia yang kurang akal dan kurang agamanya. Alasan kurang agamanya adalah karena jika ia sedang haid tidak melakukan shalat dan puasa. Namun ia tidak dicela karena meninggalkan shalat dan puasa itu ketika sedang haid, bahkan memang diperintahkan meninggalkannya. Akan tetapi jika hal ini dilakukan oleh kaum laki-laki, maka jelas akan mengurangi keimannya dari sisi yang satu ini.
http://groups.yahoo.com/group/assunnah/message/293

POKOK-POKOK MANHAJ SALAF

Oleh
Khalid bin Abdur Rahman al-'Ik
________________________________________

Kata Pengantar

Banyak pihak yang menisbatkan dirinya sebagai orang atau kaum (golongan) yang menganut pemahaman salaf. Namun kenyataannya, mereka tidak memahami sama sekali tentang apa dan bagaimana pemahaman salaf yang benar menurut al-Kitab dan as-Sunnah. Dilain pihak, ada orang yang demikian alergi bila mendengar kata-kata salaf. Mereka memahami salaf sebagai sesuatu yang tak rasional dan cenderung ketinggalan zaman.

Untuk meluruskan pemahaman yang salah demikian, kami coba sajikan karya tulis Khalid bin Abdur-Rahman al-'Ik yang disadur dari majalah As-Salafiyah, edisi I, tahun I, 1415H diterjemahkan oleh Ahmas Faiz Asifuddin dan dimuat di majalah As-Sunnah edisi 13/Th II/1416H - 1995M.


Pendahuluan.

Sesuatu yang pasti dan tidak mengandung keraguan sedikitpun ialah bahwasanya manhaj salaf adalah manhaj yang bisa diterima oleh setiap generasi dari masa ke masa. Begitulah kenyataannya di sepanjang sejarah dan kehidupan. Hal itu disebabkan keistimewaan manhaj salaf yang senantiasa secara benar dan mengakar dalam menggali masalah, akuratnya penggunaan dalil (istidlal) berdasarkan petunjuk-petunjuk Qur'aniyah serta kemampuannya menggugah kesadaran, dengan mudah bisa dicapai hingga peringkat ilmu serta keyakinan tertinggi, disamping adanya jaminan keselamatan untuk tidak terjatuh pada kesia-sian, khayalan, atau pada ruwetnya tali temali salah kaprah serta benang-kusutnya ilmu kalam, filsafat dan analogi-analogi logika.

Sesungguhnya manhaj salaf adalah manhaj yang selaras dengan fitrah manusia, sebab ia merupakan manhaj Qur'ani nabawi, Manhaj yang bukan hasil kreasi manusia. Oleh karenanya manhaj ini senantiasa mampu menarik kembali individu-individu umat Islam yang telah lari meninggalkan petunjuk agamanya dalam waktu relatif singkat dan dengan usaha sederhana, apabila dalam hal ini tidak ada orang-orang yang sengaja menghambat dan melakukan perusakan supaya manhaj yang agung ini tidak sampai kepada anggota-anggota masyarakat dan kelompok-kelomok umat.

Untuk itulah kita dapati manhaj salaf selalu cocok dengan zaman dan senantiasa up to date bagi setiap generasi ; itulah "jalannya kaum salaf radhiayallahu 'alaihim". Inilah manhaj yang pernah di tempuh oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan para shahabatnya. Di atas manhaj inilah para imam mujtahid, para imam hafizh dan para imam ahli hadits terbentuk. Dengan manhaj inipula orang-orang (dahulu) diseru untuk kembali kepada dienullah, hingga dengan segera mereka menyambut dan menerimanya serta masuk kedalam dienul Islam secara berbondong-bondong.

Seperti halnya manhaj ini dahulu telah mampu menciptakan "umat agung" yang menjadi khaira ummatin ukhrijat lin-naas, sebaik-baik umat yang ditampilkan untuk manusia, maka iapun akan senantiasa mampu berbuat demikian dalam setiap masa. Buktinya .? itu bisa terwujud setiap saat, jika penghambat-penghambat yang sengaja diciptakan untuk mengacaukan kehidupan manusia hingga kehilangan fitrah lurusnya dihilangkan.

Tentu tidak diragukan lagi, bahwa ajakan untuk mengikuti jejak as-salafu ash-shalih harus menjadi ajakan (dakwah) yang terus menerus dilakukan. Dakwah ini secara pasti akan tetap selaras dengan kehidupan modern, sebab merupakan ajakan yang hendak mengikat seorang mukmin dengan sumber-sumber yang murni dan melepaskan diri dari berbagai belengu taklid yang membuat fanatik terhadap ra'yu (pendapat), kemudian mengembalikannya kepada Kitabullah serta sunnah Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Katakanlah : 'Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul ; dan jika kamu berpaling, maka sesungguhnya kewajiban Rasul itu adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan kepadamu. dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan tidak lain kewajiban Rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang". (An-Nuur : 54).
Jadi dakwah salafiyah selamanya bisa selaras bagi pelaku tiap-tiap zaman, karena dakwah salafiyah datang ketengah manusia dengan membawa sumber-sumber minuman rohani yang paling lezat dan murni. Dakwah salafiyah datang dengan membawa sesuatu yang bisa memenuhi kekosongan jiwa dan bisa menerangi relung-relung hati yang paling dalam. Maka dakwah salafiyah ini tidak akan membiarkan jiwa terkuasai oleh ambisi-ambisi hawa nafsu melainkan pasti dibersihkannya, dan tidak akan membiarkan hati tertimpa oleh lintasan kebimbangan sedikitpun kecuali pasti disucikannya, sebab dakwah salafiyah ini tegak berdasarkan i'tisham (berpegang teguh) pada kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam, sesuai dengan apa yang dipahami oleh as-salafu-as-shalih.

Tiap pendapat orang, bisa diambil atau bisa ditolak kecuali apa yang telah dibawakan kepada kita oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Maka apa yang dibawa oleh beliau harus diambil dan tidak boleh ditolak, sebab itu ma'shum berasal dari Allah Ta'ala.
"Artinya : Dan tiadalah yang diucapkannya itu, menurutkan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang di wahyukan (kepadanya)". (An-Najm : 3-4).
Dengan manhaj yang lurus ini, kaum mukminin akan terbebas dari tunggangan-tunggangan hawa nafsu yang telah bertumpuk-tumpuk menunggangi generasi demi generasi.

Manhaj salaf telah secara jelas memasang petunjuk bagi setiap dakwah yang betul-betul ikhlas bertujuan memperbaharui perkara umat yang telah menjadi amburadul, hingga dengannya bisa betul-betul mampu memperbaharui perkara agama ini dalam kehidupannya dan mampu mengencangkan ikatan iman umat berdasarkan dua sumber :"Kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya" ditambah dengan kaidah yang sama sekali tidak bisa dikesampingkan, yaitu " Sesuai dengan apa yang dipahami oleh as-salafu ash-shalih".

Setiap dakwah yang dengan dalih apapun berusaha memperlonggar persoalan "ikatan temali yang kokoh" di atas, berarti ia hanyalah dakwah yang terwarnai oleh syubhat-syubhat kesesatan dan ternodai oleh penyimpangan.

Sesungguhnya tauhidul-ibadah yang murni betul-betul untuk Allah Ta'ala, tergantung pada rujukannya kepada Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam. Allah Ta'ala befirman :
"Artinya : Dan taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul. Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya kewajiban Rasul Kami hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang". (At-Taghaabun : 12).
Dalam ayat lain Allah berfirman :
"Artinya : Maka demi Rabb-mu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan". (An-Nisaa' : 65).
Pada ayat di atas Allah Ta'ala bersumpah dengan Diri-Nya yang Maha Suci bahwasanya tidaklah seseorang beriman sebelum ia menjadikan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai hakim dalam semua urusan.

Apa saja yang diputuskan oleh beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berarti merupakan kebenaran yang wajib untuk dipatuhi secara lahir maupun batin.

Oleh sebab itulah Allah memerintahkan untuk menyerah (taslim) pada putusan Rasul pada firman Allah berikutnya :
"Artinya : Kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu (Muhammad) berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya". (An-Nisaa' : 65).
Dengan demikian, tidak boleh ada sikap enggan, sikap menolak atau sikap menantang terhadap segala yang disunnahkan atau diputuskan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Allah Ta'ala memperingatkan dalam firman-Nya.

"Artinya : Dan barangsiapa yang menentang Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya Allah amat keras siksaan-Nya". (Al-Anfaal : 13).

Lalu, apa lagikah yang lebih dikehendaki oleh orang-orang modern dewasa ini dibandingkan dengan kemerdekaan aqidah, kemerdekaan jiwa, kemerdekaan individu dan kemerdekaan jama'i (bersama-sama) yang ditumbuhkan oleh sikap mentauhidkan Allah, baik secara rububiyah maupun uluhiyah, kemerdekaan yang ditimbulkan oleh tauhidul-hidayah dan manunggalnya ketaatan serta kepatuhan hanya kepada perintah Pencipta Alam dan perintah Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam ?.

Dengan tauhid yang shahih inilah, kaum mukminin akan terbebaskan (merdeka) dari sikap mengekor terhadap setiap orang yang mempunyai kekuatan, dari setiap belengu hawa nafsu dan dari setiap kesempitan taklid yang memenjarakan akal dan mempersempit cara berpikir.

Karena keistimewaan-keistimewaan langka inilah, maka manhaj salaf akan senantiasa selaras dengan tuntutan segala zaman dan akan bisa diterima oleh setiap generasi.

Kaidah serta Pokok-Pokok Manhaj Salaf.

Kaidah-kaidah berikut ini menggambarkan tentang prinsip-prinsip manhaj talaqi (sistem mempelajari, mengkaji dan memahami) aqidah islamiyah, dan tentang pokok-pokok bantahan terhadap aqidah selain Islam melalui dalil-dalil Al-Qur'an serta petunjuk-petunjuk nabawi.

Ketika firqah-firqah mulai bermunculan di tengah barisan kaum muslimin dengan segala pemikirannya yang berbeda-beda dan saling berlawanan, maka masing-masing pelakunya berupaya melakukan pengadaan dalil-dalil serta argumentasi-argumentasi, -yang sebenarnya hanya membebani kebanyakan mereka saja- untuk mempertahankan teori-teori filsafat hasil temuan mereka masing-masing yang mereka yakini kebenarannya. Diantara sejumlah dalil yang mereka kemukakan ialah : mengaku-ngaku sebagai pengikut as-salafu ash-shalih.

Oleh karena itu seyogyanyalah diadakan penjelasan mengenai kaidah-kaidah manhaj salaf, supaya dibedakan antara orang-orang yang sekedar mengaku-ngaku salafi dengan orang-orang yang sebenar-benarnya pengikut as-salafu ash-shalih.
Kaidah Pertama
Mendahulukan Syara' atas Akal 1)

Kaidah yang paling pertama ialah ittiba' kepada as-salafu ash-shalih dalam memahami, menafsiri, mengimani serta menetapkan sifat-sifat ilahiyah tanpa takyif (bertanya atau menetapkan hakekat bagaimananya) dan tanpa ta'wil (membuat perubahan lafal/maknanya), juga dalam menetapkan persoalan-persoalan aqidah lainnya, dan menjadikan generasi pertama sebagai panutan dalam berpikir maupun beramal.

Jadi pertama kali Al-Qur'an dan Hadits, selanjutnya berqudwah (mengikuti jejak dan mengambil suri teladan) kepada para shahabat nabi, sebab di tengah-tengah merekalah wahyu turun. Dengan demikian, mereka (para shahabat) adalah orang-orang yang paling memahami tafsir Al-Qur'an, dan lebih mengerti tentang ta'wil (tafsir) Al-Qur'an dibandingkan dengan generasi-generasi berikutnya. Mereka satu dalam hal ushuluddin, tidak berselisih mengenainya, dan tidak terlahir dari mereka hawa nafsu-hawa nafsu dan bid'ah. 2).

Dari sanalah lahir ciri yang dominan pada pengikut manhaj salaf. Mereka adalah ahlul hadits, para ulama penghafal (hafidz) hadits, para perawi serta para alim hadits yang ittiba' pada atsar. (Itulah jalannya kaum mukminin). Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
"Artinya : Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalannya orang-orang mukmin. Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan kami masukan ia ke dalam Jahannam. Dan Jahannam itu seburuk tempat kembali". (An-Nisaa' : 115).
Jadi mereka berbeda dengan kaum mutakallimin (ahlul kalam), sebab mereka (pengikut manhaj salaf) selalu memulai dengan syara'. kitab was-sunnah, selanjutnya mereka tenggelam dalam memahami serta merenungi nas-nash Al-Qur'an dan sunnah tersebut.

Pengikut Manhaj salaf menjadikan akal tunduk kepada Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam. Dari sini maka akal yang sehat tidak mungkin bertentangan dengan naql (nash) yang shahih. Apabila terjadi pertentangan, maka nash yang shahih harus didahulukan atas akal, sebab nash-nash Al-Qur'an bersifat ma'shum (terjaga) dari kesalahan, dan nash-nash sunnah bersifat ma'shum (terjaga) dari hawa nafsu.

Oleh karenanya sikap mendahulukan Al-Qur'an dan Sunnah atas akal-akal bagi kaum salaf merupakan pemelihara dari perselisihan serta kekacauan dalam aqidah dan agama.

Sesuatu yang masuk akal menurut manhaj salaf adalah sesuatu yang sesuai dengan Al-Kitab was-Sunnah, sedangkan sesuatu yang tidak masuk akal (majhul) adalah sesuatu yang menyalahi Al-Qur'an was Sunnah. Petunjuk (hidayah) ialah sesuatu yang selaras dengan manhaj shahabat, dan tidak ada jalan lain untuk mengenali petunjuk serta pola-pola shahabat melainkan atsar-atsar ini. 3)

Prinsip-prinsip aqidah bagi pengikut manhaj salaf nampak jelas pada keimanannya terhadap sifat-sifat dan Asma' Allah Ta'ala ; tanpa membuat penambahan, pengurangan, ta'wil yang menyalahi zhahir nash dan tanpa membuat penyerupaan dengan sifat-sifat mahluk, tetapi membiarkannya sesuai dengan apa yang dinyatakan dalam Kitabullah Ta'ala serta sunnah Nabi-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam. Sedangkan kaifiyah (hakikat bagaimana)nya mereka kembalikan kepada Dzat yang telah memfirmankannya sendiri. 4)

Melalui konteks ini kita mesti paham cara-cara salaf dalam menjadikan akal tunduk kepada nash, baik nash itu berupa ayat Al-Qur'an maupun berupa sunnah Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam, bukan sebaliknya. Berbeda dengan manhaj kaum ahlul kalam dari kalangan Mu'tazilah, Maturidiyah dan Asy'ariyah yang lebih mendahulukan akal daripada nash. Sedangkan nash mereka ta'wil kan hingga sesuai dengan akal.

Tentu saja hal ini berarti memperkosa nash agar sesuai tuntutan akal. Padahal mestinya hukum-hukum akal-lah yang wajib diserahkan keputusannya kepada nash-nash al-Kitab maupun Sunnah. Jadi, apa saja yang ditetapkan oleh Al-Qur'an dan Sunnah, kitapun harus menetapkannya. Sedangkan apa saja yang dikesampingkan oleh keduanya, kitapun harus menolaknya.

Sesungguhnya, ta'wil menurut kaum ahlu kalam dan kaum filosofis pada umumnya mengandung tuntutan untuk menjadikan akal sebagai sumber syara', mendahului nash-nash Al-Qur'an dan Sunnah. Oleh karena itu jika terlihat ada pertentangan antara nash dengan akal, maka mereka akan mendahulukan akal, dan akan segera bergegas melakukan ta'wil terhadap nash tersebut hingga sesuai dengan tuntutan akal. Akan tetapi manhaj salaf kebalikannya, syara' didahulukan dan akal mengikut kepada syara'.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah menyebutkan bahwa kaum salaf menyerahkan hukum kepada ayat-ayat Al-Qur'an dan hadits-hadits Nabi. Mereka merasa cukup dengan nash-nash tersebut. Mereka jadikan pemahaman-pemahaman akalnya patuh pada nash-nash itu, sebab "akal" menurut Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam ada sesuatu yang bisa ada jika ada pemilik (pelaku)nya. "Akal" bukanlah dzat yang bisa berdiri sendiri seperti anggapan kaum filosof. 5)

Akal tidak mampu meliputi kenyataan-kenyataan yang dijelaskan oleh Kitabullah maupun sunnah Rasul-Nya shalallahu 'alaihi wa sallam. Bahkan akalpun tidak kuasa untuk meliputi segenap hakikat alam kongkrit yang telah ditemukan berdasarkan penemuan-penemuan ilmiah akal itu sendiri. Maka bagaimana mungkin akal akan dapat menjangkau kenyataan alam ghaib ?.

Oleh sebab itulah, wajib hukumnya untuk pasrah kepada nash-nash Al-Qur'an dan As-Sunnah. Wajib mengimani segala apa yang dinyatakan di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah, baik yang menyangkut alam ghaib maupun alam nyata. Lebih khusus lagi ayat-ayat yang menyangkut sifat-sifat ilahiyah, maka kita wajib mengimaninya tanpa ta'wil (mengubah makna atau lafalnya) dan tanpa ta'thil (menolak hakikatnya atau menafikannya).

________________________________________

Fote Note.
1. Qawa'id al-Manhaj as-Salafi, hal. 187. Dr. Musthafa Helmi, cet. Daar ad-Da'wah, Iskandariyah
2. 'Aqa'id as-Salaf, karya Dr. Ali Sami an-Nasysyar, hal.309, cet. Daar al-Ma'arif. Iskandariyah.
3. Naqdhu al-Mantiq, Ibnu Taimiyah, hal. 309.
4. Naqdhu al-Mantiq, Ibnu Taimiyah, hal. 3
5. Majmu' Fatawa, jilid 9, hal. 279

Kaidah Kedua
Tidak Mempertentangkan Nash-nash Wahyu Dengan Akal.

Semua firqah ahli kalam yang suka menakwilkan sifat-sifat Allah, ternyata satu sama lain saling bertentangan, dan secara diametral pendapat-pendapatnya saling berlawanan sama sekali.

Untuk membuktikan hal itu, kita tidak perlu pergi terlalu jauh, lihat saja misalnya, di dalam kitab Kubra al-Yaqiniyat al-Kauniyah bagaimana cara ahlu kalam yang tercermin pada ta'wil nya terhadap sifat istiwa' dalam firman Allah Ta'ala.
"Artinya : (Yaitu) Rabb Yang Maha Rahman, yang bersemayam (ber-istiwa) di atas "Arsy". (Thaha : 5).
Dalam kitab ini, istiwa' di ta'wil-kan dengan taslith al-quwwah wa as-sulthan (menangnya kekuatan serta kekuasaan-Nya)".

Kita perhatikan ta'wil itu berbeda bahasanya dengan ta'wil-nya kaum Asy'ariyah terhadap istiwa' tersebut yaitu istiila' (berkuasa), ta'wil yang juga dilakukan oleh kaum Jahmiyah dan Mu'tazilah. Namun model ta'wil dalam buku Kubra al-Yaqiniyat itu tidak menggunakan istilah istiila, melainkan dengan istilah Taslith al-Quwwah wa as- Sulthan.

Tentu ini merupakan kata-kata yang bejat, sebab konsekwensi dari kata-kata itu menunjukan bahwa 'Al-Arsy tidak masuk dalam kekuasaan Allah, sebelum Allah ber- 'istiwa (bersemayam) di atasnya. Penulis buku tersebut (Said Ramdhan al-Buthi, pen) bisa terperosok pada pemahaman yang rusak.

Hal ini dikarenakan ia tidak ridha terhadap apa yang ditempuh oleh kaum salaf dalam mengimani sifat 'istiwa. Walaupun sebenarnya hanya mengemukakan pernyataan madzhab khalaf (lawan salaf, pen), yakni orang-orang Asy'ariyah. Akan tetapi kenyataannya ia setuju dengan madzhab tersebut. Hal itu terbukti dengan pernyataannya : "Itulah makna yang jelas, yang bisa dimengerti menurut bahasa Arab".1)

Selanjutnya ia melegitimasi manhaj kalam dengan pernyataannya sebagai berikut : "Mereka menafsirkan al-Yad (tangan) dalam ayat lain dengan "kekuatan dan kemurahan", al-'Ain (mata) dengan "pertolongan dan pemeliharaan", dan menafsirkan al-Ishba'ain (dua jari-jari) yang terdapat dalam hadits riwayat Muslim dalam kitab Shahih-nya No. 2654, dengan "kehendak dan kekuasaan". Begitulah seterusnya. Mereka merubah-rubah sifat-sifat Allah Ta'ala tanpa disertai sebuah dalilpun, baik dari al-Qur'an maupun as-Sunnah.

Berdasar inilah, maka salah satu kaidah manhaj salaf ialah menolak ta'wil model ahlu kalam. Dan cukuplah bagi para pengikut manhaj salaf satu ketetapan, yaitu ilitizam kepada perintah Allah Ta'ala berikut :

"Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui". (Al-Hujuraat : 1).

Oleh sebab itulah, tiada dijumpai seorangpun di antara mereka yang mempertentangkan nash-nash wahyu dengan akal. Apabila mengetahui suatu perkara dari ajaran agama, maka ia akan melihat kepadanya yang dikatakan oleh Allah dan Rasul-Nya. Dari sanalah ia belajar, dengannyalah ia berkata, mengenainyalah ia merenung dan berpikir dan dengannyalah ia berdalil.

Berkebalikan dengan manhaj ini, di sana di ujung seberang yang sama sekali berlawanan, berdiri tegaklah para penganut manhaj ilmu kalam yang mempercayakan sandarannya kepada ra'yu (pendapatnya). Sesudah ra'yu, mereka memperhatikan al-Qur'an dan as-Sunnah. Apabila didapati nash-nash tersebut bersesuaian dengan akal, mereka ambil nash-nash itu. Tetapi, jika mereka dapati bertentangan, maka akan mereka singkirkan atau mereka otak-atik dengan ta'wil. 2)

________________________________________
Fote Note
1) Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Dar'u Ta'arudh al-Aql wa an-Naql, jilid 5/382, mengatakan :"Adapun ta'wil dalam arti 'mengalihkan satu lafal dari kandungan makna yang rajih (benar) menuju kemungkinan makna yang marjuh (tidak rajih/tidak benar), seperti 'istiwa menjadi istaula, dan seterusnya maka hal ini menurut kaum salaf dan para imam jelas merupakan kebatilan. Hakikatnya tidak ada sama sekali, bahkan hal ini meruapak tahrif (mengubah) kata-kata dari yang semestinya dan termasuk ilhad (ingkar) terhadap Asma' Allah serta ayat-ayat-Nya.".
2) Risalah al-Furqan Baina al-Haq wa al-Bathil, Ibnu Taimiyah, hal.47.


Ta'wil Bisa Dibenarkan bila Maksudnya Tafsir

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan 3) : "Sesungguhnya lafal ta'wil menurut pemahaman orang-orang yang suka bertentangan (yakni Ahlul Kalam), bukanlah ta'wil yang dimaksud dalam At-Tanzil (wahyu yang diturunkan). Bahkan bukan pula yang dikenal oleh para ulama tafsir terdahulu.

Sesungguhnya para ulama tafsir Al-Qur'an terdahulu memahami lafal ta'wil dengan maksud tafsir. Ta'wil semacam ini dapat diketahui oleh ulama yang mengetahui tafsir Al-Qur'an. Oleh sebab itulah Imam Mujahid, imamnya ahli tafsir dan murid Ibnu Abbas, pernah menanyakan seluruh tafsir Al-Qur'an kepada Ibnu Abbas, dan Ibnu Abbas pun telah menjelaskan tafsir seluruhnya. Ketika beliau (Mujahid) mengatakan : "Sesungguhnya orang-orang yang benar-benar ahlil-ilmi (Ar-Rasikhum fi Al-'Ilmi) jika memahami tentang ta'wil, maka maksud ta'wil itu adalah tafsir yang telah disebutkan Ibnu Abbas padanya".

Adapun lafal ta'wil menurut At-Tanzil (wahyu yang diturunkan), maknanya adalah "hakikat", yakni sesuatu yang menjadi asal sebuah pembicaraan. Dan itu sama dengan hakikat-hakikat yang telah diberitakan oleh Allah Ta'ala, misalnya ta'wil tentang hari akhir yang telah diberitakan oleh Allah ialah kejadian yang akan terjadi di hari akhir itu sendiri (hakikat kejadiannya). Ta'wil tentang apa yang Dia beritakan mengenai Diri-Nya itu sendiri yang Maha Suci lagi tersifati dengan sifat-sifat Maha Tinggi. Ta'wil (dalam arti hakikat) inilah yang tidak dapat diketahui kecuali oleh Allah Ta'ala sendiri.

Oleh karena itulah kaum salaf mengatakan :"Istiwa' telah dimaklumi (maknanya), sedangkan bagaimana hakikatnya itu majhul (tidak dapat diketahui)". Untuk itu kaum salaf mengistbatkan (menetapkan) pengetahuan tentang Istiwa'. Inilah yang disebut ta'wil dalam arti tafsir, yaitu memahami makna yang dimaksud oleh suatu pembicaraan, sehingga dapat merenungi, memahami dan mengerti.

Sedangkan perkataan mereka "Al-Kaif (bagaimana hakikatnya) adalah majhul (tidak dapat diketahui). Hal ini adalah ta'wil yang hanya bisa diketahui oleh Allah semata, yaitu tentang hakikat yang tiada satu mahluk pun dapat mengetahuinya".

Pada tempat lain Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata pula 2) : " ...... sesungguhnya yang dimaksud dengan lafal ta'wil dalam Al-Qur'an ialah hakikat suatu perkara, meskipun hakikat itu sama dengan makna yang ditunjukan dan dipahami dari zhahir-nya lafazh".

Terkadang pula yang dimaksud dengan ta'wil adalah penafsiran dari suatu perkara serta penjelasan maknanya, walaupun penjelasan makna itu sama dengan lafal perkataan tadi. Dan istillah ta'wil dengan makna kedua inilah yang menjadi istilahnya mufassir terdahulu seperti Mujahid dan lain-lain. Tetapi istilah ta'wil kadang juga dimaksudkan dengan pengalihan suatu lafal dari kandungan makna yang rajih menuju kemungkinan makna yang marjuh disebabkan ada suatu dalil yang mengiringinya.

Pengkhususan istilah ta'wil dengan makna terakhir ini hanya ada pada pembicaraan kaum muta'akhirin. Adapun para shahabat, tabi'in dan semua imam-imam kaum muslimin, seperti imam yang empat dan imam yang lain, mereka tidak menghususkan istilah ta'wil tersebut untuk makna yang terakhir itu, tetapi yang mereka kehendaki dengan ta'wil adalah makna yang petama dan kedua.

Oleh karena itulah, sekelompok orang-orang muta'akhirin berprasangka bahwa lafal (kalimat) ta'wil pada Al-Qur'an atau Hadits hanya bermakna khusus menurut pengertian terakhir tersebut, seperti dalam firman Allah :
"Artinya : ...Dan tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata : "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat. Semuanya itu dari sisi Rabb kami". (Ali-Imran : 7).
Mereka meyakini bahwa waqaf (bacaan berhenti) pada ayat diatas adalah pada :
"Artinya : .. Dan tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah".
Sebagai akibat dari prasangka mereka tersebut, mereka terjebak dalam keyakinan bahwa ayat-ayat seperti di atas dan hadits-hadits Nabi, mempunyai makna-makna yang berlainan dengan makna yang langsung bisa dipahami dari lafal nash tersebut. Sementara itu makna yang dikehendaki dari nash tersebut tidak dapat diketahui kecuali oleh Allah saja. Bahkan Malaikat yang turun membawa Al-Qur'an yakni Jibril, dan Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam pun tidak bisa mengetahui makna-maknanya. Begitu pula nabi-nabi lain, para shahabat serta para tabi'in.

Menurut keyakinan mereka, bahwa Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam ketika membaca firman-firman Allah berikut :
"Artinya : (Yaitu) Rabb Yang Maha Rahman, yang bersemayam (ber-istiwa) di atas 'Arsy". (Thaha : 5).

"Artinya : Kepada-Nya lah naik perkataan-perkataan yang baik". (Faathir : 10).

"Artinya : .... tetapi kedua-dua tangan Allah terbuka". (Al-Maidah : 64).
Dan ayat-ayat lainnya, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengerti makna-maknanya. Bahkan (menurut persangkaan mereka) beliau sendiripun tidak memahami kata-katanya sendiri ketika bersabda :
"Artinya : Rabb kita turun ke langit dunia pada tiap-tiap malam ...." (Hadits Riwayat Bukhari, Juz 2: 25).
Bahkan makna yang langsung dapat dimengerti dari nash di atas, tidak dapat dimengerti kecuali oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Selanjutnya mereka beranggapan bahwa cara-cara semacam ini adalah caranya kaum salaf".

Kemudian pada tempat yang lain lagi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata 3) : "Ayat-ayat yang disebut oleh Allah sebagai ayat-ayat mutasyabihat yakni yang tidak dapat diketahui ta'wil-nya kecuali oleh Allah ; yang dimaksud "tidak dapat diketahui kecuali oleh Allah" hanyalah pengetahuan tentang tafsir dan maknanya. Sebagaimana hanya ketika Imam Malik rahimahullah ditanya tentang firman Allah :
"Artinya : (Yaitu) Rabb Yang Maha Rahman, yang bersemayam (ber-istiwa') di atas 'Arsy". (Thaha : 5).
"Bagaimana Ar-Rahman ber-istiwa' (bersemayam) ?" Beliau menjawab : "Al-Istiwa' telah dipahami (maknanya), sedangkan Al-Kaif (bagaimana hakikat istiwa' [bersemayam] tidak dapat diketahui (majhul). Beriman terhadap istiwa'-Nya wajib dan bertanya tentang "Bagaimana (hakikat)nya adalah bid'ah". Demikian pula sebelumnya, Rabi'ah dan Ibnu 'Uyainah pun telah memberikan jawaban serupa dengan jawaban Imam Malik.

Imam Malik telah menjelaskan bahwa makna istiwa' telah dipahami, sedangkan kaifiyah (cara istiwa-Nya) adalah majhul (tidak dapat dimengerti).

Dengan demikian kaif (hakikat) yang majhul inilah di antara arti ta'wil yang tidak dapat dimengerti melainkan oleh Allah semata. Adapun makna yang dapat dipahami (diketahui) baik istiwa maupun yang lainnya, maka itu adalah ta'wil yang bermakna tafsir yang telah dijelaskan maknanya oleh Allah dan Rasul-Nya.

Allah Ta'ala telah memerintahkan supaya kita menghayati Al-Qur'an dan telah memberitakan bahwa Dia telah menurunkan Al-Qur'an untuk dipahami. Sedangkan penghayatan serta pemahaman tidak mungkin akan bisa dilaksanakan melainkan jika si pembaca menjelaskan maksud pembicaraannya. Adapun apabila seseorang berbicara dengan lafal-lafal yang mengandung banyak makna, lalu dia menjelaskan maksudnya, tentu pembicaraannya tidak mungkin bisa dipahami dan dihayati.

________________________________________
Fote Note.
1) Dar'u Ta'arudh Al-Aql wa An-Naql, Ibnu Taimiyah, jilid 5/381-383, Tahqiq. Dr Muhammad Rosyad Salim
2) Dar'u Ta'arudh Al-Aql wa An-naql. Ibnu Taimiyah, jilid I/14-15
3) Dar'u Ta'arudh Al-Aql wa An-naql. Ibnu Taimiyah, jilid I/9

Kaidah Ketiga:
Mencari Pembuktian Berdasarkan Ayat-ayat Al-Qur'an dan Hadits-hadits Nabi.

Mencari Pembuktian Menurut Pola-pola Al-Qur'an.
Sesungguhnya Al-Qur'an Al-'Azhim mempunyai pola tersendiri yang khusus untuk mencari pembuktian. Barang siapa yang menempuh pola ini, niscaya ia sampai kepada kebenaran hakiki yang meyakinkan. Diantara pola Al-Qur'an yang paling utama dalam mencari pembuktian ialah memperhatikan tanda-tanda kebesaran Allah yang ada pada langit dan bumi, dan upaya menyingkap rahasia-rahasia mahluk.

Melalui ayat-ayat-Nya yang mulia. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memerintahkan agar manusia berpikir tentang penciptaan langit dan bumi. Di antara firman Allah :
"Artinya : Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir " (Al-Baqarah : 219).

"Artinya : (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah dalam keadaan berdiri dan duduk, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata) : "Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa api Neraka". (Ali-Imran : 191).

"Artinya : Allah-lah yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy dan menundukkan matahari dan bulan masing-masing beredar hingga waktu yang ditentukan. Allah mengatur urusan (mahluk-Nya), menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) supaya kamu meyakini pertemuanmu dengan Rabb-mu. Dan Dialah Rabb yang membentangkan bumi, menjadikan gunung-gunung dan sungai-sungai padanya. Dan menjadikan padanya semua buah-buahan berpasang-pasangan, Allah menutupkan malam kepada siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir. Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan, dan kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman dan pohon korma yang bercabang dan yang tidak bercabang, disirami dengan air yang sama. Kami melebihkan sebahagian tanaman itu atas sebahagian yang lain tentang rasanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berakal". (Ar-Ra'du : 2-4).

"Artinya : Katakanlah :"Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi..." (Yunus : 101).
Ayat-ayat yang memerintahkan untuk memikirkan kejadian alam semesta ini banyak. Ayat-ayat yang akan membangkitkan akal, menggerakkan pikiran, mengundang perhatian dan memotivasi perenungan serta penghayatan.

Semua itu termasuk wasilah (sarana) terkuat untuk sampai pada pemahaman terhadap hakikat kebenaran hingga hasilnya akan memperkokoh iman dan menanamkan keyakinan yang dalam terhadap Al-Khalik yang maha Agung. Sayangnya pola Al-Qur'an ini diharamkan oleh pengikut manhaj ahlul-kalam. Mereka tidak mau diikat dengan pola-pola Al-Qur'an dalam memperkokoh keimanan dan memantapkan keyakinan.

Sesungguhnya, berkaitan dengan cara memahami masalah aqidah, dalam hal ini terdapat dua manhaj yang saling berlawanan :
1. Manhaj Qur'ani Nabawi, yaitu manhaj-nya para Rasul dan para Nabi.
2. Manhaj Falsafi 'Aqlani (memperturutkan filsafat dan akal), yaitu manhaj-nya kaum filosof dan kaum ahlu kalam.
Manhaj Qur'ani -sebagaimana dapat dilihat- akan menghentikan akal manusia pada hakikat kebenaran itu tuntas dan tidak akan guncang keraguan sedikitpun setelah datangnya iman dan pembenaran. Manhaj ini dengan segala keluhuran serta kekuatannya adalah manhaj yang mudah, memberikan jaminan hasil dan juga akan menambah akal semakin terbuka wawasan serta daya pandangnya.

Sedangkan manhaj falsafi adalah manhaj yang mempunyai jalan berliku-liku yang ruwet, memusingkan akal dengan persoalan-persoalan yang membingungkan, mebebani pemikiran dengan analogi-analogi logika yang membosankan dan amat potensial untuk menjerumuskan akal pikiran kedalam lubang-lubang kesalahan yang merupakan jebakan yang dipasang oleh para penentangnya.

Oleh sebab itulah, persoalan aqidah bagi kaum filosof dan orang-orang yang terpengaruh oleh mereka dari kalangan ahlu kalam, merupakan sebuah kebingungan yang menimbulkan sangkaan-sangkaan, serta membingungkan akal pikiran. Persoalan-persoalan aqidah yang berdasarkan manhaj mereka itu tidak memberikan ilmu dan tidak menambahkan keyakinan apapun. Ia adalah sebuah jalan antara al-haq dengan kebatilan yang bercampur aduk di dalamnya.

Adapun pola-pola ahlul kalam, sebenarnya bersumber dari pola-pola filsafat, walaupun dalam prilakunya agak berbeda, sebab kaum filosof tidak mempercayai wahyu dan kenabian, sehingga mereka benar-benar bersandar pada akalnya semata. Sedangkan ahlul kalam, mereka masih mempercayai wahyu dan kenabian, hanya saja mereka berupaya untuk menjadikan wahyu tunduk pada akal. Mereka tidak mau menundukkan akalnya kepada nash-nash wahyu.

Menurut ahlul kalam, landasan utama dalam polanya adalah mendahulukan akal atas syara'. Oleh karena itulah mereka berkonsentrasi untuk menta'wilkan nash-nash Al-Qur'an dan As-Sunnah menurut kemauan akal mereka dengan bertumpu pada debat dan logika.

Jadi cara-cara mereka mirif kaum filosof. Cara-cara itu tidak akan memberikan jaminan hasil (yang benar -red) disebabkan berbaurnya khayalan-khayalan akal dalam berbagai pembahasan serta kajian permasalahannya. Dengan demikian, sebagai (hasil) akhirnya adalah kebigungan menghadapi tantangan keragu-raguan dan sama sekali tidak layak untuk memutuskan permasalahan iman dan i'tiqaad.

Adapun pola kenabian, adalah pola Al-Qur'an itu sendiri. Tetapi, dengan uslub (cara pemaparan) yang sedikit berbeda dilihat dari segi kemudahan dan banyaknya. Namun, memiliki kekuatan petunjuk, kekokohan hujjah dan kedalaman keyakinan. Pola kenabian ini mempunyai pengaruh nyata dan jelas dalam memahamkan aqidah yang benar, dalam menyingkirkan setiap syubhat yang mengacaukan pemikiran disebabkan pengaruh bisikan-bisikan setan, dalam menanamkan keyakinan pada jiwa dan dalam menyebarluaskan sinar keimanan ke dalam relung-relung hati.
Kaidah Keempat.

Berpijak Berdasarkan Al-Kitab dan As-Sunnah dengan Mengutamakan Pemahaman Ulama Salaf dan Menjadikan Akal Mereka Tunduk kepada Nash-Nash Keduanya.

Kaidah ini memiliki peran besar dalam pokok-pokok manhaj salaf. Inilah kaidah yang menjadi pemisah antara Ahlu Sunnah dengan Ahlul Bid'ah, walaupun semuanya mengaku mengikuti Al-Kitab dan As-Sunnah.

Pengikut manhaj ahlul-kalam berseru : "Kami ittiba' kepada Al-Kitab dan As-Sunnah". Pengikut manhaj sufi juga berseru : "Kami ittiba' kepada Al-Kitab dan As-Sunnah". Pengikut manhaj salaf pun berseru : "Kami ittiba' kepada Al-Kitab dan As-Sunnah".

Para pengikut manhaj ahlul-kalam memang mengikuti Al-Kitab dan As-Sunnah, akan tetapi mereka menjadikan nash-nash Al-Qur'an dan Al-Hadits tunduk pada tuntutan akal pikiran mereka. Dengan demikian mereka sebenarnya telah meninggalkan manhaj Al-Kitab dan As-Sunnah.

Para pengikut manhaj sufiyah juga mengambil Al-Kitab dan As-Sunnah, namun mereka menjadikan nash-nash keduanya tunduk kepada pemahaman-pemahaman tertentu dalam kaitannya dengan penafsiran tentang hidup dan zuhud, kemudian berpaling dari kenikmatan-kenikmatan hidup. Dengan demikian mereka pun meninggalkan manhaj Al-Kitab dan As-Sunnah.

Adapun para pengikut manhaj salaf, merekalah orang-orang yang benar-benar berpijak berdasar Al-Kitab dan As-Sunnah dengan mengutamakan pemahaman ulama salaf dan menjadikan akal mereka tunduk kepada nash-nash keduanya. Mereka menyesuaikan kehidupannya sesuai dengan tuntunan Al-Kitab dan As-Sunnah dan membatasi pandangan (teori) mereka tentang hidup serta kenikmatannya selaras dengan pengarahan Al-Kitab dan As-Sunnah.

Jadi merekalah orang-orang yang sesuai dengan Al-Kitab dan As-Sunnah, baik aqidah, manhaj, syari'ah maupun perilakunya. Dalil dari standard ini telah ditetapkan berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah.

Berikut ini adalah penjelasan tentang manhaj shahabat yang telah mendapat ridha dari Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya Al-Amin Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Pertama kali dalam menetapkan manhaj shahabat tersebut, kita mulai dengan firman Allah Tabaraka wa Ta'ala tentang para shahabat Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang beriman dengannya adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka ; kamu lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud ......" (Al-Fath : 29)

"Artinya : Orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya ; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. itulah kemenangan yang besar ". (At-Taubah : 100).
Jadi mereka ridha terhadap nikmat yang telah Allah berikan kepada mereka berupa Al-Qur'an dan berupa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, Allah pun telah ridha kepada mereka disebabkan apa yang telah mereka kerjakan. Yakni, berupa ibadah dan ketaatan yang hanya ditujukan kepada Allah semata, ittiba' kepada Rasul-Nya yang menyebarluaskan dakwah Islamiyyah serta penyebaran sunnah nabawiyyah dan pengamalannya.

Wallahu 'alam bish-shawaab

Perhatian Kepada Tauhid

Oleh
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
________________________________________

Pertanyaan
Syaikh yang mulia, tidak ragu lagi bahwa Anda mengetahui tentang kenyataan pahit yang dialami umat Islam sekarang ini berupa kebodohan dalam masalah aqidah dan masalah-masalah keyakinan lainnya, serta perpecahan dalam metodologi pemahaman dan pengamalan Islam. Apalagi sekarang ini penyebaran da'wah Islam di berbagai belahan bumi tidak lagi sesuai dengan aqidah dan manhaj generasi pertama yang telah mampu melahirkan generasi terbaik. Tidak ragu lagi bahwa kenyataan yang menyakitkan ini telah membangkitkan ghirah (semangat) orang-orang yang ikhlas dan berkeinginan untuk mengubahnya serta untuk memperbaiki kerusakan. Hanya saja mereka berbeda-beda cara dalam memperbaiki fenomena tersebut, disebabkan karena perbedaan pemahaman aqidah dan manhaj mereka -sebagaimana yang Anda ketahui- dengan munculnya berbagai gerakan dan jama'ah-jama'ah Islam Hizbiyyah yang mengaku telah memperbaiki umat Islam selama berpuluh-puluh tahun, tetapi bersamaan itu mereka belum berhasil, bahkan gerakan-gerakan tersebut menyebabkan umat terjerumus ke dalam fitnah-fitnah dan ditimpa musibah yang besar, karena manhaj-manhaj mereka dan aqidah-qaidah mereka menyelisihi perintah Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam dan apa-apa yang dibawa oleh beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, dimana hal ini meninggalkan dampak yang besar berupa kebingungan kaum muslimin dan khususnya para pemudanya dalam solusi mengatasi kenyataan pahit ini. Seorang da'i muslim yang berpegang teguh dengan manhaj nubuwwah dan mengikuti jalan orang-orang yang beriman serta mencontoh pemahaman para sahabat dan tabi'in dengan baik dari kalangan ulama Islam merasa bahwa dia sedang memikul amanat yang sangat besar dalam menghadapi kenyataan ini dan dalam memperbaikinya atau ikut berperan serta dalam menyelesaikannya.

Maka apa nasehat Anda bagi para pengikut gerakan-gerakan dan jama'ah-jama'ah tersebut .?

Dan apa solusi yang bermanfaat dan mengena dalam menyelesaikan kenyataan ini .?

Serta bagaimana seorang muslim dapat terbebas dari tanggung jawab ini di hadapan Allah Azza wa Jalla nanti pada hari Kiamat .?

Jawaban

Berkaitan dengan apa yang disebutkan dalam pertanyaan diatas, yaitu berupa buruknya kondisi umat Islam, maka kami katakan : Sesungguhnya kenyataan yang menyakitkan ini tidaklah lebih buruk daripada kondisi orang Arab pada zaman jahiliyah ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam diutus kepada mereka, disebabkan adanya risalah Islam di antara kita dan kesempurnaannya, serta adanya kelompok yang eksis di atas Al-Haq (kebenaran), memberi petunjuk dan mengajak manusia kepada Islam yang benar dalam hal aqidah, ibadah, akhlak dan manhaj. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa kenyataan orang Arab pada masa jahiliyah menyerupai kenyataan kebanyakan kelompok-kelompok kaum muslimin sekarang ini !.

Berdasarkan hal itu, kami mengatakan bahwa : Jalan keluarnya adalah jalan keluar yang pernah ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan obatnya adalah seperti obat yang pernah digunakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sebagaimana Rasulullah telah mengobati jahiliyah yang pertama, maka para juru da'wah Islam sekarang ini harus meluruskan kesalahan pahaman umat akan makna Laa Ilaha Illallah, dan harus mencari jalan keluar dari kenyataan pahit yang menimpa mereka dengan pengobatan dan jalan keluar yang di tempuh oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan makna yang demikian ini jelas sekali apabila kita memperhatikan firman Allah Azza wa Jalla.
"Artinya : Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan dia banyak menyebut Allah". (Al-Ahzab : 21)
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah suri teladan yang baik dalam memberikan jalan keluar bagi semua problem umat Islam di dunia modern sekarang ini pada setiap waktu dan kondisi. Hal ini yang mengharuskan kita untuk memulai dengan apa-apa yang telah dimulai oleh Nabi kita Shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu pertama-tama memperbaiki apa-apa yang telah rusak dari aqidah kaum muslimin. Dan yang kedua adalah ibadah mereka. Serta yang ketiga adalah akhlak mereka. Bukannya yang saya maksud dari urutan ini adanya pemisahan perkara antara satu dengan yang lainnya, artinya mendahulukan yang paling penting kemudian sebelum yang penting, dan selanjutnya !. Tetapi yang saya kehendaki adalah agar kaum muslimin memeperhatikan dengan perhatian yang sangat besar dan serius terhadap perkara-perkara di atas. Dan yang saya maksud dengan kaum muslimin adalah para juru da'wah, atau yang lebih tepatnya adalah para ulama di kalangan mereka, karena sangat disayangkan sekali sekarang ini setiap muslim mudah sekali mendapat predikat sebagai da'i meskipun mereka sangat kurang dalam hal ilmu. Bahkan mereka sendiri menobatkan diri sebagai da'i Islam. Apabila kita ingat kepada suatu kaidah yang terkenal -saya tidak berkata kaidah itu terkenal di kalangan ulama saja, bahkan terkenal pula dikalangan semua orang yang berakal- kaidah itu adalah :
"Artinya : Orang yang tidak memiliki, tidak dapat memberi".
Maka kita akan mengetahui sekarang ini bahwa disana ada sekelompok kaum muslimin yang besar sekali, bisa mencapai jutaan jumlahnya, apabila disebut kata : para da'i maka manusia akan mengarahkan pandangan kepada mereka. Yang saya maksudkan adalah jama'ah da'wah atau jama'ah tabligh. Bersamaan dengan itu, kebanyakan mereka adalah sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla.
"Artinya : Akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui" (Al-A'raaf : 187).
Sebagaimana diketahui dari metode da'wah mereka bahwa mereka itu telah benar-benar berplaing dari memperhatikan pokok pertama atau perkara yang paling penting diantara perkara-perkara yang disebutkan tadi, yaitu aqidah, ibadah dan akhlak. Dan mereka menolak untuk memperbaiki aqidah dimana Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memulai dengannya, bahkan semua nabi memulai dengan aqidah ini. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman.
"Artinya : Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan) : "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut". An-Nahl : 36).
Mereka tidak mempunyai perhatian terhadap pokok ini dan terhadap rukun pertama dari rukun-rukun Islam ini -sebagaimana telah diketahui oleh kaum muslimin semuanya-. Rasul yang pertama di antara para rasul yang mulia Nuh 'Alaihis sallam telah mengajak kepada masalah aqidah hampir seribu tahun. Dan semua mengetahui bahwa pada syariat-syariat terdahulu tidak terdapat perincian hukum-hukum ibadah dan muamalah sebagaimana yang telah dikenal dalam agama kita ini, karena agama kita ini adalah agama terakhir bagi syariat-syariat agama-agama lain. Bersamaan dengan itu, Nabi Nuh 'Alaihis sallam tetap mengajak kaumnya selama 950 tahun dan beliau menghabiskan waktunya bahkan seluruh perhatiannya untuk berda'wah kepada tauhid. Meskipun demikian, kaumnya menolak da'wah beliau sebagaimana telah dijelaskan dalam Al-Qur'an.
"Artinya : Dan mereka berkata :'Janganlah sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwaa', Yaghuts, Ya'uq dan Nasr". (Nuh : 23).
Ini menunjukkan dengan tegas bahwa sesuatu yang paling penting untuk di prioritaskan oleh para da'i Islam adalah da'wah kepada tauhid. Dan ini adalah makna firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Maka ketahuilah, bahwa sesunguhnya tidak ada sesembahan (yang berhak diibadahi) melainkan Allah". (Muhammad : 19).
Demikian sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam secara amalan maupun pengajaran. Adapun amalan beliau, maka tidak perlu dibahas, karena pada periode Makkah perbuatan dan da'wah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kebanyakan terbatas dalam hal menda'wahi kaumnya agar beribadah kepada Allah saja, tidak ada sekutu bagi-Nya.

Sedangkan dalam hal pengajaran, disebutkan dalam hadits Anas bin Malik Radhiyallahu anhu yang diriwayatkan di dalam Ash-Shahihain. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika mengutus Muadz ke Yaman, beliau bersabda.
"Artinya : Hendaknya hal pertama yang engkau serukan kepada mereka adalah pesaksian bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi kecuali Allah saja, maka jika mereka mentaatimu dalam hal itu ..... dan seterusnya sampai akhir hadits. (Hadits Shahih diriwayatkan oleh Al-Bukhari (1395) dan ditempat lainnya, dan Muslim (19), Abu Daud (1584), At-Tirmidzi (625), semuanya dari hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu) Hadits ini telah diketahui dan masyhur, Insya Allah.
Kalau begitu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan para shahabatnya untuk memulai dengan apa yang dimulai oleh beliau sendiri yaitu da'wah kepada tauhid.

Tidak diragukan lagi bahwa terdapat perbedaan yang besar sekali antara orang-orang Arab musyrikin dimana mereka itu memahami apa-apa yang dikatakan kepada mereka dengan bahasa mereka, dengan mayoritas orang-orang Arab Muslim sekarang ini. Orang-orang Arab Muslim sekarang ini tidak perlu diseru untuk mengucapkan : Laa Ilaha Illallah, karena mereka adalah orang-orang yang telah mengucapkan syahadat Laa Ilaha Illallah, meskipun aliran dan keyakinan mereka berbeda-beda. Mereka semuanya mengucapkan Laa Ilaha Illallah, tetapi pada kenyataannya mereka sangat perlu untuk memahami lebih banyak lagi tentang makna kalimat thayyibah ini. Dan perbedaan ini adalah perbedaan yang sangat mendasar dengan orang-orang Arab dahulu dimana mereka itu menyombongkan diri apabila Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyeru mereka untuk mengucapkan Laa Ilaha Illallah, sebagaimana yang dijelaskan dalam Al-Qur'anul Azhim 1). Mengapa mereka menyombongkan diri ?. Karena mereka memahami bahwa makna Laa Ilaha Illallah adalah bahwa mereka tidak boleh menjadikan tandingan-tandingan bersama Allah, dan agar mereka tidak beribadah kecuali kepada Allah, padahal dahulu mereka menyembah selian Allah pula, mereka menyeru selain Allah, beristighatsah (meminta tolong) kepada selain Allah, lebih-lebih lagi dalam masalah nadzar untuk selain Allah, bertawasul kepada selain Allah, menyembelih kurban untuk selain Allah dan berhukum kepada selain Allah dan seterusnya.

Ini adalah sarana-sarana kesyirikan paganisme yang dikenal dan dipraktekkan oleh mereka, padahal mereka mengetahui bahwa diantara konsekwensi kalimat thayyibah Laa Ilaha Illallah dari sisi bahasa Arab adalah bahwa mereka harus berlepas diri dari semua perkara-perkara ini, karena bertentangan dengan makna Laa Ilaha Illallah.

________________________________________
Disalin dari buku At-Tauhid Awwalan Ya Du'atal Islam, edisi Indonesia TAUHID, Prioritas Pertama dan Utama, oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albni, hal 5-15, terbitan Darul haq, penerjemah Fariq Gasim Anuz
________________________________________
Foote Note.

1.Beliau mengisyaratkan kepada firman Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam surat Ash-Shaffat : "Artinya : Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka : Laa Ilaha Illallah (Tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi melainkan Allah) mereka menyombongkan diri, dan mereka berkata : 'Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena kami seorang penyair yang gila ?" (Ash-Shaffat : 35-36)

http://groups.yahoo.com/group/assunnah/message/1179

Mengapa Harus Salafi?

oleh
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
________________________________________

MUQADIMAH

Masih banyak di antara kita yang mempertanyakan apa itu Salafi, dan mengapa harus Salafi .?. Sebagian kaum muslimin malahan menilai bahwa kata-kata Salafi menunjukkan sikap fanatik, bahkan lebih jauh lagi dikatakan sebagai sikap ta'assub terhadap kelompok tertentu serta mengecilkan orang lain, dan yang lebih parah lagi adalah ; mereka mengatakan bahwa Salafi merupakan istilah baru dalam Islam.

Benarkah persangkaan tersebut...! Dibawah ini kami nukilkan jawaban dari Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah di majalah Al-Ashalah edisi 9/Th.II/15 Sya'ban 1414H dan dimuat di majalah As-Sunnah edisi 09/th.III/1419H-1999. Mengenai pertanyaan yang ditujukan kepada beliau, yang tidak jauh berbeda dengan permasalahan di atas.


MENGAPA HARUS SALAFI..?

Pertanyaan yang ditujukan kepada Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah, adalah sebagai berikut :

"Mengapa perlu menamakan diri dengan Salafiyah, apakah itu termasuk dakwah Hizbiyyah, golongan, madzhab atau kelompok baru dalam Islam ..?"

Jawaban beliau adalah sebagai berikut :

Sesungguhnya kata "As-Salaf" sudah lazim dalam terminologi bahasa Arab maupun syariat Islam. Adapun yang menjadi bahasan kita kali ini adalah aspek syari'atnya. Dalam riwayat yang shahih, ketika menjelang wafat, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada Sayidah Fatimah radyillahu 'anha :
"Artinya : Bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah, sebaik-baik "As-Salaf" bagimu adalah Aku".
Dalam kenyataannya di kalangan para ulama sering menggunakan istilah "As-Salaf". Satu contoh penggunaan "As-Salaf" yang biasa mereka pakai dalam bentuk syair untuk menumpas bid'ah :
"Dan setiap kebaikan itu terdapat dalam mengikuti orang-orang Salaf".
"Dan setiap kejelekan itu terdapat dalam perkara baru yang diada-adakan orang Khalaf".
Namun ada sebagian orang yang mengaku berilmu, mengingkari nisbat (penyandaran diri) pada istillah SALAF karena mereka menyangka bahwa hal tersebut tidak ada asalnya. Mereka berkata : "Seorang muslim tidak boleh mengatakan "saya seorang salafi". Secara tidak langsung mereka beranggapan bahwa seorang muslim tidak boleh mengikuti Salafus Shalih baik dalam hal aqidah, ibadah ataupun ahlaq".

Tidak diragukan lagi bahwa pengingkaran mereka ini, (kalau begitu maksudnya) membawa konsekwensi untuk berlepas diri dari Islam yang benar yang dipegang para Salafus Shalih yang dipimpin Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam :
"Artinya : Sebaik-baik generasi adalah generasiku, kemudian sesudahnya, kemudian sesudahnya". (Hadits Shahih Riwayat Bukhari, Muslim).
Maka tidak boleh seorang muslim berlepas diri (bara') dari penyandaran kepada Salafus Shalih. Sedangkan kalau seorang muslim melepaskan diri dari penyandaran apapun selain Salafus Shalih, tidak akan mungkin seorang ahli ilmupun menisbatkannya kepada kekafiran atau kefasikan.

Orang yang mengingkari istilah ini, bukankah dia juga menyandarkan diri pada suatu madzhab, baik secara akidah atau fikih ..?. Bisa jadi ia seorang Asy'ari, Maturidi, Ahli Hadits, Hanafi, Syafi'i, Maliki atau Hambali semata yang masih masuk dalam sebutan Ahlu Sunnah wal Jama'ah.

Padahal orang-orang yang bersandar kepada madzhab Asy'ari dan pengikut madzhab yang empat adalah bersandar kepada pribadi-pribadi yang tidak maksum. Walau ada juga ulama di kalangan mereka yang benar. Mengapa penisbatan-penisbatan kepada pribadi-pribadi yang tidak maksum ini tidak diingkari ..?

Adapun orang yang berintisab kepada Salafus Shalih, dia menyandarkan diri kepada ISHMAH (kemaksuman/terjaga dari kesalahan) secara umum. Rasul telah mendiskripsikan tanda-tanda Firqah Najiah yaitu komitmennya dalam memegang sunnah Nabi dan para sahabatnya. Dengan demikian siapa yang berpegang dengan manhaj Salafus Shalih maka yakinlah dia berada atas petunjuk Allah 'Azza wa Jalla.

Salafiyah merupakan predikat yang akan memuliakan dan memudahkan jalan menuju "Firqah Najiyah". Dan hal itu tidak akan didapatkan bagi orang yang menisbatkan kepada nisbat apapun selainnya. Sebab nisbat kepada selain Salafiyah tidak akan terlepas dari dua perkara :
• Pertama, menisbatkan diri kepada pribadi yang tidak maksum.
• Kedua, menisbatkan diri kepada orang-orang yang mengikuti manhaj pribadi yang tidak maksum.
Jadi tidak terjaga dari kesalahan, dan ini berbeda dengan ISHMAH para shahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, yang mana Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan supaya kita berpegang teguh terhadap sunnahnya dan sunnah para sahabat setelahnya.

Kita tetap terus dan senantiasa menyerukan agar pemahaman kita terhadap Al-Kitab dan As-Sunnah selaras dengan manhaj para sahabat, sehingga tetap dalam naungan ISHMAH (terjaga dari kesalahan) dan tidak melenceng maupun menyimpang dengan pemahaman tertentu yang tanpa pondasi dari Al-Kitab dan As-Sunnah.

Mengapa sandaran terhadap Al-Kitab dan As-Sunnah belum cukup ..?

Sebabnya kembali kepada dua hal, yaitu hubungannya dengan dalil syar'i dan fenomena Jama'ah Islamiyah yang ada.

Berkenan dengan sebab pertama.
Kita dapati dalam nash-nash yang berupa perintah untuk menta'ati hal lain disamping Al-Kitab dan As-Sunnah sebagaimana dalam firman Allah :
"Artinya : Dan taatilah Allah, taatilah Rasul dan Ulil Amri diantara kalian".
(An-Nisaa : 59).
Jika ada Waliyul Amri yang dibaiat kaum Muslimin maka menjadi wajib ditaati seperti keharusan taat terhadap Al-Kitab dan As-Sunnah. Walau terkadang muncul kesalahan dari dirinya dan bawahannya. Taat kepadanya tetap wajib untuk menepis akibat buruk dari perbedaan pendapat dengan menjunjung tinggi syarat yang sudah dikenal yaitu :
"Artinya : Tidak ada ketaatan kepada mahluk di dalam bemaksiat kepada Al-Khalik". (Lihat As-Shahihah No. 179).
"Artinya : Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin. Kami biarkan mereka berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan dia ke dalam Jahannan dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali". (An-Nisaa : 115).
Allah Maha Tinggi dan jauh dari main-main. Tidak disangkal lagi, penyebutan SABIILIL MU'MINIIN (Jalan kaum mukminin) pasti mengandung hikmah dan manfa'at yang besar. Ayat itu membuktikan adanya kewajiban penting yaitu agar ittiba' kita terhadap Al-Kitab dan As-Sunnah harus sesuai dengan pemahaman generasi Islam yang pertama (generasi sahabat). Inilah yang diserukan dan ditekankan oleh dakwah Salafiyah di dalam inti dakwah dan manhaj tarbiyahnya.

Sesungguhnya Dakwah Salafiyah benar-benar akan menyatukan umat. Sedangkan dakwah lainnya hanya akan mencabik-cabiknya. Allah berfirman :
"Artinya : Dan hendaklah kamu bersama-sama orang-orang yang benar". (At-Taubah : 119).
Siapa saja yang memisahkan antara Al-Kitab dan As-Sunnah dengan As-Salafus Shalih bukanlah seorang yang benar selama-lamanya.

Adapun berkenan dengan sebab kedua.
Bahwa kelompok-kelompok dan golongan-golongan (umat Islam) sekarang ini sama sekali tidak memperhatikan untuk mengikuti jalan kaum mukminin yang telah disinggung ayat di atas dan dipertegas oleh beberapa hadits.

Diantaranya hadits tentang firqah yang berjumlah tujuh puluh tiga golongan, semua masuk neraka kecuali satu. Rasul mendeskripsikannya sebagai :
"Dia (golongan itu) adalah yang berada di atas pijakanku dan para sahabatku hari ini".
Hadits ini senada dengan ayat yang menyitir tentang jalan kaum mukminin. Di antara hadits yang juga senada maknanya adalah, hadits Irbadl bin Sariyah, yang di dalamnya memuat :
"Artinya : Pegangilah sunnahku dan sunnah Khulafair Rasyidin sepeninggalku".
Jadi di sana ada dua sunnah yang harus di ikuti : sunnah Rasul dan sunnah Khulafaur Rasyidin.

Menjadi keharusan atas kita -generasi mutaakhirin- untuk merujuk kepada Al-Kitab dan As-Sunnah dan jalan kaum mukminin. Kita tidak boleh berkata : "Kami mandiri dalam memahami Al-Kitab dan As-Sunnah tanpa petunjuk Salafus As-Shalih".

Demikian juga kita harus memiliki nama yang membedakan antara yang haq dan batil di jaman ini. Belum cukup kalau kita hanya mengucapkan :"Saya seorang muslim (saja) atau bermadzhab Islam. Sebab semua firqah juga mengaku demikian baik Syiah, Ibadhiyyah (salah satu firqah dalam Khawarij), Ahmadiyyah dan yang lain. Apa yang membedakan kita dengan mereka ..?

Kalau kita berkata : Saya seorang muslim yang memegangi Al-Kitab dan As-Sunnah. ini juga belum memadai. Karena firqah-firqah sesat juga mengklaim ittiba' terhadap keduanya.

Tidak syak lagi, nama yang jelas, terang dan membedakan dari kelompok sempalan adalah ungkapan : "Saya seorang muslim yang konsisten dengan Al-Kitab dan As-Sunnah serta bermanhaj Salaf", atau disingkat "Saya Salafi".

Kita harus yakin, bersandar kepada Al-Kitab dan As-Sunnah saja, tanpa manhaj Salaf yang berperan sebagai penjelas dalam masalah metode pemahaman, pemikiran, ilmu, amal, dakwah, dan jihad, belumlah cukup.

Kita paham para sahabat tidak berta'ashub terhadap madzhab atau individu tertentu. Tidak ada dari mereka yang disebut-sebut sebagai Bakri, Umari, Utsmani atau Alawi (pengikut Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali). Bahkan bila seorang di antara mereka bisa bertanya kepada Abu Bakar, Umar atau Abu Hurairah maka bertanyalah ia. Sebab mereka meyakini bahwa tidak boleh memurnikan ittiba' kecuali kepada satu orang saja yaitu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, yang tidak berkata dengan kemauan nafsunya, ucapannya tiada lain wahyu yang diwahyukan.

Taruhlah misalnya kita terima bantahan para pengkritik itu, yaitu kita hanya menyebut diri sebagai muslimin saja tanpa penyandaran kepada manhaj Salaf ; padahal manhaj Salaf merupakan nisbat yang mulia dan benar. Lalu apakah mereka (pengkritik) akan terbebas dari penamaan diri dengan nama-nama golongan madzhab atau nama-nama tarekat mereka .? Padahal sebutan itu tidak syar'i dan salah ..!?.

Allah adalah Dzat Maha pemberi petunjuk menuju jalan lurus. Wallahu al-Musta'in.

Demikianlah jawaban kami. Istilah Salaf bukan menunjukkan sikap fanatik atau ta'assub pada kelompok tertentu, tetapi menunjukkan pada komitmennya untuk mengikuti Manhaj Salafus Shalih dalam memahami Al-Qur'an dan As-Sunnah.

Wallahu Waliyyut-Taufiq.

Keajaiban Sedekah

Oleh Abu Abdillah al-Atsari

Tidak dipungkiri, bahwa tabiat manusia senang terhadap harta. Alloh menggambarkan dalam firmanNya:

Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). (QS.Ali Imran: 14).
Akan tetapi, kesenangan terhadap harta ini harus diatas koridor syar'i. Kesenangan yang bertujuan baik semisal untuk memberi nafkah, berinfak pada jalan kebaikan, menyambung tali silaturrahim, membantu orang-orang yang membutuhkan dan lain sebagainya. Ini adalah kesenangan terhadap harta yang terpuji, karena niatnya mulia. Bukan sebaliknya, mencintai harta hanya untuk bangga-banggaan, sombong kepada orang lain, atau menggunakannya ke jalan yang haram...

Imam Ibnu Katsir mengatakan: "Mencintai harta, kadangkala hanya untuk berbangga diri, sombong dan takabbur kepada orang yang lemah, merasa besar diatas orang yang miskin, maka ini adalah tercela. Terkadang pula mencintai harta untuk tujuan mulia, seperti memberi nafkah kepada kerabat, menyambung tali silaturahim, niat beribadah, menyalurkannya pada pintu kebaikan dan ketaatan, maka hal ini adalah terpuji secara agama".
Sedekah adalah salah satu amalan kebajikan yang dianjurkan oleh agama kita yang mulia ini. Pahala dan keutamaannya sangat ranum untuk dipetik, sebagaimana pembaca akan mengetahuinya sebentar lagi insya Alloh.
Para pembaca yang mulia, risalah ini adalah buah usaha sederhana penulis untuk menjelaskan urgensi sedekah dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Sebuah upaya dalam mendorong ummat agar bersedekah, meluruskan pemahaman keliru bahwa sedekah hanya mengurangi harta, menggambarkan dengan gambaran yang kongkrit bahwa sedekah benar-benar menakjubkan pengaruh dan dampak positifnya. Bersumber dari dalil-dalil yang valid, al-Qur'an dan as-Sunnah dan ucapan para ulama salafus shalih. Semoga bermanfaat.

Ditulis oleh seorang hamba yang selalu mengharap ampunan Rabbnya
Abu Abdillah Syahrul Fatwa bin Luqman Salim.
Unaizah, 27-Dzulhijjah-1428 H.

MAKNA DAN HAKEKAT SEDEKAH

Imam al-Ashfahani mengatakan: "Sedekah adalah apa yang dikeluarkan seorang insan dari hartanya untuk mendekatkan diri kepada Alloh. Contohnya seperti zakat. Akan tetapi, kata sedekah lebih sering digunakan untuk sedekah yang sunnah, sedangkan zakat untuk sedekah yang wajib".
Syaikh Ibnu Utsaimin berkata: "Dinamakannya sedekah, karena dengan sedekah menunjukkan kejujuran orang yang memberinya. Harta itu disenangi oleh jiwa, apabila engkau mensedekahkan apa yang engkau senangi, maka hal itu sebagai dalil bahwa engkau jujur dan tulus dalam melakukannya".
Syaikh Atiyyah Muhammad Salim berkata: "Sedekah itu tidak sebatas dengan harta atau yang senilai dengan harta, akan tetapi mencakup semua amalan salih, berupa ucapan yang baik, bermanis muka, menolong orang dengan membawakan barangnya ke kendaraan, atau memberi keringanan orang yang kesulitan. Bahkan ibadah kepada Alloh bisa jadi sedekah seorang muslim kepada saudaranya. Seperti diriwayatkan dalam sebuah hadits ketika ada orang yang datang saat para sahabat telah selesai shalat ashar, Rasulullah berkata: "Siapakah yang mau bersedekah kepada orang ini dengan shalat bersamanya? , yaitu siapakah yang mau mengulang shalat bersamanya. Maka Abu Bakar bersedekah dengan menemani shalat bersamanya.

ANJURAN DAN KEUTAMAAN SEDEKAH

Anjuran dan keutamaan sedekah sangat banyak sekali, tertuang dalam al-Qur'an dan as-Sunnah. Berikut ini sebagian yang dapat kami kumpulkan perihal keutamaan dan anjuran bersedekah;

AL-QUR'AN
1.Melaksanakan perintah Alloh
Tidak ragu lagi, orang yang menunaikan sedekah, baik yang wajib atau yang sunnah berarti dia telah merealisasikan perintah Alloh yang tertuang dalam firmanNya:

Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezki yang telah Kami berikan kepadamu, sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi syafa'at. Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang zhalim. (QS.al-Baqoroh: 254).
Syaikh Abdurrahman as-Sa'di berkata: "Alloh menganjurkan kepada segenap kaum muslimin untuk berinfak pada seluruh jalan kebaikan. Alloh mengingatkan mereka bahwa nikmat yang didapat manusia adalah pemberian Alloh, Dia yang telah memberikan rezki, Dia yang telah mencurahkan aneka ragam kenikmatan. Alloh tidak memerintahkan untuk mengeluarkan seluruh harta yang mereka miliki, akan tetapi Alloh menggunakan huruf "Min" yang menunjukkan sebagian. Inilah yang seharusnya mendorong manusia untuk berinfak. Alloh mengabarkan pula bahwa infak dan sedekah mereka akan menjadi tabungan di sisi Alloh sebagai bekal pada hari yang mana saat itu tidak berguna lagi jual beli dan semisalnya".
2.Mensucikan jiwa
Sedekah yang kita tunaikan adalah sebagai pembersih jiwa dari penyakit cinta harta, sebagai dalil akan ketulusan iman seseorang. Alloh berfirman:

Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS.at-Taubah:103).
Imam Ibnul Jauzi mengatakan: "Tidak dipungkiri bahwa jiwa ini mencintai harta, karena harta salah satu penyebab bertahannya badan. Akan tetapi kecintaan ini kadang kala bertambah pada sebagian hati orang. Hingga jadilah harta itu dicintai karena dzatnya bukan karena sebagai perantara untuk menggapai tujuan yang hakiki!!?".
3.Ganjaran yang berlipat ganda
Alloh berfirman:

Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui. (QS.al-Baqoroh: 261).
Imam Ibnul Qoyyim mengatakan: "Ayat ini seolah-olah bagaikan penjelas tentang ukuran kelipatan pahala yang disiapkan bagi orang yang berinfak. Alloh membuat permisalan seperti ini agar tergambar dalam akal manusia. Dia membuat permisalan dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, yang pada tiap-tiap bulir berisi seratus biji. Hingga hati terasa melihat langsung berlipatnya pahala infak, sebagaimana mata melihat langsung terhadap benih-benih tersebut. Yang pada akhirnya terkumpullah kenyataan realita dan kenyataan iman, hingga iman orang yang berinfak semakin kuat dan jiwanya terdorong untuk berinfak".
4.Penghapus kesalahan dan dosa
Manusia tidak luput dari dosa dan kesalahan. Tidak ada yang maksum di dunia ini kecuali para nabi dan rasul. Dengan hikmahnya yang agung, Alloh menjadikan sedekah sebagai salah satu penghapus dosa dan kesalahan yang kita perbuat. Alloh berfirman:

Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya, dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS.al-Baqoroh: 271).
Rasulullah bersabda:
وَ الصَّدَقَةُ تُطْفِئُ الْخَطِيْئَةَ كَمَا يُطْفِئُ اْلمَاءُ النَّارَ.
Dan sedekah menghapus kesalahan sebagaimana air memadamkan api.
Dikisahkan bahwa Ali bin Husain selalu membawa roti di kegelapan malam untuk dibagikan kepada fakir miskin. Beliau berkata: "Sesungguhnya sedekah di kegelapan malam akan menghilangkan kemurkaan Rabb Azza wa Jalla", kemudian beliau menyitir ayat diatas.
5.Kebaikan sempurna diraih dengan sedekah
Alloh berfirman:

Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya. (QS.Ali Imran: 92).
6.Sifat orang yang bertakwa
Alloh berfirman:

Alif laam miin. Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa. (yaitu) Mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka. (QS.al-Baqoroh: 1-3).
7.Aman dari hari yang menakutkan
Alloh berfirman:

Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Rabbnya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS.al-Baqoroh: 274).
Imam Ibnu Katsir mengatakan: "Ini adalah pujian dari Alloh bagi orang-orang yang berinfak di jalanNya. Orang-orang yang hanya mencari keridhoan Alloh di setiap waktu baik siang maupun malam. Mencari keridhoanNya di setiap keadaan, secara tersembunyi atau terang-terangan".
8.Tidak akan dirugikan
Alloh berfirman:

Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan). (QS.al-Anfal: 60).
FirmanNya dan kamu tidak akan dirugikan yaitu tidak dirugikan sedikitpun terhadap apa yang kalian sedekahkan di jalan Alloh. Bahkan pahalanya menjadi penuh dan sempurna.
9.Diganti dengan yang lebih baik
Jangan khawatir dengan sedekah yang kita keluarkan, karena Alloh akan menggantinya, perhatikan firman Alloh berikut ini:

Katakanlah: "Sesungguhnya Rabbku melapangkan rezki bagi siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan menyempitkan bagi (siapa yang dikehendaki-Nya)". Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dia-lah pemberi rezki yang sebaik-baiknya. (QS.Saba': 39).
Rasulullah bersabda:
مَا مِنْ يَوْمٍ يُصْبِحُ الْعِبَادُ فِيْهِ إِلاَّ مَلَكَانِ يَنْزِلاَنِ فَيَقُوْلُ أَحَدُهُمَا: اَللَّهُمَّ أَعْطِ مُنْفِقًا خَلَفًا. وَيَقُوْلُ الآخَرُ: اَللَّهُمَّ أَعْطِ مُمْسِكًا تَلَفًا.
Tidaklah berpagi hari seorang hamba, kecuali dua malaikat turun dan salah satunya berkata: "Ya Alloh berilah orang yang berinfaq gantinya", Yang satunya berkata pula: Ya Alloh berilah orang yang bakhil gantinya dengan hilang apa yang ada padanya.
10.Alloh menyuburkan sedekah
Berdasarkan firmanNya yang berbunyi:

Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa. (QS.al-Baqoroh: 276).
Rasulullah bersabda:
مَنْ تَصَدَّقَ بِعَدْلٍ تَمْرَةٍ مِنْ كَسْبِ طَيِّبٍ وَلاَ يَقْبَلُ اللهُ إِلاَّ الطَّيِّبَ وَإِنَّ اللهَ يَتَقَبَّلُهَا بِيَمِيْنِهِ ثُمَّ يُرْبِيْهَا لِصَاحِبِهَا كَمَا يُرْبِيْ أَحَدُكُمْ فَلُوَّهُ حَتَّى تَكُوْنَ مِثْلَ الْجَبَلِ
Barangsiapa yang sedekah dengan setengah butir kurma dari hasil yang baik, dan Alloh tidak menerima kecuali dari yang baik, maka Alloh akan menerima dengan tangan kananNya. Kemudian Alloh menyuburkan sedekah tersebut bagi pemiliknya, sebagaimana salah seorang diantara kalian menyuburkan ternaknya hingga banyak sebesar gunung.
11.Orang yang beruntung
Orang yang dermawan dengan sedekah dan terjaga dari sifat kikir adalah orang yang beruntung. Alloh berfirman:

Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS.al-Hasyr: 9).
12.Meraih kebahagian dan wajah yang berseri-seri
Alloh berfirman:

Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih. Sesungguhnya kami takut akan (azab) Rabb kami pada suatu hari yang (di hari itu) orang-orang bermuka masam penuh kesulitan. Maka Alloh memelihara mereka dari kesusahan hari itu, dan memberikan kepada mereka kejernihan (wajah) dan kegembiraan hati. (QS.al-Insan: 8-11)
13.Mendapat kemudahan
Alloh berfirman:

Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (syurga), . Maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. (QS.al-Lail: 5-7).
Imam Ibnul Qoyyim mengatakan: "Sesungguhnya pada sedekah terdapat pengaruh yang sangat menakjubkan dalam menolak berbagai musibah, sekalipun sedekah itu dari orang yang fajir dan zholim. Sesungguhnya Alloh akan menolak berbagai musibah karena sebab sedekah, dan perkara ini sudah maklum pada kebanyakan manusia, bahkan boleh dikata bahwa penduduk bumi mengakui hal itu, karena mereka sudah membuktikannya".
14.Sedekah dan permisalan yang baik
Alloh berfirman:

Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimis (pun memadai). Dan Allah Maha melihat apa yang kamu perbuat. (QS.al-Baqoroh: 265).

AS-SUNNAH
1.Bukti keimanan
Rasulullah bersabda:
وَالصَّلاَةُ نُوْرٌ وَالصَّدَقَةُ بُرْهَانٌ
Shalat adalah cahaya dan sedekah adalah bukti.
Yaitu bukti akan kebenaran imannya, menunjukkan bagusnya jiwa dan tanda bahwa dalam hatinya terdapat kelezatan iman. Hal itu karena harta disenangi oleh jiwa, pelit untuk dikeluarkan, apabila jiwa sudah berkenan untuk mensedekahkannya karena Alloh, maka hal itu bukti akan kebenaran imannya kepada Alloh.
2.Mendapat naungan Alloh
Rasulullah menyebutkan tujuh golongan yang mendapat naungan Alloh pada hari yang tidak ada naungan kecuali naunganNya, diantaranya adalah;
وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لاَ تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقَ يَمِيْنُهُ
Seseorang yang sedekah kemudian dia menyembunyikan sedekahnya hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang di sedekahkan tangan kanannya.
3.Tangan di atas lebih baik
Rasulullah bersabda:
اليَدُ اْلعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلىَ فَالْيَدُ الْعُلْيَا هِيَ الْمُنْفِقَةُ وَالسُّفْلىَ هِيَ السَّائِلَةُ
Tangan diatas lebih baik daripada tangan yang di bawah. Tangan yang diatas adalah yang berinfaq dan tangan dibawah adalah yang meminta.
Imam Ibnu Abdil Barr berkata: "Di dalam hadits ini terdapat anjuran untuk berinfak pada perkara yang baik, juga hadits ini menunjukkan keutamaan orang yang kaya yang tetap menunaikan haknya dibandingkan dengan orang yang miskin, karena umumnya yang memberi adalah orang yang mempunyai kecukupan".
4.Orang yang bersedekah bagaikan pejuang di jalan Alloh.
Rasulullah bersabda:
العَامِلُ عَلىَ الصَّدَقَةِ بِالْحَقِّ كَالْغَازِيْ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ حَتَّى يَرْجِعَ إِلىَ بَيْتِهِ

Orang yang bersedekah dengan benar, bagaikan pejuang di jalan Alloh hingga ia kembali ke rumahnya.
5.Pahala terus mengalir sampai setelah matipun
Rasulullah bersabda:
إِذَا مَاتَ اْلإِنْسَانُ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يَنْتَفِعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْ لَهُ
Apabila seorang insan meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara: sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat dan anak soleh yang mendoakan kedua orang tuanya.
Imam Nawawi berkata: "Para ulama mengatakan bahwa makna hadits ini adalah amalan seorang insan terputus dengan kematiannya, terputus pahala baginya kecuali dari tiga perkara, karena tiga perkara ini merupakan sebab yang dilakukan manusia itu sendiri".
6.Sebab khusnul khatimah
Rasulullah bersabda:
مَنْ خُتِمَ لَهُ بِإِطْعَامِ مِسْكِيْنٍ مُحْتَسِبًا عَلىَ اللهِ دَخَلَ اْلجَنَّةَ, مَنْ خُتِمَ بِصَوْمِ يَوْمٍ مُحْتَسِبًا عَلىَ اللهِ دَخَلَ الْجَنَّةَ, وَمَنْ خُتِمَ لَهُ بِقَوْلِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ مُحْتَسِبًا عَلىَ اللهِ دَخَلَ اْلجَنَّةَ.
Barangsiapa yang akhir kehidupannya ditutup dengan memberi makan orang miskin karena mengharap pahala Alloh, masuk surga. Barangsiapa akhir kehidupannya ditutup dengan puasa karena mengharap pahala Alloh masuk surga. Barangsiapa yang akhir kehidupannya ditutup denan mengucapkan kalimat Laa Ilaaha Illa Alloh karena mengharap pahala Alloh masuk surga.
7.Sedekah tidak mengurangi harta
Rasulullah bersabda:
مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ ِللهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللهُ
Tidaklah sedekah mengurangi harta, dan tidaklah Alloh menambahi seorang hamba rasa maaf kecuali bertambah mulia, dan tidaklah seorang hamba rendah hati karena Alloh kecuali Alloh akan angkat derajatnya.


8.Diberi kemudahan pada hari kiamat
Rasulullah bersabda:
مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلىَ مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِيْ الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ
Barangsiapa yang memberi kelonggaran kepada seorang muslim dari kesulitannya di dunia, maka Alloh akan mudahkan kesulitannya pada hari kiamat. Barangsiapa yang memberi kemudahan kepada orang yang sedang kesulitan, maka Alloh akan mudahkan baginya di dunia dan akherat.
9.Dilipat gandakan 700 kali lipat
Abu Mas'ud berkata: Ada seseorang yang membawa seekor unta yang terikat ke hadapan rasulullah seraya berkata: "Unta ini saya sedekahkan di jalan Alloh". Mendengar hal itu Rasulullah bersabda:
لَكَ بِهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ سَبْعُمِائَةِ نَاقَةٍ كُلُّهَا مَخْطُوْمَةٌ
Balasan bagimu nanti di hari kiamat tujuh ratus unta yang seluruhnya terikat.
10.Sebab lancarnya rizki dan pertolongan
Rasulullah bersabda:
هَلْ تُنْصَرُوْنَ وَتُرْزَقُوْنَ إِلاَّ بِضُعَفَائِكُمْ
Bukankah kalian ditolong dan diberi rizki melainkan karena sebab orang-orang lemah diantara kalian??.
Ibnu Bathol mengatakan: "Makna hadits ini adalah bahwa orang-orang yang lemah mereka sangat ikhlas di dalam berdoa, sangat khusyu' dalam ibadah, karena bersihnya hati mereka dari keterikatan perhiasan dunia".

ANCAMAN BAGI YANG MENIMBUN HARTA

Saudaraku seiman.., ketahuilah bahwa harta yang kita miliki hanyalah titipan Alloh yang Dia akan meminta pertanggungan jawabnya terhadap kita semua di hari kiamat kelak. Rasulullah mengatakan:
لاَ تَزُوْلُ قَدَمُ ابْنِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عِنْدِ رَبِّهِ حَتَّى يُسْئَلَ عَنْ خَمْسٍ عَنْ عُمْرِهِ فِيْمَ أَفْنَاهُ وَعَنْ شَبَابِهِ فِيْمَ أَبْلاَهُ وَمَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيْمَ أَنْفَقَهُ وَمَاذَا عَمِلَ فِيْمَا عَلِمَ
Tidak akan bergeser kedua kaki anak Adam pada hari kiamat hingga ditanya lima perkara: tentang umurnya untuk apa dihabiskan, masa mudanya untuk apa digunakan, hartanya dari mana didapat dan kemana disalurkan, serta ilmunya apa yang ia perbuat.
Sudahkah kita merenungi dan bertanya pada diri kita masing-masing tentang harta kita, dari mana didapat dan kemana disalurkan??, apakah kita mendapatkannya dari cara yang halal ataukah yang haram?? Lantas kemanakah harta kita disalurkan, apakah untuk ketaatan ataukah hanya sekedar untuk foya-foya??
Saudaraku…
Ketahuilah bahwa harta merupakan sebab untuk menghantarkan ke surga atau bisa juga ke neraka. Apabila seseorang menggunakan hartanya untuk ketaatan kepada Alloh, menyalurkannya ke jalan kebaikan, maka surga sudah menanti sebagai balasannya. Akan tetapi sebaliknya, apabila harta ini digunakan untuk bermaksiat kepada Alloh, hanya sebagai pelepas nafsu setan dan lupa akan ketaatan maka pastilah harta itu akan membinasakannya ke jurang neraka!! -Kita berlindung dari hal yang demikian-.
Renungilah nash-nash berikut ini yang memberikan ancaman yang sangat keras bagi orang yang mempunyai harta tetapi tidak menunaikan hak yang semestinya.
Alloh berfirman:

Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka Jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: "Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, Maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu". (QS.at-Taubah: 34-35)
Alloh juga berfirman

Sesungguhnya orang-orang yang kafir menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah. mereka akan menafkahkan harta itu, kemudian menjadi sesalan bagi mereka, dan mereka akan dikalahkan. dan ke dalam Jahannamlah orang-orang yang kafir itu dikumpulkan. (QS.al-Anfaal: 36).
Rasulullah bersabda:
Tidaklah seseorang meninggal dunia kemudian dia meninggalkan kambing, onta atau sapi yang dia tidak menunaikan zakatnya kecuali hewan tersebut akan datang pada hari kiamat dalam keadaan yang lebih besar, hingga hewan itu menginjaknya dan menusuk dengan tanduknya hingga Alloh memutuskan perkaranya diantara manusia.
Dari Abu Hurairah bahwasanya rasulullah bersabda:
Tidaklah orang yang mempunyai emas dan perak kemudian dia tidak menunaikan zakatnya kecuali pada hari kiamat akan dijadikan lempengan dari api kemudian di panaskan di neraka Jahannam. Lalu akan disetrikakan pada samping tubuhnya dan keningnya, acapkali sudah mengering, maka akan diulang kembali, pada hari yang mana satu hari sama dengan lima puluh ribu tahun, dia akan melihat jalannya, mungkin ke surga atau ke neraka.
Dari Abu Hurairah pula bahwasanya rasulullah bersabda:
Barangsiapa yang Alloh berikan harta dan dia tidak menunaikan zakatnya, maka hartanya itu akan dirubah bagaikan ular botak yang mempunyai dua taring atau titik hitam yang siap mematuknya pada hari kiamat, ular itu akan senantiasa akan mencengkramnya dengan kedua taringnya sambil berkata: Aku adalah hartamu, aku adalah harta simpananmu.

ADAB BERSEDEKAH

Ketahuilah bahwa infak mencakup seluruh sedekah, baik yang wajib seperti zakat maupun yang sunnah. Ada beberapa adab yang perlu diperhatikan bagi orang yang akan bersedekah;
Pertama: Luruskan niat
Hendaklah orang yang bersedekah untuk meluruskan niatnya. Hendaklah yang ia cari hanya wajah Alloh semata, bukan karena riya atau ingin dipuji manusia dengan dikatakan dermawan. Orang yang bersedekah yang niatnya hanya ingin dikatakan dermawan, maka dia akan menuai hasilnya dengan masuk neraka. Suatu hari rasulullah menceritakan tiga orang yang telah diberi nikmat oleh Alloh akan tetapi malah membawa petaka dengan masuk ke dalam neraka, salah satunya adalah orang yang berinfak, rasulullah bersabda;
Ada seseorang yang Alloh beri keluasan harta, kemudian dia mengakui nikmat tersebut pada hari kiamat. Dia ditanya: "Lantas apa yang engkau kerjakan dengan nikmat tersebut?" Dia menjawab: "Aku salurkan ke jalan yang engkau cintai. Tidak ada satupun jalan yang engkau cintai kecuali aku berinfak di dalamnya". Alloh berkata: "Engkau dusta!!. Akan tetapi engkau melakukan hal itu semua karena ingin dikatakan dermawan, dan engkau telah mendapatkannya!. Akhirnya orang tersebut ditarik wajahnya dan dicampakkan ke dalam neraka".
Kedua: Dari harta yang halal
Dari Ibnu Umar bahwasanya rasulullah bersabda:
لاَ تُقْبَلُ صَلاَةٌ بِغَيْرِ طَهُوْرٍ وَلاَ صَدَقَةٌ مِنْ غُلُوْلٍ
Tidak akan diterima shalat tanpa thoharoh, dan tidak akan diterima pula sedekah dari harta ghulul .
Rasulullah juga bersabda:
أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا
Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Alloh itu baik, Dia tidak menerima kecuali dari yang baik-baik.
Imam Nawawi berkata: "Dalam hadits ini terdapat anjuran untuk sedekah dari harta yang halal, dan larangan untuk sedekah dari selain harta yang halal".
Ketiga: Sedekah dengan harta yang paling dicintai.
Alloh berfirman:

Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji. (QS.al-Baqoroh: 267).
Anas mengatakan: "Adalah Abu Tholhah orang anshor madinah yang paling banyak hartanya berupa kebun-kebun kurma. Dan harta yang paling dia cintai adalah kebun di Bairuhaa-daerah madinah-. Tatkala dia di dalam masjid, turun ayat kepada rasulullah yang berbunyi:

Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya. (QS.Ali Imron: 92).
Abu Tholhah berkata: Wahai rasulullah, Alloh telah berfirman Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. Dan harta yang paling aku cintai adalah kebun kurma yang berada di Bairuhaa, dan kebun itu sekarang aku sedekahkan karena Alloh, aku mengharap kebaikan dan tabungan pahalanya di sisi Alloh. Rasulullah berkata: "Duhai, itu adalah harta yang menguntungkan. Aku telah mendengar apa yang engkau katakan, dan aku memandang agar harta itu di sedekahkan kepada keluarga terdekatmu dahulu". Abu Tholhah berkata: "Baik, saya akan kerjakan wahai rasulullah". Maka Abu Tholhah membagikannya kepada sanak kerabat dan keluarga paman-pamannya.
Keempat: Mendahulukan kerabat terdekat
Termasuk adab bagi orang yang bersedekah, hendaklah dia mendahulukan sedekahnya untuk diberikan kepada saudara kerabat terdekat yang membutuhkan. Sebagaimana perintah rasulullah kepada Abu Tholhah dalam hadits diatas. Juga Rasulullah bersabda:
إِنَّ الصَّدَقَةَ عَلىَ الْمِسْكِيْنَ صَدَقَةٌ وَعَلىَ ذِيْ الرَّحِمِ اثْنَتَانِ صَدَقَةٌ وَصِلَةٌ
Sedekah kepada orang miskin mendapat satu sedekah, dan sedekah kepada saudara kerabat mendapat dua pahala; pahala sedekah dan pahala menyambung tali silaturrahim.
Kelima: Jangan sembarangan memberi orang sedekah
Hendaknya orang yang memberi sedekah untuk mengutamakan orang-orang yang membutuhkan dan dia menjalankan ketaatan kepada Alloh. Jangan sampai salah memberi sedekah kepada orang yang tidak berhak hingga malah membatunya untuk berbuat maksiat kepada Alloh. Perhatikanlah hal ini wahai saudaraku.
Keenam: Menyembunyikan sedekah
Sebisa mungkin hendaknya bagi orang yang sedekah untuk menyembunyikan sedekahnya, kecuali apabila menampakkan sedekah membawa mashlahat yang kuat. Alloh berfirman:

Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya, dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS.al-Baqoroh: 271).
Rasulullah menyebutkan tujuh golongan yang mendapat naungan Alloh pada hari yang tidak ada naungan kecuali naunganNya, diantaranya adalah;
وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لاَ تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقَ يَمِيْنُهُ
Seseorang yang sedekah kemudian dia menyembunyikan sedekahnya hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang di sedekahkan tangan kanannya.
Ketujuh: Keluarkan sedekah walaupun sedikit.
Sedekah walaupun sedikit bernilai besar di sisi Alloh. Berilah orang yang meminta walaupun hanya sedikit. Jabir bin Abdillah berkata: "Tidak pernah rasulullah diminta sesuatu kemudian dia berkata: Tidak".
Rasulullah bersabda:
اِتَّقُوْا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ فَإِنْ لَمْ تَجِدُوْا فَبِكَلِمَةٍ طَيِّبَةٍ
Jagalah diri kalian dari api neraka walaupun hanya dengan setengah butir kurma. Apabila tidak mendapatinya, maka ucapkanlah kalimat yang baik.
Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan: "Di dalam hadits ini terdapat anjuran untuk sedekah dan menerima sedekah walaupun itu hanya sedikit. Dan terdapat isyarat untuk tidak meremehkan sesuatu yang sedikit dari sedekah dan lainnya".
Ada seseorang yang datang meminta sesuatu kepada Aisyah Ummul mukminin dan disisi Aisyah ada beberapa wanita. Aisyah memerintahkan agar orang yang meminta itu diberi sebutir anggur. Para wanitapun terheran-heran, akhirnya Aisyah berkata: Sebutir anggur itu merupakan benih yang banyak, seraya menyitir firman Alloh;

Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya. (QS.Zalzalah: 7).
Kedelapan: Tunaikan zakat yang wajib
Tidak boleh mengakhirkan zakat harta apabila telah mencapai nisob dan terpenuhi satu haul. Karena zakat itu adalah hak fakir, jangan diakhirkan.
Kesembilan: Lembut kepada fakir-miskin dan jangan diungkit-ungkit
Alloh berfirman:

Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Rabb mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS.al-Baqoroh: 262).
Imam Qurthubi mengatakan: "Orang-orang yang menyebut-nyebut pemberiannya biasanya dari orang yang pelit. Orang yang yang pelit selalu merasa besar dengan apa yang diberikan sekalipun sedikit!?".
Kesepuluh: Jangan rakus dengan harta dan dunia yang fana
Dunia adalah tempat singgah sementara seorang insan, bukan tempat akhir kehidupannya. Kehidupan yang abadi adalah di alam akherat, maka tidak pantas bagi manusia untuk menimbun harta tanpa menunaikan hak harta tersebut. Jangan kita menjadi orang yang rakus harta hingga lupa akherat. Dari Abu Hurairah bahwasanya rasulullah bersabda:
قَلْبُ الشَّيْخِ شَابٌ عَلىَ حُبِّ اثْنَتَيْنِ طُوْلِ الْحَيَاةِ وَحُبِّ الْمَالِ
Hati seorang yang tua akan tetap muda untuk mencintai dua perkara: hidup lama dan cinta harta.
Rasulullah juga bersabda:
لَوْ كَانَ لاِبْنِ آدَمَ وَادِيَانِ مِنْ مَالٍ لاَبْتَغَى وَادِيًا ثَالِثًا, وَلاَ يَمْلأُ جَوْفُ ابْنِ آدَمَ إِلاَّ التُّرَابَ وَيَتُوْبُ اللهُ عَلىَ مَنْ تَابَ
Andaikan Ibnu Adam mempunyai dua telaga berisi harta, niscaya dia akan menuntut telaga yang ketiga. Dan tidaklah lambung Ibnu Adam itu terpenuhi kecuali oleh tanah. Dan Alloh menerima taubat orang yang bertaubat kepadanya.
Syaikh Ibnu Baz ketika menjelaskan hadits-hadits diatas beliau berkata: "Maksud dari ini semua adalah peringatan akan bahayanya menyibukkan diri dengan harta dan terfitnah dengannya. Hendaknya seorang muslim menguatkan tekad dan keinginannya untuk beramal menuju kampung akherat. Jangan tersibukkan dengan dunia dan segala perhiasannya, karena dia tidak diciptakan untuk tujuan dunia, akan tetapi diciptakan untuk beramal menuju akherat, maka tidak pantas untuk menyibukkan diri dengan sesuatu yang dia tidak diciptakan untuk hal itu".

KAPAN WAKTUNYA?

Waktu yang paling utama untuk sedekah adalah ketika kita sehat dan senang terhadap harta. Berdasarkan hadits:
جَاءَ رَجَلٌ إِلىَ النَّبِيِّ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ أَيُّ الصَّدَقَةِ أَعْظَمُ أَجْرًا ؟ قَالَ: أَنْ تَصَدَّقَ وَأَنْتَ صَحِيْحٌ شَحِيْحٌ تَخْشَى اْلفَقْرَ وَتَأْمَلُ الغِنَى وَلاَ تُمَهِّلْ حَتىَّ إِذَا بَلَغَتْ الْحُلْقُوْمُ قَلْتَ لِفُلاَنٍ كَذَا وَلِفُلاَنٍ كَذَا وَقَدْ كَانَ لِفُلاَنٍ
Ada seseorang yang datang menemui nabi dan berkata: Wahai rasulullah, sedekah apa yang paling besar pahalanya?" Rasulullah menjawab: "Engkau bersedekah, sedangkan engkau dalam keadaan sehat dan bakhil, takut miskin dan berharap kaya. Jangan engkau menunda sedekah, hingga maut telah sampai tenggorokan baru engkau berkata: Untuk si fulan sekian, si fulan sekian, padahal hartamu sudah milik orang lain (yaitu ahli warisnya).

PINTU-PINTU KEBAIKAN

Pintu-pintu kebaikan untuk sedekah sangat banyak sekali, tidak terbatas. Disini kami hanya akan menyebutkan sebagian ruang dan pintu kebaikan yang kita dapat sedekah di dalamnya. Diantaranya adalah;
1.Membuka pengairan air atau membangun sumur di tempat yang tidak masuk air.
Sa'ad bin Ubadah berkata: Wahai rasulullah, ibuku telah meninggal, apakah boleh aku bersedekah untuknya? Rasulullah menjawab: Ya, silakan. Aku bertanya kembali: Sedekah apa yang paling afdhol? Rasulullah menjawab: Memberi minum (pengadaan air).
2.Memberi makan
Alloh berfirman:

Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya Kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, Kami tidak menghendaki Balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih. (QS.al-Insaan: 8-9).
Rasulullah bersabda:
فَكُّوْا العَانِيْ يَعْنِيْ الأَسِيْرَ وَأَطْعِمُوْا الْجَائِعَ وَعُوْدُوْا الْمَرِيْضَ
Bebaskan tawanan, berilah makan orang yang kelaparan dan jenguklah orang sakit.
3.Memberikan pinjaman
Dari Abdullah bin Mas'ud bahwasanya rasulullah bersabda:
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُقْرِضُ مُسْلِمًا قَرْضًا مَرَّتَيْنِ إِلاَّ كَانَ كَصَدَقَتِهَا مَرَّةً
Tidaklah seorang muslim memberikan pinjaman kepada saudaranya muslim sebanyak dua kali kecuali seperti bersedekah dengan hartanya sebayak satu kali.
4.Wakaf
Wakaf termasuk sedekah jariah yang pahalanya akan terus mengalir sampai setelah meninggal. Berdasarkan hadits:
إِذَا مَاتَ اْلإِنْسَانُ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يَنْتَفِعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْ لَهُ
Apabila seorang insan meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara: sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat dan anak soleh yang mendoakan kedua orang tuanya.
5.Menyantuni anak yatim
Keutamaan mengurusi dan menyantuni anak yatim sebagaimana dikatakan rasulullah adalah:
أَناَ وَكَافِلُ الْيَتِيْمِ فِيْ الْجَنَّةِ هَكَذَا. وَقَالَ بِإِصْبَعَيْهِ السَّبَابَةِ وَالوُسْطَى
Orang yang mengurusi anak yatim, dia dan aku seperti ini di surga. Beliau sambil menggandengkan jari telunjuk dan tengahnya.
6.Membantu tetangga
Tetangga adalah orang yang terdekat dari rumah kita. Maka sudah sepantasnya untuk membantu tetangga yang sedang dalam kesulitan dan memperhatikan kondisi mereka. Aisyah berkata: Aku mendengar rasulullah bersabda:
مَا زَالَ جِبْرِيْلُ يُوْصِيْنِيْ بِالْجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ
Jibril selalu berwasiat kepadaku agar berbuat baik kepada tetangga, hingga aku berprasangka bahwa dia akan menjadi ahli warisku.
7.Membangun masjid
Orang yang membangun masjid karena Alloh, maka Alloh akan bangunkan sebuah rumah di surga. Rasulullah bersabda:
مَنْ بَنَى ِللهِ مَسْجِدًا بَنَى اللهُ لَهُ بَيْتًا فِيْ الْجَنَّةِ
Barangsiapa yang membangun masjid karena Alloh, Alloh akan bangunkan baginya sebuah rumah di surga.
8.Membantu para penuntut ilmu
Para penuntut ilmu agama adalah generasi penerus tongkat perjuangan para ulama dalam menegakkan agama ini, mereka menyinari dan memberi petunjuk segenap manusia menuju jalan yang benar. Membantu mereka sama seperti mempersiapkan pasukan perang untuk berjuang di jalan Alloh. Rasulullah mengatakan:
مَنْ جَهَّزَ غَازِيًا فِيْ سَبِيْلِ اللهِ فَقَدْ غَزَا, وَمَنْ خَلَفَهُ فِيْ أَهْلِهِ بِخَيْرٍ فَقَدْ غَزَا
Barangsiapa yang mempersiapkan pejuang di jalan Alloh sungguh dia ibaratnya telah ikut berperang. Barangsiapa yang mengurusi keluarga yang ditinggalkan dengan baik, sungguh dia telah ikut berperang.
9.Membagikan kitab al-Quran dan buku yang bermanfaat
al-Qur'an adalah kitab pedoman kaum muslimin, barangsiapa yang membaca dan berpegang teguh dengan isi kandungannya dia akan mendapat petunjuk dan selamat. Membagikan kitab al-Qur'an dan buku-buku bermanfaat merupakan bagian dari dakwah dan menunjuki manusia ke jalan yang benar, pahalanya sangat besar bagi yang sedekah dalam perkara ini. Rasulullah bersabda:
مَنْ دَعَا إِلىَ هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ اْلأَجْرِ مِثْلُ أُجُوْرِ مَنِ اتَّبَعَهُ إِلىَ يَوْمِ الْقِيَامَةِ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا
Barangsiapa yang mengajak ke jalan petunjuk, maka baginya pahala seperti pahala orang yang mengikutinya sampai hari kiamat. Tidak dikurangi sedikitpun dari pahala mereka.
10.Membantu pembangunan sekolah islami
Sekolah yang berbasis islam dan berasaskan al-Qur'an dan sunnah merupakan tempat pendidikan yang sangat bermanfaat. Dari tempat ini akan tercetak generasi-generasi qur'ani yang siap menegakkan dan membela agama. Membantu pembangunan sekolah islami atau pondok pesantren yang salafi adalah sebuah kebaikan, pahalanya sangat besar, karena berarti kita telah ikut andil dalam mempersiapkan generasi ummat yang baik di masa datang.

JANGAN BERSEDIH

Sebagian sahabat mengira bahwa sedekah itu hanya berupa harta, mendengar hal tersebut, maka nabi menjelaskan bahwa sedekah tidak hanya dengan harta semata. Dzikir dan seluruh perbuatan baikpun termasuk sedekah. Sebagaimana diriwayatkan dalam shahih muslim, dari Abu Dzar al-Ghifari bahwa sebagian sahabat nabi berkata: Wahai Rasulullah, orang-orang yang kaya telah mengungguli kami dengan membawa banyak pahala, mereka shalat sebagaimana kami shalat, mereka puasa sebagaimana kami puasa dan mereka bersedekah dengan harta-harta mereka. Maka nabi bersabda: "Bukankah Alloh telah menjadikan untuk kalian pintu kebaikan untuk sedekah?, sesungguhnya setiap tashbih itu sedekah, setiap takbir itu sedekah, setiap tahmid itu sedekah, setiap tahlil itu sedekah, memerintahkan yang baikpun sedekah, melarang dari yang mungkarpun sedekah dan mengumpuli isteri kalian juga termasuk sedekah.
Berdasarkan hadits ini, maka janganlah bersedih wahai saudaraku yang tidak mempunyai kelebihan harta untuk sedekah, masih banyak pintu-pintu kebaikan yang senilai dengan sedekah yang dapat kita kerjakan.
Al-Hafizh Ibnu Rajab mengatakan: "Sedekah dengan selain harta ada dua macam:
Pertama: Segala sesuatu yang ada di dalamnya manfaat kebaikan untuk orang lain, maka hal itu sama dengan sedekah kepada mereka. Bahkan bisa jadi lebih afdhol dari sedekah dengan harta. Misalnya memerintahkan yang baik dan mencegah dari kemungkaran, mengajarkan ilmu yang bermanfaat dan al-Qur'an kepada yang belum bisa, menghilangkan gangguan dari jalan, mendoakan kaum muslimin dan memintakan ampun bagi mereka.
Kedua: Segala sesuatu yang manfaatnya hanya terbatas bagi pelakunya sendiri. Seperti macam-macam dzikir berupa takbir, tasbih, tahmid, tahlil, istigfar, berjalan menuju masjid, semuanya adalah sedekah.

SEDEKAH UNTUK ORANG TUA YANG TELAH MENINGGAL??

Apa yang dikerjakan seorang anak soleh berupa amalan-amalan kebaikan, maka kedua orang tuanya mendapat pahala seperti yang dikerjakan anaknya, tanpa dikurangi sedikitpun dari pahala anak tersebut. Karena seorang anak adalah hasil usaha kedua orang tuanya. Alloh berfirman:

Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. (QS.an-Najm: 39).
Rasulullah bersabda:
إِنَّ مِنْ أَطْيَبِ مَا أَكَلَ الرَّجُلُ مِنْ كَسْبِهِ وَوَلَدُهُ مِنْ كَسْبِهِ
Sesungguhnya yang paling baik yang dimakan seseorang adalah dari hasil usahanya. Dan anaknya termasuk hasil usahanya.
Berkaitan dengan sedekah, maka sangat banyak sekali nash-nash yang menunjukkan bahwa sedekah seorang anak untuk orang tuanya yang telah meninggal akan sampai padanya. Diantaranya adalah;
Aisyah berkata: Ada seseorang yang bertanya: Wahai rasulullah ibuku meninggal tiba-tiba, dan dia belum sempat berwasiat, aku menduga apabila dia sempat berwasiat niscaya akan bersedekah, apakah dia mendapat pahala apabila aku bersedekah untuknya? Rasulullah menjawab: Ya. Maka diapun bersedekah untuk ibunya.
Dari Abu Hurairah bahwasanya ada seseorang yang bertanya kepada nabi, Sesungguhnya bapakku telah meninggal, dia meninggalkan harta dan belum sempat berwasiat, apakah bisa menghapus dosanya apabila aku bersedekah untuknya? Nabi menjawab: Ya.
Imam asy-Syaukani mengatakan: "Hadits-hadits dalam bab ini menunjukkan bahwa sedekah dari seorang anak bisa sampai kepada kedua orang tuanya yang telah meninggal walaupun mereka tidak berwasiat, pahalanya bisa sampai kepada mereka. Hadits-hadits ini mengkhususkan keumuman ayat Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. Akan tetapi ini hanya sedekahnya seorang anak. Karena anak adalah hasil usaha kedua orang tua. Adapun selain anak, maka yang zhohir dari keumuman ayat pahalanya tidak akan sampai kepada si mayyit.
Syaikh al-Albani mengomentari: "Ini adalah yang benar yang sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiyyah, bahwa ayat tetap pada keumumannya, pahala sedekah dan selainnya akan sampai bila dari seorang anak kepada orang tuanya, karena anak hasil usaha orang tua, berbeda apabila dari selain anak".

POTRET SALAF DALAM BERSEDEKAH

Aku tinggalkan untuk mereka Alloh dan rasulNya
Umar bin Khothob berkata: "Rasulullah memerintahkan kami untuk bersedekah, kebetulan saat itu aku mempunyai harta", Aku berkata: Hari ini aku akan
mengungguli Abu Bakar, maka aku memberikan separuh hartaku. Rasulullah bertanya kepadaku: "Apa yang engkau tinggalkan untuk keluargamu?" aku menjawab: separuhnya yang lain". Kemudian datang Abu Bakar dengan membawa semua harta yang dimiliki, maka rasulullah bertanya padanya: "Apa yang engkau tinggalkan untuk keluargamu?" Abu Bakar menjawab: Aku tinggalkan untuk mereka Alloh dan rasulNya. Umar berkata: "Demi Alloh, aku tidak bisa mengunggulinya dengan apapun selamanya".

Satu orang membantu seluruh pasukan perang
Adalah Utsman termasuk orang yang gemar berinfak di jalan Alloh. Abdurrahman bin Khobbab berkata: "Aku melihat nabi menganjurkan kami agar bersedekah kepada bala tentara yang kesusahan. Maka bangunlah Utsman seraya berkata: "Wahai rasulullah aku sedekahkan seratus onta lengkap dengan pelana dan tali kekangnya di jalan Alloh". Kemudian rasulullah kembali menganjurkan kami agar bersedekah kepada bala tentara yang sedang kesusahan. Maka Utsman kembali berdiri dan berkata: "Wahai rasulullah, aku sedekahkan dua ratus onta lengkap dengan pelana dan tali kekangnya di jalan Alloh". Kemudian kembali rasulullah menganjurkan sedekah. Maka lagi-lagi Utsman yang berdiri seraya berkata: "Wahai rasulullah, aku sedekahkan tiga ratus onta lengkap dengan pelana dan tali kekangnya di jalan Alloh. Abdurrahman bin Khobbab berkata: Aku melihat rasulullah turun dari mimbar seraya berkata: "Tidak ada yang menandingi apa yang dilakukan Utsman setelah hari ini. beliau mengucapkannya berkali-kali".

Mengutamakan orang lain hingga maut menjemput
Pada perang Yarmuk ada sekelompok sahabat yang mati syahid, mereka adalah Ikrimah bin Abi Jahl, Suhail bin Amr, Harits bin Hisyam dan sekelompok jama'ah dari bani mughirah. Ketika mereka sedang sekarat kehausan, didatangkan air kepada Ikrimah, namun dia melihat Suhail melihat dirinya. Ikrimah berkata: "Dahulukan dia". Tatkala air didatangkan kepada Suhail bin Amr, dia melihat Harits bin Hisyam melihat dirinya, akhirnya Suhail berkata: "Dahulukan dia". Kemudian didatangkan air untuk Harits ternyata dia sudah meninggal terlebih dahulu. Kemudian didatangkan kembali ke Ikrimah ternyata dia sudah meninggal, kemudian didatangkan air ke Suhail tenyata dia juga sudah meninggal. Mereka meninggal semua dan belum sempat meminum airnya. Khalid bin Walid lewat dihadapan mereka seraya berkata: Demi jiwaku, kalian telah mendapatkannya.

Bersedekah walaupun dalam kesusahan
Dari Abu Hurairah bahwasanya ada seseorang yang datang bertamu kepada nabi. Kemudian rasulullah membawanya ke rumah isteri-isteri beliau. Mereka berkata: "Kami tidak mempunyai kecuali air saja". Rasulullah lantas berkata: "Siapakah diantara kalian yang siap menjamu tamu ini? Seorang laki-laki anshor berkata: "Saya siap wahai rasulullah". Dibawalah tamu tersebut kerumahnya, dan dia berkata kepada isterinya: "Muliakan tamu rasulullah ini". Isterinya menjawab: "Kita tidak punya apa-apa kecuali makanan untuk anak kita!". Dia berkata: "Sudah, siapkan saja makanannya, perbaiki lampu ruangan dan tidurkan anak kita bila mereka minta makan malam!". Isterinyapun menuruti perintah suaminya, dia berdiri seolah-olah memperbaiki lampu kemudian mematikannya. Kemudian keduanya memperilhatkan kepada tamunya seolah-olah ikut makan. Jadilah malam itu mereka tidur dalam keadaan lapar. Tatkala pagi hari, laki-laki anshor tadi menemui rasulullah, maka rasulpun berkata: Alloh tertawa dan kagum atas perbuatan kalian berdua tadi malam. Maka Alloh menurunkan firmanNya yang berbunyi:

Dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin), atas diri mereka sendiri, Sekalipun mereka dalam kesusahan. dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung. (QS.al-Hasyr: 9).

Pelacur dan seekor anjing
Ada seorang wanita pezina melihat seekor anjing yang sedang kehausan berkeliling di sekitar sumur, dia menjulurkan lidahnya karena sangat kehausan. Wanita itu akhirnya melepas sepatunya dan mengambil air sumur dengan sepatunya untuk diberikan kepada anjing tadi, maka Alloh mengampuni wanita tersebut karena sebab perbuatannya.

Menyembunyikan sedekah hingga meninggal dunia
Dahulu sebagian penduduk madinah mereka bisa bertahan hidup akan tetapi mereka tidak tahu dari mana sumber penghidupan mereka. Tatkala Ali bin Husain meninggal, mereka merasa kehilangan orang yang selalu datang malam hari kepada mereka. Pada diri Ali bin Husain mereka mendapati bekas memar di pundaknya karena dia selalu memikul makanan setiap malam ke rumah orang-orang miskin.

KISAH-KISAH AJAIB SEPUTAR SEDEKAH

Karamah yang nyata
Imam adz-Dzahabi berkata: "Abu Umamah pernah mengalami karamah yang sangat mengherankan yang membuat dirinya kaget. Dia bersedekah dengan tiga dinar , kemudian setelah itu menjumpai tiga ratus dinar dibawah sepedanya!!.

Lebih baik dari sepotong rotimu
Dari Ibnu Abi Hazim dari bapaknya berkata: "Sore itu Aisyah sedang puasa dan tidak ada di sisinya kecuali dua potong roti. Tak lama datang orang yang meminta-minta, maka diberikanlah sepotong roti. Kemudian datang lagi orang yang meminta-minta, maka Aisyah tetap memerintahkan pelayannya agar sisa sepotong roti itu diberikan padanya. Pelayan itu merasa keberatan untuk memberikannya. Maka Aisyah memberikannya langsung dari balik hijab. Pelayannya berkata: Coba pikirkan, nanti engkau berbuka dengan apa?. Tatkala Aisyah sedang menunggu tenggelamnya waktu sore, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu rumahnya. Aisyah berkata: "Siapa di luar?". Dia menjawab: Utusan dari keluarga si fulan. Aisyah memerintah pelayannya, apabila yang datang seorang budak maka perkenankan dia masuk. Ternyata utusan tadi membawa seekor kambing yang sudah dipanggang lengkap dengan rotinya!. Aisyah berkata kepada pelayannya: Coba lihat, bukankah ini lebih baik dari roti yang engkau sayangkan tadi??, demi Alloh, mereka sebelumnya tidak pernah memberikan hadiah kepadaku.

Menggali sumur kemudian sembuh dari penyakitnya
Hatim bin Jarroh berkata: "Aku mendengar Ali bin Husain bin Syaqiq bahwasanya dia mendengar dari Ibnul Mubarak, ada seseorang yang datang bertanya kepada Ibnul Mubarak tentang luka nanah yang selalu keluar dari lututnya sejak tujuh tahun yang silam. Penanya itu menceritakan bahwa dia telah mengobatinya dengan berbagai pengobatan dan sudah mendatangi banyak dokter tapi belum juga sembuh. Ibnul Mubarak berkata padanya: "Pergilah dan bangunlah sebuah sumur di tempat yang membutuhkan air, saya berharap semoga di sana keluar mata air dan lukamu dapat berhenti". Si penanya tadi mematuhi perintahnya kemudian sembuh total dari penyakitnya.

9 butir telur diganti 90 dinar
Ada seorang yang fakir mengetuk pintu salah seorang ulama di waktu malam untuk meminta sesuatu. Ulama tadi bertanya kepada isterinya tentang apa yang dimiliki, Isterinya menjawab: "Kita tidak punya apa-apa kecuali 10 butir telur". Ulama tadi berkata: "Sudah kasihkan saja untuknya". Akhirnya sang isteri memberikan 9 butir telur, dia sisakan 1 butir telur untuk anak-anaknya. Tak lama kemudian ada yang mengetuk pintu rumah ulama tadi seraya memberikan bungkusan berisi uang 90 dinar. Ulama itu bertanya kepada isterinya: "Kamu memberikan apa kepada si fakir tadi?". Isterinya menjawab: "Hanya 9 butir telur". Ulama itu berkata: Nah, ini ada 90 dinar, satu kebaikan dilipat gandakan sepuluh kalinya.

Mengutamakan orang lain daripada dirinya sendiri
Syaikh Kholid bin Sulaiman berkata: "Ketika aku keluar dari masjid, aku melihat seorang wanita bersama anaknya yang memakai pakaian yang sudah kusut dan koyak. Aku mengasihi dan merasa iba dengan kondisinya. Tatkala aku melihat kantong bajuku, aku tidak mendapati kecuali hanya 5 real saja. Aku bimbang, apakah akan aku berikan kepadanya ataukah untuk anak-anakku, karena aku tidak mempunyai uang kecuali hanya 5 real saja. Akhirnya aku membulatkan tekad, dan aku putuskan untuk memberikannya kepada wanita dan anak fakir tadi. Sesampainya di rumah, ibuku menyambutku seraya berkata: "Ambil amplop ini dari si fulan". Ketika aku membukanya, ternyata isinya uang sejumlah 500 real. Segala puji bagi Alloh atas segala karuniaNya.

SEBUAH RENUNGAN BAGI KITA BERSAMA

Sebelum kami akhiri risalah ini, ingin rasanya kami melontarkan sebuah pertanyaan yang hendaknya kita merenungi dan menjawabnya dalam diri kita masing-masing, Termasuk jenis apakah harta yang kita miliki??, apakah harta yang kita miliki dari yang halal dan keluar untuk yang baik? Ataukah harta yang kita miliki adalah harta yang haram dan disalurkan kepada yang haram pula? Jawabannya pada diri kita masing-masing.
Imam Ibnul Qoyyim mengatakan: Harta itu ada empat macam:
Pertama: Harta yang diraih dengan cara ketaatan kepada Alloh dan dikeluarkan pada hak Alloh, maka itu adalah sebaik-baiknya harta.
Kedua: Harta yang diraih dengan cara maksiat kepada Alloh dan dikeluarkan untuk maksiat juga kepada Alloh, maka itu adalah sejelek-jeleknya harta.
Ketiga: Harta yang didapat dengan cara menyakiti orang muslim dan dikeluarkan untuk menyakiti orang muslim pula, maka ini harta yang jelek pula.
Keempat: Harta yang didapat dengan cara yang boleh dan sah dan dikeluarkan untuk keinginan jiwa yang boleh, maka ini adalah harta yang tidak dapat pahala dan tidak dapat dosa.

PENUTUP

Ketahuilah wahai saudaraku seiman, kehidupan dunia hanyalah sementara. Ibarat seorang pengembara yang berjalan dan singgah di suatu tempat, niscaya dia akan kembali ke tempat asalnya. Seluruh perhiasan dunia dan kelezatannya adalah amanah Alloh yang harus ditunaikan dengan baik. Digunakan untuk ketaatan, bukan kemaksiatan. Berbekal dengan amalan solih dan kebajikan di dunia ini adalah sebuah kemestian, sebagai persiapan sebelum datang hari yang tiada guna lagi penyesalan. Harta yang kita miliki hanyalah pinjaman dari Alloh, seorang insan akan ditanya kelak pada hari kiamat akan hartanya.
Imam Ibnul Qoyyim mengatakan: "Adapun kenikmatan yang terpisah, seperti pakaian, kendaraan, rumah, pangkat, harta, pada hakekatnya adalah sebuah pinjaman yang dipinjamkan sementara, yang akan kembali kepada orang yang meminjamkannya. Maka dia akan merasa sedih dan tersiksa apabila pinjaman ini kembali kepada tuannya, apalagi jika kenikmatan ini adalah tujuan puncak hidupnya. Renungilah hal ini wahai orang yang mendambakan kebahagiaan jiwa, kebanyakan manusia, mereka berusaha untuk menggapai kebahagian dan kenikmatan dengan sesuatu yang mereka kira mendatangkan kebahagiaan, padahal hakekatnya malah mendatangkan kerugian dan penyesalan!!.
Rasulullah memberikan gambaran tentang dunia dan pelakunya dalam empat golongan. Beliau bersabda: Hanyalah dunia itu untuk empat golongan; Pertama: Seorang hamba yang Alloh anugerahkan harta dan ilmu, dia menjadi bertakwa kepada Rabbnya, menyambung tali silaturrahim, menyadari bahwa Alloh punya hak, maka dia adalah orang yang paling tinggi kedudukannya. Kedua: Seorang hamba yang Alloh berikan ilmu tidak diberikan harta, dia mempunyai niat yang baik dan berkata: Andaikan aku punya harta, niscaya akan aku kerjakan amalan seperti si fulan, maka ini tergantung niatnya, pahala keduanya sama. Ketiga: Seorang hamba yang Alloh berikan harta, tidak diberikan ilmu, maka dia akan menggunakan hartanya tanpa ilmu, tidak bertakwa kepada Rabbnya, tidak menyambung tali silaturrahim, tidak mengetahui bahwa Alloh punya hak, maka dia orang yang paling jelek kedudukannya. Keempat: Seorang hamba yang tidak Alloh berikan harta juga tidak diberikan ilmu, dia berkata: Andaikan aku punya harta, akan aku kerjakan seperti si fulan, maka dia tergantung niatnya, dosa keduanya sama.

Kita berlindung kepada Alloh dari fitnah dan jeleknya harta, kita berlindung agar dunia dan harta bukan tujuan terbesar kita. Kita memohon kepada Dzat yang Maha Agung agar memberikan keberkahan terhadap harta yang kita miliki, menjadikannya sumber kebaikan bukan kebinasaan. Sesungguhnya Dia Maha Mengabulkan permohonan para hambanya.
Inilah akhir yang dapat kami sampaikan. Semoga bermanfaat bagi kaum muslimin dan saudara-saudaraku di manapun berada. Semoga usaha sederhana ini ikhlas karena Alloh semata, ditulis sebagai amalan solih yang dapat memberatkan timbangan penulis di akherat kelak.
Kami sampaikan Jazakumulloh Khoiron bagi semua pihak yang ikut andil dalam penerbitan dan penyebaran buku ini. Apabila ada kesalahan, maka jangan ragu dan sungkan untuk memberikan masukannya kepada penulis, karena kami menyadari masih fakir dalam ilmu. Alloh A'lam.